Liputan6.com, Pekanbaru - Provinsi Riau membara lagi karena tahun ini kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) terjadi di setiap kabupaten dan kota. Kabut asap yang sudah dua tahun tak bertamu kembali menyelimuti sejumlah daerah. Pekanbaru termasuk kawasan paling parah kena imbas Karhutla Riau karena angin bertiup ke Kota Madani Bertuah ini.
Sudah hampir dua bulan. Paling parah awal September ini karena kabut asap melumpuhkan aktivitas pendidikan dan mulai mengganggu penerbangan di Bandara Sultan Syarif Kasim II.
Baca Juga
Advertisement
Masyarakat berjatuhan menjadi korban. Bahkan bayi baru berumur 3 hari tak bisa menikmati udara segar sehingga meninggal dunia. Belum lagi bocah-bocah ataupun orang dewasa yang sesak napas karena menghirup partikel hasil Karhutla Riau ini.
Sebagai catatan, kabut asap dan Karhutla bukan hal baru di Riau. Sejak 1997, masyarakat Bumi Lancang Kuning selalu kedatangan 'tamu' imbas ulah oknum tak bertanggungjawab ini. Mereka membuka lahan dengan jalan pintas agar biaya murah, membakar lahan.
Dalam rentan 1997, Riau pernah bebas Karhutla dan kabut asap, yaitu 2007, 2008, 2016, 2017 dan 2018. Paling parah adalah tahun 2014 dan 2015 karena ditetapkan bencana nasional dengan status tanggap darurat kabut asap.
Menurut Wakil Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) Okto Yugo, ada beberapa faktor Karhutla dan kabut asap berulang. Terutama kondisi tahun ini yang hampir menyamai kabut asap tahun 2015.
Faktor utama, sebut Okto, alih fungsi hutan yang mulai marak di Riau pada 1997, khususnya tanah gambut. Hal ini menjadi dasar dan belum terselesaikan hingga kini oleh pemerintah.
"Seharusnya, perusahaan yang beroperasi di areal gambut betul-betul dievaluasi dan diresotasi, bukan ditanam lagi untuk hutan tanaman industri (HTI) atau perkebunan sawit," kata Okto di Pekanbaru, Kamis petang, 19 September 2019.
Okto mencontohkan, pada tahun 2015 ada sebuah perusahaan diveluasi pemerintah karena menggarap gambut. Korporasi ini lalu dicabut izinnya di Sungai Tohor, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau dan diserahkan ke masyarakat dalam bentuk hutan desa.
"PT LUM namanya. Sejak itu, Sungai Tohor yang kebakaran hebat pada tahun 2014, sudah bebas titik api, tidak menyumbang kabut asap lagi. Masyarakat menggarapnya dan ditanam sagu," jelas Okto.
Pemerintah Buyarkan Semangat Restorasi Gambut
Sejak bencana kabut asap tahun 2015, pemerintah di bawah Presiden Joko Widodo punya semangat untuk merestorasi gambut terbakar, termasuk di konsesi perusahaan.
Beberapa Peraturan Pemerintah diterbitkan, yang intinya menghentikan atau moratorium izin di gambut. Hanya saja pengawasannya kurang dan Jikalahari menemukan kenyatakan berbeda di lapangan karena lahan bekas terbakar kembali ditanam HTI ataupun sawit.
"Ada revisi PP 71 sampai penerbitan PP 57, kemudian peraturan menteri LHK nomor 15. Namun semua itu dibuyarkan ketika ada Permen LHK Nomor 10 Tahun 2019," jelas Okto.
Menurut Okto, Permen itu diterbitkan jelang pemilihan presiden dan pemilihan legislatif tahun 2019. Peraturan ini membolehkan perusahaan menggarap lahan gambut kembali untuk dibangun HTI atau perkebunan sawit.
"Artinya, semangat untuk merestorasi gambut buyar lagi sehingga kebakaran hutan dan lahan terjadi lagi tahun ini. Kalaulah semangat itu dijaga, tentu tidak terjadi kebakaran lagi, seperti yang diterapkan di Desa Sungai Tohor," ucap Okto.
Kemudian, tambah Okto, faktor lainnya adalah lemahnya penegakan hukum, khususnya korporasi. Dulu tahun 2007 dan 2008, Riau pernah punya Kapolda bernama Brigjen Polisi Suciptati yang sangar terhadap koporasi.
Tindakan Suciptadi ini membuat Riau akhirnya bebas Karhutla ditahun tersebut. Hanya saja, semangat ini tidak dilanjutkan Kapolda berikutnya sampai sekarang hingga akhirnya Riau kembali membara dan berkabut asap lagi.
"Penegakan hukum, khususnya koporasi sangat menentukan apakah Karhutla itu berulang atau tidak," kata Okto.
Advertisement
Kanal Perusahaan Keringkan Lahan Masyarakat
Untuk Karhutla Riau tahun ini, berdasarkan investigasi Jikalahari, titik api paling banyak terdapat di konsesi perusahaan. Dari ribuan titik api hingga September, 2.000 hektare lebih di antaranya berada di HTI.
Jikalahari tidak menutup mata adanya kebakaran di lahan masyarakat yang berbatasan dengan konsesi. Namun hal itu tak lepas dari ulah perusahaan yang mengeringkan lahan gambut dengan membuat kanal di hulunya.
Ketika musim kemarau tiba, perusahaan menutup kanal ini sehingga lahan masyarakat di hilir menjadi kering. Kekeringan ini memicu lahan milik masyarakat mudah terbakar.
"Kami ada pendampingan di Bukitbatu dan Pulau Rupat, situasi yang ditemukan ya begitu. Lahan masyarakat kering dimusim kemarau, karena perusahaan membendung kanal," terang Okto.
Kanal buatan perusahaan dengan masyarakat tentu saja berbeda. Masyarakat biasanya membuat kanal ukuran 3 meter, sementara kanal inti perusahaan sampai 12 meter dan kanal berikutnya 7 meter.
Keadaan ini membuat kebakaran di lahan masyarakat cepat meluas. Perusahaan terselamatkan dari penegakan hukum meski awal keringan lahan masyarakat disebabkan kanal korporasi.
"Dulu 1997 masyarakat ada membakar, tapi karena gambut basah sebelum ada kanal perusahaan, apinya tidak meluas," jelas Okto.
Tindakan Yang Harus Dilakukan Pemerintah
Karhutla tahun ini sudah terlanjur karena kabut asap sudah datang. Semestinya ada beberapa hal yang dilakukan pemerintah pusat ataupun daerah agar korban tidak berjatuhan lagi.
Pertama, terang Okto, memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat secara maksimal. Masyarakat harus diberikan hak asasi manusianya mendapatkan udara segar.
"Tidak hanya memadamkan tapi bagaimana pelayanan kesehatan, warga Pekanbaru sudah sesak," ucap Okto.
Langkah kedua tentu saja penegakan hukum. Baik itu Polri ataupun Gakkum KLHK harus tegas tanpa tebang pilih, terutama kepada perusahaan. Perusahaan yang terbakar atau tidak mampu mengelola gambut dengan baik dicabut izinnya.
"Lahan itu lalu diserahkan ke masyarakat, bukan cukong atau pemodal. Sama saja tidak ada artinya karena cukong menjadi bagian pembakar lahan," terang Okto.
Selanjutnya, tambah Okto, harus ada penyelesaian ketimpangan lahan antara masyarakat dengan perusahaan. Hak masyarakat mengelola lahan harus diutamakan agar tidak memicu konflik.
Terakhir, Jikalahari mendesak pemerintah pusat mencabut Permen LHK Nomor 10 Tahun 2019 tentang pengelolaan gambut.
"Jika masih diberlakukan sama saja pemerintah menghalangi semangatnya memulihkan lahan gambut," tegas Okto.
Advertisement