Moeldoko: UU KPK yang Lama Hambat Investasi

Moeldoko menyebut, dalam revisi UU tersebut, KPK memiliki kewenangan mengeluarkan SP3.

oleh Fachrur Rozie diperbarui 23 Sep 2019, 22:05 WIB
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko usai mengisi acara di Malang, Jawa Timur (Liputan6.com/Zainul Arifin)

Liputan6.com, Jakarta - Kepala Kantor Staf Kepresidenan, Moeldoko menyebut, revisi Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sudah disahkan DPR dalam rapat paripurna bisa memberikan kepastian hukum kepada para tersangka yang kasusnya mandek.

"Maksudnya Undang-undang KPK yang baru memberikan beberapa landasan bagi kepastian hukum, termasuk bagi investor," ujar Moeldoko dalam siaran persnya, Jakarta, Senin (23/9/2019).

Moeldoko menyebut, dalam revisi UU tersebut, KPK memiliki kewenangan mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3). Dengan SP3 ini, maka KPK bisa memberikan kepastian hukum bagi para tersangka yang kasusnya mandek.

Dalam UU KPK Nomor 30 Tahun 2002, KPK tak memiliki kewenangan menerbitkan SP3. Menurut Moeldoko, penetapan status tersangka yang tanpa kepastian hukum akan menjadi momok bagi investor untuk menanamkan modalnya.

"Dengan Undang-undang yang baru, KPK bisa menerbitkan SP3 dan itu menjadi kepastian hukum yang bisa menjadi nilai positif bagi investasi," ucap Moeldoko.

Sama halnya dengan adanya Dewan Pengawas dalam revisi UU KPK. Menurut Moeldoko, Dewan Pangawas akan membantu KPK bekerja sesuai perundangan yang berlaku termasuk dalam penyadapan.

"Jadi maksud saya bukan soal KPK nya yang menghambat investasi. Tapi KPK yang bekerja berdasarkan Undang-Undang yang lama masih terdapat celah kurangnya kepastian hukum, dan ini berpotensi menghambat investasi," tambah Moeldoko.

Kepastian hukum inilah yang diyakini akan membuat investasi di Indonesia akan lebih baik. "Lembaga KPK, akan semakin kuat dan kredibilitasnya terjaga dengan sejumlah revisi untuk memberi kepastian hukum bagi investor," kata Moeldoko.

Saksikan video pilihan berikut ini:


Disahkan DPR

Wakil Ketua DPR selaku Pimpinan Sidang Fahri Hamzah mengetuk palu dalam sidang paripurna ke-9 Masa Persidangan I 2019-2020 di Kompleks Parlemen, Senayan, Selasa (17/9/2019). Rapat Paripurna DPR menyetujui Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Sebelumnya, DPR telah mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau UU KPK menjadi undang-undang dalam sidang paripurna yang digelar, Selasa 17 September 2019.

Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah selaku pimpinan sidang mengetuk palu pengesahan setelah anggota dewan menyatakan setuju. Tiga kali Fahri menegaskan persetujuan terhadap revisi UU KPK menjadi undang-undang.

"Apakah pembicaraan tingkat dua pengambilan keputusan terhadap rancangan UU tentang perubahan kedua atas UU 30/2002 tentang KPK, dapat disetujui dan disahkan menjadi UU?" ujar Fahri dalam sidang paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa.

"Setuju," jawab anggota dewan serentak.

Dalam pengambilan keputusan tingkat pertama, tujuh fraksi; PDIP, Golkar, PPP, Nasdem, PAN, PKB, dan Hanura menerima revisi tanpa catatan.

Sementara Dua fraksi yakni Gerindra dan PKS menerima dengan catatan tidak setuju berkaitan pemilihan dewan pengawas yang dipilih tanpa uji kelayakan dan kepatutan di DPR. Terakhir, Demokrat belum memberikan sikap karena menunggu konsultasi pimpinan fraksi.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya