Liputan6.com, Jakarta - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mendesak pemerintah membeberkan nama-nama korporasi atau perusahaan pelaku pembakaran hutan dan lahan (karhutla). Jika pemerintah membeberkan perusahaan yang harus bertanggung jawab, maka seluruh biaya penanggulangan karhutla ditanggung korporasi, bukan negara.
"Sebenarnya, ketika terjadi kebakaran hutan di Agustus kemarin, kita berharap negara melakukan dua hal yang penting. Satu, menetapkan status darurat pencemaran negara di seluruh provinsi. Yang kedua, membuka nama seluruh perusahaan yang terlibat pembakaran atau menjadi penyebab kebakaran," kata Juru Kampanye WALHI, Zenzi Suhadi di Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (21/9).
Advertisement
Kenapa ini penting segera dilakukan? Karena menurutnya, agar segala biaya penanggulangan dan pemulihan itu menjadi tanggung jawab pelaku. "Konstiusi kita memungkinkan hal itu terjadi," ujar dia.
Namun negara tak melakukan dua hal tersebut. Dengan mengeluarkan dana penanggulangan dari APBN, Zenzi menilai negara justru menyubsidi pelaku kejahatan di Indonesia. Hal ini tak boleh terus terjadi.
"Karena akan mengubah pola pikir pemerintah bagaimana kebakaran itu memang ditunggu setiap tahun. Kebakaran ini menjadi proyek penanggulangan. Ini tidak boleh," tegasnya.
WALHI juga meminta pemerintah menetapkan status darurat pencemaran negara. Setelah mengumumkan nama korporasi yang terlibat, penegakan hukum dilaksanakan.
Tujuannya agar pelaku menghentikan kejahatan di lokasi karhutla dan menyasar siapa yang sebenarnya sebagai penikmat keuntungan dari penderitaan rakyat Indonesia oleh pencemaran udara akibat karhutla.
"Selama penegakan hukum itu tidak menyasar orang-orang yang menjadi pemilik dari grup-grup yang membawahi perusahaan-perusahaan ini maka efek jera itu tidak bisa terjadi," ujarnya.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Pulihkan Fungsi Ekosistem Gambut
Untuk mencegah karhutla terulang kembali, Zenzi meminta agar pemerintah memulihkan fungsi ekosistem gambut, di samping penegakan hukum untuk penghentian kejahatan lingkungan. Jika dua hal itu tak dilaksanakan secara serius, risiko kebakaran hutan bisa meningkat.
Menurutnya kendati terjadi penurunan titik api dari 2016 sampai 2018, risiko kebakaran ekosistem gambut di Indonesia justru meningkat. Penyebabnya, kawasan yang tahun sebelumnya rentan kebakaran masih berstatus rentan.
Selain itu juga disebabkan pembukaan lahan baru masih tetap terjadi di ekosistem gambut di enam provinsi yang saat ini terjadi karhutla dan di provinsi lainnya.
"Sebenarnya risiko kebakaran kita akan terus meningkat setiap tahun dan akan terus dihantui situasi seperti ini. Dan negara juga akan menanggung kerugian yang berlipat, baik itu perekonomian di tingkat masyarakat maupun beban penanggulangan di pemerintah," terang dia.
Selanjutnya, kata dia, ke depan yang akan menjamin kebakaran tidak akan terulang lagi. Ia menilai harus segera dipulihkan daya tampung dan daya dukung sistem gambut terkait izin dalam ekosistem gambut itu harus segera dicabut dan dipulihkan.
Reporter: Hari Ariyanti
Sumber: Merdeka.com
Advertisement