Liputan6.com, Jakarta - Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna H Laoly memberikan penjelasan terkait pro-kontra pasal penghinaan presiden dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Menurutnya, penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden bisa dipidanakan manakala berdampak luas dan mengakibatkan kerusuhan.
"Merupakan delik materiil yang dapat dipidanakan apabila mengakibatkan terjadinya huru-hara atau kerusuhan di tengah masyarakat," jelas Yasonna di Kantor Kemenkumham, Jakarta Selatan, Jum'at (20/9/2019).
Advertisement
Menurutnya, hal itu juga tidak akan membatasi hak berekspresi masyarakat. Karena yang bisa dipidanakan, ialah mereka yang menyerang pribadi presiden atau wakil presiden. Bukan mereka yang mengkritisi kebijakannya.
"Yang pada dasarnya merupakan penghinaan yang menyerang nama baik atau harga diri presiden atau wakil presiden di muka umum," kata Yasonna.
Termasuk penghinaan melalui surat, memfitnah dan menghina dengan tujuan memfitnah. Karena kata Yasonna, penghinaan merupakan perbuatan yang tercela baik dari sisi moral, agama, nilai kemasyarakatan dan juga HAM. Selain itu, delik pada pasal tersebut merupakan delik aduan.
Pasal tersebut, kata Yasonna, juga turut berlaku pada penghinaan wakil negara sahabat.
"Wakil negara sahabat disamakan dengan pengaturan penyerangan harkat dan martabat bagi presiden dan wapres," jelas Yasonna.
Beberapa pihak mengkhawatirkan keberadaan pasal 218 menyangkut penghinaan presiden dan wapres dalam RKUHP akan membuat kebebasan berekspresi dibatasi.
Pasal tersebut berbunyi: (1) Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.