Liputan6.com, Canberra - Di saat dunia mengecam pemerintah China atas tindakan mereka terhadap umat Muslim di negaranya, Partai Komunis China justru mengobarkan kembali mitos Cheng Ho, seorang laksamana angkatan laut yang memimpin pelayaran di awal abad ke-15.
Tak heran jika Presiden China, Xi Jinping, terus menerus menyebut sosok Cheng Ho sebagai simbol persahabatan dengan dunia saat ia mempromosikan inisiatif 'One Belt, One Road' dari Asia ke Eropa.
Advertisement
Cheng Ho telah digunakan oleh Presiden Jinping sebagai simbol persahabatan China dengan dunia, khususnya di Asia Tenggara dan kekuasaan China yang damai.
Sosok Cheng Ho diberi julukan sebagai 'Columbus dari China', namanya bahkan menginspirasi sebuah kedai kopi yang trendi di Melbourne, Australia.
Tapi apakah Cheng Ho telah dijadikan simbol agar kita percaya diplomasi China? Berikut ulasan dari ABC Indonesia, dikutip pada Selasa (24/9/2019).
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Siapa Cheng Ho?
Memimpin pelayaran ke seluruh dunia satu abad sebelum Christopher Columbus mencapai Amerika, Cheng Ho digambarkan sebagai salah satu penjelajah terhebat sepanjang masa.
Ia terlahir dengan nama Ma He pada 1371 di provinsi Yunnan, China Selatan. Orang tuanya bearasl dari etnis minoritas Hui, yang mayoritas Muslim.
Sosok keluarganya sedikit diketahui, tapi ayah dan kakek Cheng Ho pernah menunaikan ibadah haji ke Mekah, yang jaraknya lebih dari 5.000 kilometer dari China.
Nama Ma, turunan dari kata Muhammad dalam Bahasa China, diganti menjadi Cheng, nama yang dianugerahkan kepadanya oleh kaisar Ming saat ia naik ke pangkat tertinggi dalam hierarki keluarga kekaisaran.
Cheng Ho memimpin serangkaian pelayaran tak tertandingi antara tahun 1405 dan 1433, memimpin lebih dari 20.000 orang kru dengan armada laut paling maju di dunia saat itu, dengan lebih dari 100 kapal .
Ia kemudian disebut-sebut pernah tertarik dengan ajaran Buddha dan kemudian meninggal di India.
Di saat armadanya memamerkan kekuatan dan kehebatan angkatan laut China, sejarah China ortodoks menggambarkannya sebagai sosok yang tidak pernah terlibat dalam diplomasi perang, tapi lebih menjalin persahabatan dengan para pemimpin asing.
"Dia tidak pernah menjajah sepetak tanah pun, atau membangun benteng apa pun, atau merebut kekayaan apa pun dari negara lain," kata wakil menteri komunikasi China Xu Zu-yuan pada 2004.
"Dalam kegiatan komersial dan perdagangan, dia memberi lebih dari yang diterimanya, dan dengan demikian dia disambut dan dipuji oleh orang-orang dari berbagai negara di sepanjang rute perjalanannya."
Penggambaran ini jelas merupakan sosok yang hendak China kedepankan kepada dunia internasional sekarang ini. Bahkan Angkatan Laut China telah menamakan salah satu kapalnya, "Cheng Ho".
Tahun 2012, kapal tersebut melakukan "misi harmonis" ke negara-negara di kawasan Asia, seperti Indonesia, Vietnam, Malaysia, bahkan hingga ke India, Italia, dan Kanada dengan tujuan memperkuat hubungan dengan angkatan laut asing.
Advertisement
Simbol Kebijakan Luar Negeri
Presiden Jinping mengedepankan kehebatan Cheng Ho dalam pidato pembukaannya di forum 'Belt and Road' tahun 2017 lalu.
"Para perintis ini memenangkan tempat dalam sejarah, bukan sebagai penakluk dengan kapal perang, senjata atau pedang. Sebaliknya, mereka dikenang sebagai utusan yang ramah," kata Presiden Jinping.
"Dari generasi ke generasi, para pelayar jalur sutra telah membangun jembatan untuk perdamaian dan kerja sama antara Timur dan Barat."
Cheng Ho adalah "orang kunci yang mewakili Jalur Sutra maritim", kata Dr. Sow Keat Tok dari Institut Asia di Universitas Melbourne.
Warisan penjelajah itu banyak bertebaran di Asia Tenggara, sebuah fakta yang China tekankan saat berurusan dengan kawasan tersebut.
"Jika Anda melihat bagaimana Cheng Ho dibicarakan dalam cerita rakyat umumnya positif," kata Dr Tok kepada ABC.
Di Indonesia dan Malaysia, Cheng Ho memegang status khusus atas peranannya dalam menyebarkan Islam. Ia dikenang lewat bangunan masjid, kuil, dan museum di sejumlah kepulauan.
Sejarawan dari Universitas Xiamen, Liao Dake telah menulis bahwa Cheng Ho telah "mendukung kemerdekaan kerajaan Melaka, memberikan kekuatan pendorong untuk penyebaran Islam".
Saat parlemen Indonesia ke China minggu lalu, media pemerintah China melaporkannya dengan menulis "warisan Cheng Ho yang banyak tersebar di berbagai tempat, seperti di Indonesia menunjukkan bahwa ekspedisinya membangun hubungan penting yang melampaui diplomasi dan ekonomi, dengan memasukkan aspek budaya dan lainnya".
Sebelum mengunjungi Manila pada November 2018, Presiden Jinping juga pernah menulis sebuah opini yang dipublikasikan secara luas oleh surat kabar Filipina yang menyatakan: "lebih dari 600 tahun yang lalu, pelayar China Cheng Ho melakukan beberapa kunjungan ke Teluk Manila dengan tujuh pelayaran ke luar negeri yang dilakukannya untuk mencari persahabatan dan kerja sama".
Tapi Hakim di Mahkamah Agung Filipina, Antonio Carpio, mengklaim bahwa sejarawan telah membuktikan Cheng Ho tidak pernah datang ke Filipina. Ia menganggap mitosnya hanyalah bagian dari upaya China untuk membenarkan klaim teritorialnya di Laut China Selatan.
"Saya menyebutnya sejarah palsu dalam milenium ini, berita palsu abad ini," katanya.
Menggunakan Kekuataan Militer?
Menurut Dr Tok, pemerintahan di Beijing mengingatkan kembali pesan Cheng Ho "bahwa China menjadi negara yang lebih kuat tanpa ancaman yang lebih".
Meski China menekankan sifat yang bisa dibilang damai dari penjelajahannya, beberapa pengamat di dunia Barat melihat Cheng Ho mewakili hal yang lain.
Tahun lalu, Menteri Pertahanan Amerika Serikat saat itu, James Mattis menyatakan China memiliki "rencana jangka panjang untuk menulis ulang tatanan global yang ada".
"Dinasti Ming sepertinya menjadi panutan mereka, meskipun dengan cara yang lebih keras, dan menuntut negara-negara lain menjadi negara yang harus mengikuti China, menganut 'One Belt, One Road'."
Geoff Wade, seorang sejarawan Australia yang fokus pada keterlibatan China dengan Asia Tenggara, berpendapat bahwa pelayaran Cheng Ho merupakan bentuk "proto-kolonialisme maritim".
Dalam kasus Vietnam, misalnya, Dr Wade menulis "penjelajahan yang dilakukan Cheng Ho juga melibatkan invasi, pendudukan, pemberlakukan administrasi militer dan sipil, eksploitasi ekonomi, dan pengadilan di ibukota yang didominasi kekuasaan".
Pemerintahan Kekaisaran Ming di Vietnam adalah bagian dari 1.000 tahun dominasi China di beberapa negara di Asia Tenggara, yang hingga kini masih membuat marah kaum nasionalis Vietnam.
Dr Wade juga menulis pelayaran Cheng Ho "melibatkan penggunaan kekuatan militer besar untuk menyerang orang-orang yang secara etnis berbeda dari China, menduduki wilayah mereka, memecah wilayahnya menjadi unit-unit administrasi yang lebih kecil, kemudian menunjuk para penguasa dan 'penasihat' yang bisa diatur, dan mengeksploitasi ekonomi daerah yang dikuasai".
Interpretasi yang sangat berbeda atas sejarah Cheng Ho ini mencerminkan perdebatan kontemporer di Asia, Afrika dan Pasifik.
Apakah kekuatan China mencari hubungan yang saling menguntungkan dengan negara-negara kecil, atau sebaliknya sebagi negara pengganggu yang mengeksploitasi mereka secara ekonomi?
Advertisement
Muslim yang Didukung Komunis?
Di saat sosok Cheng Ho sedang digencarkan China di panggung dunia, Partai Komunis diduga menindas warga muslim di negaranya sendiri.
Etnis Hui di China secara budaya lebih mirip dengan mayoritas etnis Han, karenanya sampai saat ini belum menjadi target pemerintah China, seperti yang dialami etnis Uyghur Turki.
Tapi organisasi dunia Human Rights Watch menggambarkan telah terjadi "peningkatan pengawasan" terhadap masyarakat Hui di provinsi asal mereka, Ningxia.
Pihak berwenang telah memerintahkan masjid-masjid yang dianggap terlalu bergaya Arab untuk diubah atau dihancurkan, sebagai bagian dari kebijakan yang lebih luas untuk "membuat Islam sesuai karakter China".
Tahun lalu, ribuan warga etnis Hui memprotes pembongkaran masjid Agung di kota Ningxia, Weizhou, sebuah bentuk penentangan dari sebuah kelompok yang seringkali digambarkan sebagai "panutan minoritas Muslim".
"Pihak berwenang China telah mengeksploitasi sosok Laksamana Cheng Ho, seorang Muslim, untuk keuntungan diplomatik dan komersial, di saat yang sama mengisolasi jutaan Muslim di wilayah Xinjiang, adalah puncak kemunafikan dan tidak tahu malu," kata Sharon Hom, direktur eksekutif Hak Asasi Manusia di China kepada ABC.
"Ini juga memaparkan tujuan sebenarnya dari pembangunan kekaisaran dan membentuk negara-negara pengikut di sepanjang rute 'Belt dan Road'."
"Indoktrinasi ideologis Partai Komunis China yang sedang berlangsung di semua sektor dengan 'pemikiran Xi Jinping' dan upaya-upaya untuk membuat agama 'sesuai keinginan China' telah mencederai pengakuan pemerintah China untuk menghormati pluralisme," kata Hom.