Liputan6.com, Banjarnegara - Thomas Stamford Raffles dalam buku The History of Java menyebut ada ratusan candi kuno di Dieng. Raffles mengunjungi Dieng pada 1815 Masehi.
Dalam laporannya, ia menyebut candi dan situs kuno di Dieng berjumlah sekitar 400. Situs ini diyakini dibangun oleh peradaban yang begitu tinggi, menilik desain dan arsitekturnya.
Raffles menugaskan Kapten Baker untuk melukiskan kondisi Dieng saat itu selama tiga pekan. Dataran Tinggi Dieng digambarkan sangat kompleks, dengan beragam arca, relief, candi dan situs kuno lainnya.
"Dalam beberapa menit mempelajari tanah ini, telah ditemukan bekas-bekas situs yang jumlahnya mendekati 400 candi, mempunyai jalan yang lebar dan luas, mengelilingi di antara candi-candi tersebut pada sisi kanan," tulis Raffles dalam bukunya.
Baca Juga
Advertisement
Bahkan, hanya dalam waktu relatif singkat, Raffles berhasil mengeskavasi atau merekonstruksi sebuah candi kuno dalam kondisi aslinya.
"Pada saat itu, saya hanya mempunyai kemampuan untuk menujukkan satu lukisan dari salah satu candi yang ditemukan pada 1815, dan candi ini direstorasi ke bentuk aslinya,"dia menulis dalam laporannya.
Syahdan, Raffles Hengkang. Datanglah pemerintah Kolonial Belanda. Penelitian dilanjutkan oleh pemerintah Belanda.
Pada tahun-tahun selanjutnya, hingga tiba pada 1819 kondisi Dieng benar-benar berubah. Dari dokumentasi sketsa, lukisan, dan laporan, jumlah candi kuno yang tersisa tinggal segelintir. Lainnya raib.
"Kalau dari lukisan ya seperti yang dilihat sekarang, di kompleks Candi Arjuna," ucap Heni Purwono, Pembina Komunitas Cagar Budaya (KCB) Banjarnegara.
Dia mengungkapkan, dalam proses restorasi sejumlah candi kuno yang bisa disaksikan hari ini, pemerintah Kolonial Belanda menggunakan material candi dan situs lain untuk menguruk tanah dan membuat jalan ke arah candi.
Hancurnya Ratusan Candi Dieng
Beberapa material batuan lainnya digunakan untuk membuat semacam gudang, disebut pesanggrahan, untuk menimpan arca, atau temuan-temuan penting dari proses eskavasi.
Namun, menurut dia, menyelamatkan sebagian candi dengan menghancurkan sebagian besar candi lainnya adalah hal ini. Dia pun menduga, ada motif politik kolonial.
"Mungkin juga, karena tipikal (kolonialisme) Belanda dan Inggris kan beda," ucapnya, ketika ditanya kemungkinan upaya penghancuran atau pengkerdilan sejarah Nusantara oleh kolonial.
Tetapi, ia pun tak lantas sepenuhnya menyalahkan kolonial Belanda. Pasalnya, beberapa tahun sebelum Belanda ke Dieng, Raffles sudah melaporkan bahwa penduduk setempat pun menggunakan material candi untuk membangun rumah atau membuat jalan.
Di wilayah pedesaan di sekitar Dieng, antara Gunung Dieng menuju Brambanan, ia menemukan reruntuhan candi, patung-patung yang rusak, dan bekas-bekas ritual Hindu.
"Beberapa penduduk antara Blederan dan Jetis, pada jalan dari dari Banyumas melewati Kedu, menggunakan reruntuhan tersebar ini untuk membangun dinding rumah-rumah mereka," tulis Raffles.
Dari laporan-laporan itu, Heni menduga raibnya ratusan candi di Dieng adalah ulah manusia, baik pemerintah kolonial Belanda, maupun pribumi. Material candi mungkin saja diambil dan digunakan untuk membangun jalan atau pondasi rumah.
Dia membayangkan, saat itu Dataran Tinggi Dieng layaknya Pulau Bali hari ini. Sentuhan budaya Hindu begitu kuat, hingga merasuk ke rumah-rumah penduduk.
Karenanya, ia pun mendorong agar pemerintah berupaya untuk menyelamatkan candi-candi yang tersisa dan membuka peluang eskavasi untuk candi-candi yang sebelumnya telah tercatat, namun hilang.
Desakan itu lebih kuat ketika ditemukan batuan diduga material candi Prau dan Situs Watu Kelir saat pembangunan Rest Area Dieng. Karenanya, ia mendesak agar pemerintah menghentikan pembunan ini untuk memberi waktu agar Balai Arkelologi dan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) meneliti keberadaan material ini.
"Kalau memang itu lokasinya, maka rest area bisa dipindah ke lokasi lainnya. Kalau bukan lokasinya, ya silahkan dilanjutkan," ucapnya.
Advertisement
Potensi Wisata dari Temuan Situs Candi Kuno Dieng
Penelitian lanjutan itu dilakukan untuk membuka kemungkinan eskavasi dalam skala besar. Bahkan, ada kemungkinan eskavasi meluas hingga permukiman penduduk.
"Dalam laporan Thomas Stamford Raffles, potret candi Prau dalam laporan itu masih berdiri utuh dengan kemuncaknya yang ditumbuhi tanaman liar," dia mengungkapkan.
Namun begitu, dia pun mengakui, eskavasi bukan perkara mudah. Sebab, kebijakan itu bisa menuai pro kontra.
Masyarakat Dieng pasti khawatir dengan proses eskavasi yang bisa jadi bakal mengancam keberadaan perumahan maupun homestay mereka. Pasalnya, tempat ditemukannya benda purbakala ini berdekatan dengan permukiman.
Ada kemungkinan, peninggalan purbakala tersebut juga terpendam di bangunan milik masyarakat. Dia memperkirakan bakal ada pihak yang kontra dengan eskavasi atau restorasi candi dan situs kuno ini.
Kondisi ini berbeda dari situs Liyangan, yang relatif jauh dari permukiman penduduk. Proses eskavasi Liyangan berlangsung mulus.
Tetapi, ia berharap agar masyarakat Dieng menyadari bahwa bisa jadi, di bawah rumah mereka terbenam saksi perdaban kuno yang begitu dahsyat. Perlu kearifan semua pihak agar eskavasi, restorasi dan penyelamatan situ kuno tanpa hambatan.
"Tetapi kami harap semua pihak menyadari dan mengutamakan kelestarian cagar budaya," dia menerangkan.
Dia pun berharap agar masyarakat Dieng tidak mencemaskan temuan ini. Sebab, Ekskavasi yang dilakukan justru akan membuat industri pariwisata Dieng semakin berkembang dengan semakin beragamnya destinasi wisata.
Temuan candi, di luar candi-candi di kompleks Dieng bakal membuat Dieng tidak hanya dikenal di lever nasional, tetapi juga di dunia internasional. Candi sebagai warisan budaya bakal memperkuat ikon Dieng sebagai destinasi wisata alam sekaligus warisan budaya dunia.
Kenapa Pembangunan Rest Area Tak Dihentikan?
Aryadi Darwanto, Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Dieng membenarkan batuan yang ditemukan dalam pembangunan rest area dieng adalah material candi diduga Candi Prau dan situs Watu Kelir. Namun, Aryadi bilang penemuannya bukan di lokasi candi.
Lokasi dibangunnya rest area hanya berdekatan dengan Candi Prau dan Watu Kelir. Rest area dibangun di atas bekas pesanggrahan, yakni tempat untuk menyimpan benda-benda purbakala saat Pemerintah Kolonial Belanda mengeskavasi sejumlah candi di Dieng.
"Batu-batu candi iya, tapi bukan lokasi candi. Dari sejarahnya dulu, yang akan dibangun rest area itu kan namanya pesanggrahan, itu tempat untuk mengumpulkan arca-arca temuan di Dieng," ucap Aryadi, Selasa, 17 September 2019.
Aryadi mengungkapkan, saat pemerintah Belanda menemukan situs Candi di Dieng, kawasan Dataran Tinggi Dieng yang berada di lembah bekas kaldera rakasa ini merupakan rawa. Untuk dapat dilalui, batu-batu candi diambil dan ditumpuk untuk meninggikan jalan.
Akibatnya, material candi dan situs kuno penting hilang. Di antaranya, Candi Prau, Magersari, Parikesit, Candi Nakula dan Sadewa, serta Watu Kelir.
"Dulu, ketika Belanda datang itu kan Dieng berair. Sehingga agar bisa dilalui, itu memang harus menumpuk batu-batu begitu," Aryadi.
Aryadi mengemukakan, temuan material candi ini sudah dilaporkan ke Balai Pelestari Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah. Tim BPCB mengambil sampel untuk diteliti di Semarang.
Ironisnya, pembanguan rest area tak dihentikan. Alasannya, artefak yang ditemukan tidak in situ, alias bukan dalam kondisi asli dan bukan berada di tempat aslinya. "Belum, dan memang tidak ada eskavasi sampai sekarang," kata dia.
Alasan lainnya, masih banyak situs di Dieng yang juga perlu dieskavasi. Eskavasi material kuno yang sudah bukan lagi dalam kondisi asli dan berada di tempatnya sangat sulit dilakukan.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Advertisement