Liputan6.com, Jakarta - Kamis 30 September 1965 malam, Presiden Sukarno atau Bung Karno hadir memberikan sambutan pada pertemuan Persatuan Insinyur Indonesia di kawasan Senayan, Jakarta. Biasanya, di acara serupa banyak pejabat yang datang, tapi tidak begitu dengan malam itu. Banyak kursi VIP yang kosong.
"Bapak (Sukarno) kelihatan agak kecewa melihat itu," kata Mangil Martowidjojo, Komandan Detasemen Kawal Pribadi dari Resimen Cakrabirawa.
Advertisement
Sekitar pukul 23.00 WIB, Bung Karno kembali ke Istana Merdeka. Dia mengganti baju kepresidenan dengan kemeja lengan pendek putih, celana abu-abu, tanpa kopiah. Hanya 20 menit di Istana, Bung Karno keluar dan menggunakan mobil Chrysler hitam, berpelat B 4747, Bung Karno melaju ke Hotel Indonesia. Di sana, ia menjemput istrinya Ratna Sari Dewi Sukarno.
"Bapak tetap di mobil. Ajudannya Suparto yang menjemput Ibu Dewi," cerita Mangil sebagaimana dituturkan dalam majalah Tempo edisi 6 Oktober 1984 berjudul Kisah-kisah Oktober 1965.
Dari Hotel Indonesia, mobil berjalan ke Wisma Yaso, kini Museum Satria Mandala di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, yang menjadi kediaman Ratna Sari Dewi.
Hari berganti. Jumat 1 Oktober 1965, sekitar pukul 05.15 WIB, Mangil menerima telepon dari salah seorang anggota Detasemen Kawal Pribadi (DKP) yang bertugas di Wisma Yaso. Laporan si petugas, hubungan telepon keluar Istana diputus Telkom atas perintah militer.
Mendapat kabar itu, Mangil bergegas pergi ke Wisma Yaso. Dalam waktu setengah jam ia sudah tiba di sana. Dan sekira pukul 06.00 WIB, Mangil mendapat kabar rumah Menteri Pertahanan dan Keamanan serta Kepala Staf ABRI (Menko Hankam/Kasab) Jenderal Abdul Haris Nasution dan J Leimena ditembaki.
Tak lama kemudian, Bung Karno keluar dari kamarnya dan langsung menghampiri Mangil. Rupanya, Presiden juga sudah mendapat kabar singkat soal apa yang terjadi di kediaman Nasution. Kepada Mangil, RI-1 meminta penjelasan rinci tentang apa yang terjadi.
"Bapak rupanya sudah dilapori soal penembakan itu," ujar Mangil.
Tapi, Mangil yang ditanya tidak bisa menjawab secara lengkap. Ketidaktahuan sang pengawal itu membuat Sukarno berang. Kemudian dia meminta saran apa yang harus dilakukan. Mangil memberi pilihan, Presiden tetap tinggal di Wisma Yaso atau beranjak ke Istana.
Atas saran itu, Sukarno beranjak ke Istana dengan konvoi dan pengamanan ketat. Ketika itu jam menunjukkan pukul 06.30 WIB. Berselang 10 menit, saat rombongan berada di Jembatan Dukuh Atas, rombongan Presiden terhenti karena ada perintah via radio dari Kolonel CPM Maulwi Saelan yang ketika itu menjabat sebagai Wakil Komandan Resimen Tjakrabirawa.
Maulwi mengatakan menerima informasi tentang kehadiran pasukan tak dikenal di luar Istana Merdeka. Itu artinya ada bahaya yang mengancam jika Bung Karno tetap memutuskan untuk menuju Istana. Apalagi, usai salat Subuh di rumahnya, Maulwi menerima kabar ada penembakan di rumah Johannes Leimena dan Jenderal AH Nasution
"Segera putar arah ke Grogol. Saya menunggu di sana," kata Maulwi via radio.
Grogol yang dimaksud adalah rumah Haryati, istri Bung Karno lainnya.
Sekitar pukul 07.00 WIB, Bung Karno bersama pengawal tiba di Grogol. Maulwi lalu melaporkan informasi yang dia terima. Mendengar ada penembakan di rumah para jenderal serta pasukan tak dikenal di sekitar Istana, Bung Karno terkejut.
"Wah, Ik ben overrompeld. Wat wil je met me doen? (Aku diserbu. Apa yang kamu mau aku lakukan?)," tanya Bung Karno
"Sementara kita di sini dulu, Pak. Kami mau mencari keterangan dan kontak dengan Panglima Angkatan dan Kodam Jaya, serta menanyakan situasinya," jawab Maulwi.
Bung Karno sadar, ia tak bisa berlama-lama di rumah Haryati, sehingga Maulwi, Mangil dan Suparto (sopir pribadi Soekarno) berunding mencari lokasi lain yang bisa menjadi tempat alternatif persembunyian Bung Karno.
Dikutip dari Maulwi Saelan: Penjaga Terakhir Soekarno, dia menerangkan, sesuai SOP Tjakrabirawa, ada dua pilihan tempat evakuasi Bung Karno dari Istana dalam keadaan darurat. Pertama, Halim Perdanakusuma karena di sana ada pesawat kepresidenan Jetstar C-140. Kedua, dibawa ke Tanjungpriok, Jakarta Utara, tempat kapal kepresidenan Varuna I-II bersandar.
Bung Karno akhirnya memutuskan pergi ke Pangkalan AU Halim Perdanakusuma. Sekitar pukul 08.30 WIB, Sang Proklamator dan rombongan berangkat menuju Halim dan tiba satu jam kemudian.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Halim dan Kostrad
Jam menunjukkan pukul 09.30 WIB, ketika mobil VW biru tua yang ditumpangi Bung Karno tiba di Bandara Halim. Saat itu suasana masih sepi karena tak ada latihan personel Angkatan Udara. Presiden yang ditemani Jaksa Agung Muda Sunario menuju gedung Komandan Operasi (Koops) AURI.
Di tempat ini Bung Karno bertemu Menteri/Panglima Angkatan Udara Laksamana Madya Omar Dhani dan Panglima Koops Komodor Leo Wattimena.
Tak lama kemudian, tiga perwira Angkatan Darat datang menemui Bung Karno. Mereka adalah Panglima Tempur Mandala Siaga Brigjen Supardjo dan Mayor Bambang Supeno dan Mayor Sukirno, Komandan Batalyon Dharma Putra Kostrad.
Kepada Sukarno, Supardjo melaporkan tentang insiden penembakan antarpasukan ABRI yang langsung diperintahkan Presiden untuk dihentikan. Demikian pula saat Supardjo meminta Bung Karno mendukung Gerakan 30 September, yang ditolak tegas Presiden.
"Sewaktu Brigjen Supardjo meninggalkan Koops AURI Halim, wajahnya kelihatan lesu dan kecewa sekali," kenang Maulwi dalam bukunya.
Setelah kepergian Brigjen Supardjo, Bung Karno meminta seluruh petinggi ABRI dipanggil untuk memberi keterangan yang lebih akurat. Ia memanggil Panglima AD, Panglima AL Laksamana RE Martadinata, Panglima Angkatan Kepolisian Sitjipto Judodihardjo dan Pangdam V Jaya Mayjen Umar Wirahadikusuma.
Pertemuan dilakukan di rumah Komodor Udara Susanto yang sehari-hari bertugas sebagai pilot pesawat kepresidenan Jetstar. Sebelum pukul 12.00 WIB, petinggi ABRI yang dipanggil Presiden mulai berdatangan, kecuali Pangdam V Jaya Umar Wirahadikusuma.
Kombes Pol Sumirat bersama Bambang Widjanarko datang menjemput Pangdam V Jaya Umar Wirahadikusuma di Markas Kodam V Jaya. Namun, Umar tak di sana. Umar diketahui sedang di markas Kostrad. Alasan ketidakhadiran Umar disampaikan Pangkostrad Jenderal Soeharto yang mengatakan agar seluruh instruksi untuk AD disampaikan melalui dia karena Panglima AD Ahmad Yani tak di tempat.
Raut muka Sukarno nampak kecewa saat Sumirat menyampaikan pesan Soeharto. Pertemuan itu pun dilanjutkan tanpa kehadiran Pangdam V Jaya.
Selama pertemuan berlangsung, para perwira berjaga di luar. Ada yang sekadar ngobrol namun ada juga yang sibuk mendengarkan siaran lewat radio transistor. Hal ini karena mereka tak mengetahui kejadian yang sebenarnya di Jakarta, saking minimnya informasi yang mengalir melalui jalur tradisional.
"Baru sekitar pukul 12.00 WIB, kami mendengar adanya pengumuman dari Letkol Untung mengenai Dewan Revolusi dan pembubaran kabinet. Ini berarti telah terjadi kudeta," kata Maulwi.
Radio yang sedang menyiarkan berita itu pun langsung dibawa ke Sukarno untuk diperdengarkan. Sore harinya, putra-putri Presiden diberangkatkan menuju Bandung dengan helikopter.
Dalam rapat terbatas di rumah Komodor Susanto, Presiden mengangkat Jenderal Pranoto Reksosamudro sebagai caretaker Menteri/Panglima AD. Bambang Widjanarko-lah yang diutus untuk menjemput Pranoto.
Usai mencari tahu keberadaan Pranoto, Bambang menuju Kostrad dan menemui Soeharto. Soeharto sempat menanyakan posisi Presiden Soekarno dan meminta Bambang menyampaikan pesan jika Panglima AD Jenderal Ahmad Yani tak ada sehingga kepemimpinan sementara di tangannya. Ia juga meminta Bambang menyampaikan Pranoto tak dapat menghadap Soekarno.
Advertisement
Meninggalkan Bandara Halim
Sekitar pukul 18.00 WIB, Pangkalan Udara Halim kedatangan pasukan Angkatan Darat yang belakangan diketahui pasukan yang sama yang mengepung Istana dan pendukung G 30 S. Namun, mereka dilarang masuk dalam lingkungan pangkalan dan memilih menunggu di sepanjang jalan Jakarta by Pass.
Kedatangan pasukan ini dinilai sebagai ancaman untuk Bung Karno. Karena itu, Presiden direncanakan dibawa ke Istana Bogor agar tetap dapat memantau perkembangan di Jakarta. Bung Karno pun menyetujui, namun meminta waktu untuk menunggu Bambang yang bertugas memanggil Pranoto.
Bambang Widjanarko baru tiba di Halim sekitar pukul 20.00 WIB. Ia menyampaikan bahwa Pranoto berada di Markas Kostrad tapi tak mau menghadap. Ia juga menyampaikan pesan Soeharto yang ingin seluruh hal menyangkut AD melalui persetujuannya.
Mendengar itu, Bung Karno marah. Namun, seakan tak peduli dengan kemarahan itu, Bambang menyarankan agar Presiden meninggalkan Bandara Halim karena paling lambat keesokan paginya pasukan Kostrad akan menyerbu. Dalam kondisi genting itu, Bung Karno mendapat kabar bahwa pasukan Mayor Sukirno dan Mayor Bambang Supeno telah diberi ultimatum untuk menyerah ke Kostrad atau akan digempur.
Tak lama kemudian, Ratna Sari Dewi yang dijemput sopir pribadi Bung Karno tiba di Bandara Halim. Setelah itu, secara diam-diam sekitar pukul 22.30 WIB Sukarno dan rombongan keluar dari Bandara Halim.
Setelah Presiden dalam perjalanan menuju Bogor, anggota DKP diperintahkan untuk menghubungi Soeharto untuk memberitahu bahwa Presiden sedang menuju Istana Bogor. Sekitar 24.00 WIB, Maulwi dihubungi Soeharto dan ia melaporkan bahwa Soekarno telah tiba dengan selamat di Istana Bogor.
Tugas belum selesai, usai berkoordinasi dengan Soeharto, Maulwi menghubungi Pangdam VI Siliwangi Ibrahim Aji untuk melaporkan keberadaan Presiden Sukarno di Istana Bogor.
"Setelah mengadakan pengaturan, pengecekan, dan pengamanan seperlunya di sekitar Istana Bogor, saya kemudian istirahat," ucap Maulwi.
Dari paparan kronologi perjalanan Bung Karno sepanjang Jumat 1 Oktober 1965 dari Wisma Yaso ke Halim hingga pulang ke Istana Bogor, bisa ditarik kesimpulan, bahwa:
Pertama, langkah pengawal Presiden membawa Bung Karno ke pangkalan udara Halim Perdanakusuma pada 1 Oktober 1965 pagi merupakan prosedur yang benar bagi keselamatan Presiden.
Kedua, kawasan Halim memang dekat dengan Lubang Buaya, tempat jenazah korban G30S ditemukan. Jarak Markas Koops dengan sumur tua di Lubang Buaya, jika ditarik garis lurus, hanya 3,5 kilometer. Namun, Lubang Buaya bukan bagian dari kawasan militer AURI tersebut.
Masalahnya, Menteri/Panglima Angkatan Udara Laksamana Madya Omar Dhani dinyatakan terlibat dalam pemberontakan yang diotaki PKI itu. Omar Dhani diadili dalam Sidang Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) dan divonis hukuman mati pada 25 Desember 1966. Tahun 1980 hukumannya diubah menjadi seumur hidup.
Ia kemudian mendapat grasi yang dikeluarkan pada 2 Juni 1995. Akhirnya, suami dari Sri Wuryanti ini dapat menghirup udara bebas pada 15 Agustus 1995 setelah meringkuk dalam penjara selama 29 tahun.
Ia dituduh terlibat Peristiwa G30-S/PKI karena Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma yang berada di bawah wewenangnya dijadikan tempat pelatihan Pemuda Rakjat onderbouw PKI.
Hal inilah yang kemudian membuat Bung Karno dianggap merestui penculikan dan pembunuhan para jenderal, karena berada di Pangkalan Udara Halim, di mana wilayah itu dikuasai oleh seorang panglima yang mendukung gerakan berdarah pada 30 September 1965.
Selain itu, sejumlah kebijakan yang dikeluarkan Bung Karno pasca-kudeta berdarah itu terkesan membela Omar Dhani serta kelompok pemberontak.
Namun, setidaknya untuk menyoal kehadiran Bung Karno di Halim pada pagi itu, ada alasan yang masuk akal serta logis dari sisi politik dan keamanan. Selebihnya, sejarah masih terus berproses mengungkap kebenaran.