Hendrawan PDIP Sebut KPK Semakin Diperkuat, Ini Alasannya

Menurut Hendrawan, UU KPK lama hanya menganut sistem satu tingkat.

oleh Putu Merta Surya Putra diperbarui 23 Sep 2019, 07:25 WIB
Anggota Komisi XI F-PDIP Hendrawan Supratikno (tengah) bersama Waketum Partai Gerindra Arief Poyuono dan Pengamat Ekonomi INDEF Enny Sri Hartati saat diskusi Dialektika Demokrasi di Jakarta, Kamis (11/10). (Liputan6.com/JohanTallo)

Liputan6.com, Jakarta - Keberadaan Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang muncul akibat revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuai pro dan kontra.

Politisi PDIP yang juga anggota Badan Legislasi DPR Fraksi PDIP Hendrawan Supratikno mengatakan, ada ruang terbuka agar semua pihak untuk mengkaji sekaligus membandingkan sistem kerja antara UU KPK yang lama dengan sesudah revisi.

Menurutnya, UU KPK lama hanya menganut sistem satu tingkat. Sedangkan UU KPK setelah revisi sudah menganut sistem dua tingkat. Menurutnya sistem dua tingkat lebih teruji kuatnya dibandingkan sistem 1 tingkat.

"Minta pengamat hukum untuk mengkaji kekuatan dan kelemahan sistem dua tingkat yang diangkat dalam revisi UU, dibanding sistem satu tingkat yang ada di UU lama. Sejarah membuktikan, dalam evolusi kelembagaan modern, sistem dua tingkat lebih mampu bertahan dalam berbagai situasi," kata Hendrawan, saat dikonfirmasi, Senin (23/9/2019).

Dia menjelaskan, jika dahulu pimpinan KPK selaku penanggungjawab tertinggi. Sedangkan, sekarang, 5 pimpinan KPK dan 5 dewan pengawas, sama-sama bisa saling mengawasi jalannya kinerja.

Hendrawan menerangkan, ini bukan saja diterapkan untuk lembaga negara. Perusahaan besar swasta yang sudah global pun melakukannya.

"Justru sebagai lembaga negara dengan kewenangan besar, sistem itu lebih penting diterapkan. Lembaga swasta yang tidak pakai uang negara dan pejabatnya tidak disumpah saja butuh check and balance, apalagi lembaga negara," pungkas Hendrawan.

Saksikan video pilihan di bawah ini:


Siapa Bisa Jadi Dewan Pengawas?

Menkumham Yasonna Laoly membacakan pandangan pemerintah terhadap revisi UU KPK dalam sidang paripurna ke-9 Masa Persidangan I 2019-2020 di Kompleks Parlemen, Senayan, Selasa (17/9/2019). Rapat Paripurna DPR menyetujui Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengatakan, anggota Dewan Pengawas KPK yang akan ditunjuk Presiden Joko Widodo atau Jokowi bisa dari kalangan tokoh masyarakat, akademisi, sampai aparat penegak hukum. Dia mengatakan, Jokowi bakal membuat mekanisme seleksi untuk menunjuk anggota Dewan Pengawas KPK.

"Itu nanti Presiden akan membuat lebih lanjut. Tokoh-tokoh masyarakat, akademisi, aparat penegak hukum yang pas. Nanti kan Presiden membuat itu melalui mekanisme pansel," ujarnya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (17/9/2019).

Dalam Pasal 37D UU KPK yang telah direvisi, anggota Dewan Pengawas memiliki sejumlah syarat. Minimal usia paling rendah 55 tahun, bukan pengurus partai politik, pendidikan paling rendah S1, harus melepaskan jabatan struktural atau jabatan lain. Jumlah anggota Dewan Pengawas sebanyak lima orang.

Dalam Pasal 37E, dijelaskan mekanisme pemilihan anggota Dewan Pengawas KPK melalui panitia seleksi yang ditunjuk Presiden. Anggota pansel berasal dari unsur pemerintah pusat dan unsur masyarakat. Setelah pansel menyerahkan nama kepada presiden, paling lambat 14 hari menyampaikan kepada DPR agar dikonsultasikan.

Namun, kata Yasonna pada periode pertama, langsung Presiden yang menunjuk anggota Dewan Pengawas. Pada periode berikutnya, baru melalui mekanisme konsultasi ke DPR.

"Memang untuk pertama kalinya ini supaya cepat di bawah Presiden. Yang kedua, nanti untuk berikutnya akan dikonsultasikan dengan DPR, itu konsultasi," kata dia.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya