7 Persoalan Dunia yang Akan Dibahas di Sidang Majelis Umum PBB 2019

Perhelatan inti pertemuan tahunan Sidang Majelis Umum PBB (UNGA) akan dibuka awal pekan ini, dengan berbagai latar belakang krisis, konflik, dan instabilitas yang menyelimuti dunia.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 23 Sep 2019, 13:00 WIB
Ruang Sidang Majelis Umum PBB di New York. (AP Photo / Mark Lennihan)

Liputan6.com, New York - Perhelatan inti pertemuan tahunan General Assembly of the United Nations (UNGA) atau Sidang Majelis Umum PBB akan dibuka awal pekan ini, dengan berbagai latar belakang krisis, konflik, dan instabilitas yang menyelimuti dunia.

Planet yang memanas, ketidakpastian ekonomi, hingga meluasnya konflik yang mengancam di Timur Tengah yang bergejolak; diperkirakan menjadi bahasan berbagai pemimpin dunia dalam pertemuan Majelis Umum yang beranggotakan 193 orang.

Mereka juga diperkirakan mendiskusikan dampak dari perang perdagangan AS-China, migrasi global, pasokan energi, perubahan iklim, dan pemberantasan kemiskinan.

Sementara itu, beberapa pemimpin terkemuka tidak datang dalam Sidang Majelis Umum PBB, terutama Presiden China Xi Jinping dan Presiden Rusia Vladimir Putin.

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu yang diperangi oleh berbagai negara atas sikapnya terhadap Palestina, juga tidak hadir --menyusul pemilu Israel yang berujung deadlock dan menyisakan upayanya untuk kembali memerintah berada di ujung tanduk.

Beberapa momen terbesar dan konfrontasi dapat terjadi pada pekan ini dalam Sidang ke-74 Majelis Umum PBB 2019, berikut 7 di antarannya, seperti dirangkum dari the New York Times dan CNN, Senin (23/9/2019).


1. Perseteruan AS & Arab dengan Iran

Puing-puing rudal dan drone yang digunakan dalam serangan kilang minyak Aramco ditunjukkan dalam konferensi pers di Riyadh, Arab Saudi, Rabu (18/9/2019). Kementerian Pertahanan Arab Saudi mengatakan 18 drone dan 7 rudal diluncurkan dari arah yang bukan berasal dari Yaman. (AP Photo/Amr Nabil)

Serangan terhadap dua fasilitas minyak Arab Saudi pada 14 September 2019 menjadi salah satu isu yang diperkirakan akan disinggung oleh beberapa pemimpin dunia.

Bagaimana tidak, peristiwa itu terjadi dalam konteks konflik proksi dan perang yang telah mengguncang wilayah Teluk Arab selama lebih dari beberapa tahun terakhir.

Kelompok gerilyawan Houthi Yaman --yang berperang dengan koalisi Saudi-UEA-- mengklaim serangan itu. Namun Riyadh dan Washington DC menuduh Iran sebagai biang keladi, menuding mereka sebagai pemberi dukungan bagi gerilyawan Houthi.

Presiden Iran Hassan Rouhani akan berpidato di hadapan majelis pada Rabu 25 September, di mana hampir pasti dia akan menyatakan bahwa Trump memicu siklus konflik dengan keluar dari perjanjian nuklir (JCPOA 2015) tahun lalu dan menerapkan kembali sanksi berat yang melumpuhkan ekonominya.

Seorang pejabat senior PBB menyatakan, "Ketegangan di Teluk akan menjadi latar belakang banyak acara dan pertemuan." Yang membawa kita ke pertanyaan terbesar menjelang UNGA: Akankah Presiden Trump bertemu Presiden Rouhani?

Tidak ada yang direncanakan antara kedua pemimpin, meskipun keduanya akan berada di gedung PBB di tengah parade delegasi.

Ancaman dan retorika yang dilontarkan oleh kedua belah pihak sangat sengit.

AS memberlakukan lebih banyak sanksi terhadap Iran pada hari Jumat sebelum pertemuan tingkat tinggi di PBB dimulai, dan Iran mengatakan mereka tidak perlu berbicara dengan Amerika.

"Sepertinya peluang nol untuk pertemuan," kata Richard Gowan, Direktur PBB di International Crisis Center, seperti dikutip dari CNN.

"Alih-alih terobosan diplomatik, kita cenderung akan melihat perang kata-kata."

PBB dimaksudkan untuk menjadi tempat netral bagi pihak-pihak yang berduel untuk berdialog, dan kesempatan pertemuan tatap muka adalah apa yang baik untuk forum internasional ini. Pada tahun 2000, Presiden AS saat itu Bill Clinton dan (almarhum) Presiden Kuba Fidel Castro tiba-tiba berhenti dan bertatap muka di lorong, ketika hubungan antara kedua negara memburuk. Masih ada perdebatan apakah jabat tangan terjadi.


2. Perubahan Iklim

Ilustrasi perubahan iklim (AFP)

Krisis perubahan iklim ada di bagian atas agenda Majelis Umum. Sekitar 60 kepala negara berencana untuk berbicara di KTT Aksi Iklim pada Senin 23 September malam waktu New York, dan para pejabat bertujuan untuk mengumumkan inisiatif yang mencakup emisi karbon bersih.

Amerika Serikat tidak memiliki rencana seperti itu. Presiden Trump mengumumkan pada 2017 bahwa ia menarik negara itu dari Perjanjian Paris tentang perubahan iklim. Tetapi beberapa gubernur negara bagian yang telah membentuk Aliansi Iklim Amerika Serikat mengatakan mereka akan menghadiri KTT dan bertemu dengan delegasi lain.

Seberapa konkret hasil KTT sebenarnya tidak jelas.

PBB tidak memiliki 'pasukan' iklim global untuk berkeliaran di planet ini untuk menghentikan polusi, jadi terserah pada 193 negara PBB untuk mengambil tindakan.

Apa yang sebenarnya akan dilakukan oleh PBB adalah apa yang dirasakan oleh sebagian orang sebagai yang paling menyedihkan yang dilakukan organisasi: mengumpulkan pidato dan brainstorming lingkungan lainnya untuk dirangkum dalam sebuah laporan.

"Padahal, yang terpenting adalah untuk menekan para pemimpin dunia untuk berbuat lebih banyak, karena keadaan darurat iklim (terus) memburuk," tulis editorial CNN jelang UNGA 2019.


3. Perang Dagang hingga Perseteruan 'Pribadi' AS - China

Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping sebelum melakukan pertemuan di resor Mar a Lago, Florida, Kamis (6/4). Isu perdagangan dan Korea Utara diperkirakan menjadi isu utama pembahasan kedua pemimpin negara tersebut. (AP Photo/Alex Brandon)

Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin diperkirakan akan bertemu dengan rekan setara dari Tiongkok di sela-sela UNNGA, menyarankan bahwa pemerintah berusaha untuk menciptakan suasana yang lebih produktif untuk memulai kembali perundingan perdagangan setelah berminggu-minggu sengit.

Kedua pemerintah baru-baru ini menghentikan pertempuran kenaikan tarif perdagangan mereka --yang memicu perang dagang pada awalnya.

Tetapi beberapa pejabat administrasi AS mendesak agar Presiden Trump mengatasi masalah-masalah lain yang dianggap sensitif oleh China, termasuk protes pro-demokrasi di Hong Kong, penindasan terhadap warga Tibet dan penahanan lebih dari satu juta Muslim, kebanyakan etnik Uighur. Seorang pejabat mengatakan, Trump setidaknya harus mengkritik China karena mencoba mengintimidasi aktivis Uighur-Amerika.

Trump tidak pernah berbicara dengan tegas tentang isu hak asasi manusia di China, dan dia secara terbuka menyatakan kekagumannya kepada Presiden Xi Jinping dan para pemimpin otoriter lainnya.

Tetapi, anggota parlemen di kedua partai Kongres menekan Presiden Trump untuk bertindak. RUU tentang Uighur, Tibet dan Hong Kong ditujukan untuk memaksa Trump dan pemerintah untuk mengambil sikap lebih keras terhadap Tiongkok.


4. Korea Selatan dan Jepang yang Menegang

Presiden Korea Selatan (kiri) berjabat tangan dengan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe (kanan) di KTT G-20 tahun 2019 (AFP/Ludovic Marin)

Pertikaian yang berkepanjangan antara Jepang dan Korea Selatan, yang berakar pada pendudukan Jepang semasa Perang Dunia II, telah menyebabkan penurunan hubungan perdagangan dan berakhirnya perjanjian pembagian intelijen.

Perdana Menteri Shinzo Abe dari Jepang dan Presiden Moon Jae-in dari Korea Selatan tidak diharapkan untuk bertemu satu sama lain. Apakah Presiden Donald Trump dapat mendorong mereka ke dalam percakapan tiga arah masih belum jelas. Dan tujuan bersama oleh ketiganya - perlucutan senjata nuklir Korea Utara - mungkin hanya akan menghasilkan sedikit atau tidak ada kemajuan.

Sementara Presiden Moon diperkirakan akan mendesak Trump untuk memperbarui desakannya untuk diplomasi dengan pemimpin Korea Utara, Kim Jong-un, tidak ada pejabat tinggi Korea Utara yang berencana menghadiri Majelis Umum --di mana Pyongyang hanya diwakili oleh duta besar saja.


5. Krisis Venezuela

Puluhan ribu demonstran antipemerintah menuntut pengunduran diri Presiden Venezuela Nicolas Maduro di Caracas, Venezuela, Sabtu (2/2). Tokoh oposisi Juan Guaido mendeklarasikan dirinya sebagai 'presiden interim'. (AP Photo/Juan Carlos Hernandez)

Presiden Nicolás Maduro dari Venezuela, yang dianggap oleh pemerintahan AS dan sekitar 50 pemerintah lainnya sebagai pemimpin yang tidak sah, diperkirakan kuat tidak hadir --ketika sejumlah pemimpin dunia diharapkan akan menyoal krisis yang terjadi di negara Amerika Selatan itu.

Para menteri luar negeri dari 18 negara Barat, termasuk Amerika Serikat, berencana bertemu pada Senin 23 September untuk membahas apa yang dapat dilakukan mengenai Nicolás Maduro, yang telah memimpin keruntuhan ekonomi terbesar dalam sejarah Venezuela dan krisis regional yang disebabkan oleh eksodus jutaan rakyatnya.

Dorongan itu akan berfokus pada meyakinkan Uni Eropa untuk memperluas sanksi ekonomi terhadap loyalis Maduro, termasuk membekukan aset yang mereka miliki di Eropa. Orang Eropa juga dapat ditekan untuk menghukum penyelundup emas Venezuela ke Eropa.

Maduro, yang mengklaim kemenangan dalam pemilihan yang disengketakan pada akhir tahun lalu, telah mempertahankan kekuasaan meskipun sembilan bulan tuntutan untuk mengundurkan diri oleh gerakan oposisi yang dipimpin oleh presiden Parlemen Venezuela, Juan Guaido.

PBB juga diharapkan mampu bertindak, menyusul runtuhnya negosiasi antara Maduro dan Guaido yang diperantarai Norwegia pada pekan lalu.


6. Perdamaian di Afghanistan

Tentara Amerika Serikat di Afghanistan pada Juni 2017 (File / AP PHOTO)

Sidang Majelis Umum PBB berlangsung hanya beberapa minggu setelah jatuhnya pembicaraan antara Taliban dan Amerika Serikat yang bertujuan mengakhiri perang berusia 18 tahun.

Dengan pemilihan nasional yang dijadwalkan Sabtu depan, Presiden Ashraf Ghani tidak diharapkan hadir. Sebagai gantinya, delegasi Afghanistan akan dipimpin oleh Hamdullah Mohib, penasihat keamanan nasional Presiden Ghani, akan duduk di kursi majelis.

Mohib membuat marah pemerintahan Trump pada bulan Maret, ketika dia memperkirakan pembicaraan damai tidak akan berakhir dengan damai.

Kini, tergantung pada bagaimana AS, Afghanistan, dan sejumlah negara yang menaruh perhatian pada isu tersebut untuk mengambil sikap.


7. Kashmir

Ilustrasi keadaan di Kashmir, perbatasan India dan Pakistan (AFP Photo)

Ada juga pertanyaan tentang apa yang mungkin dikatakan oleh Pakistan, tentang berakhirnya status otonomi Kashmir yang diperebutkan oleh India --dan bagaimana anggota Majelis Umum akan menyuarakan sikapnya.

PM Pakistan Imran Khan telah bersikeras akan membawa isu itu ke PBB. Namun, Sekjen PBB Antonio Gutteres telah menekankan bahwa isu tersebut adalah persoalan bilateral antara Pakistan dan India.

Sejak Agustus, Islamabad telah mencari dukungan dari berbagai negara yang bersedia membekingnya untuk membawa isu tersebut ke PBB. Namun, dari bagaimana sikap Presiden Trump yang justru memuji PM India Narendra Modi dalam reli kampanye di Texas akhir pekan kemarin, sulit membayangkan negara-negara berpengaruh akan memihak Pakistan pada isu Kashmir.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya