Alasan Pemerintah Tak Tunda Pengesahan Revisi UU KPK

Revisi UU dinilai sebagai upaya pemerintah dan DPR memperbaiki KPK.

oleh Liputan6.com diperbarui 23 Sep 2019, 20:43 WIB
Kepala Staf Presiden Moeldoko saat wawancara dengan KLY di Jakarta, Rabu (16/1). Dalam wawancara tersebut Moeldoko memaparkan kinerja kerja pemerintahan Jokowi-JK hingga saat ini. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko membeberkan alasan mengapa pengesahan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) tidak ditunda. Hal itu, kata dia, karena sudah banyak sekali pihak yang ingin merevisi UU tersebut.

"Tentu ada alasan-alasan, yang pertama hasil survei menunjukkan bahwa yang menyetujui untuk revisi UU KPK itu lebih banyak. Survei Kompas, 44,9 persen, terus ada dari satu lagi itu yang kedua bahwa ada alasan lagi lembaga KPK bisa menghambat upaya investasi," kata Moeldoko di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (23/9/2019).

Sikap ini berbanding terbalik terhadap rancangan UU lain seperti RUU Permasyarakatan, RUU Minerba, dan RUU KUHP. Presiden Joko Widodo atau Jokowi justru ingin RUU tersebut tidak segera disahkan.

Moeldoko menegaskan, revisi UU KPK diperlukan. Dia menganalogikan di negara demokrasi tidak ada lembaga yang seperti dewa.

"Jadi jangan melihat KPK itu dewa. Enggak ada manusia dewa di sini. Kita perlu pemahaman semuanya, ada yang perlu kita perbaiki. Enggak ada upaya pemerintah untuk melemahkan," ungkapnya.

Mantan Panglima TNI itu menambahkan, revisi ini adalah upaya pemerintah dan DPR untuk memperbaiki KPK.

"Tapi ada upaya pemerintah dan DPR untuk memperbaiki KPK ini agar semua orang percaya KPK, dan jangan sampai KPK kehilangan legitimasi karena melakukan hal-hal yang tidak terukur. Ini kira-kira yang saya bisa menyimpulkan," ucap Moeldoko.

Diketahui, DPR telah mengesahkan revisi UU KPK menjadi undang-undang. Hal itu dilakukan pada rapat paripurna 17 September 2019 lalu.

Saksikan video pilihan di bawah ini:


6 Poin Revisi UU KPK

Wakil Ketua DPR selaku Pimpinan Sidang Fahri Hamzah mengetuk palu dalam sidang paripurna ke-9 Masa Persidangan I 2019-2020 di Kompleks Parlemen, Senayan, Selasa (17/9/2019). Rapat Paripurna DPR menyetujui Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Laporan terhadap hasil keputusan tingkat pertama dibacakan oleh Ketua Badan Legislasi Supratman Andi Agtas. Supratman menyebutkan enam poin revisi yang telah dibahas dan disetujui bersama.

Pertama, kedudukan KPK sebagai lembaga hukum berada dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam kewenangan dan tugas bersifat independen dan bebas dari kekuasaan.

Kedua, pembentukan dewan pengawas untuk mengawasi kewenangan dan tugas KPK agar sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Dewan pengawas telah disepakati mayoritas fraksi dan pemerintah ditunjuk oleh presiden.

Ketiga, revisi terhadap kewenangan penyadapan oleh KPK di mana komisi meminta izin kepada dewan pengawas. Berikutnya, mekanisme penggeledahan dan penyitaan yang juga harus seizin dewan pengawas. Kelima, mekanisme penghentian dan atau penuntutan kasus tipikor. Terakhir terkait sistem pegawai KPK di mana pegawai menjadi ASN.

 

Reporter: Sania Mashabi

Sumber: Merdeka.com

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya