Liputan6.com, Singapura - Kementerian Luar Negeri RI menyatakan, KBRI Singapura telah menerima informasi dari Departemen Keamanan Internal (ISD)-Kementerian Dalam Negeri Singapura (MHA) terkait penahanan tiga WNI pekerja migran atas tuduhan mendanai gerakan radikalisme dan mendukung ISIS.
Anindia Afiyantari (30), Retno Hernayani (36), dan Turmini (31) ditahan atas dugaan pelanggaran Undang-Undang Keamanan Dalam Negeri Singapura (ISA). Surat penangkapan atas ketiganya telah dirilis oleh otoritas pada September ini.
Advertisement
Perempuan WNI ke-4, diketahui berinisial SS, turut ditangkap oleh otoritas Singapura sebagai bagian dari penyelidikan.
Namun, aparat tidak menemukannya telah teradikalisasi. Akan tetapi, ia tidak melaporkan radikalisasi kenalannya yang lain kepada pihak berwenang meskipun perempuan itu mengetahuinya. Sejak itu, ia telah direpatriasi (dipulangkan) ke Indonesia.
Penjelasan Kemlu RI
"Keempat WNI/PMI (pekerja migran Indonesia) ditangkap berdasarkan Internal Security Act karena dugaan keterlibatan dalam kegiatan radikal termasuk ikut mengirimkan sejumlah uang untuk mendukung kegiatan radikal," jelas Direktorat Perlindungan WNI-BHI - Kementerian Luar Negeri RI dalam keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com, Selasa (24/9/2019).
"Menindaklanjuti informasi tersebut, KBRI Singapura telah meminta akses kekonsukeran. SS telah ditemui pada tgl 13 September 2019. Berdasarkan hasil penyelidikan, SS tidak memiliki hubungan aktif dengan jaringan terorisme sehingga yang bersangkutan dibebaskan dan langsung direpatriasi ke Indonesia pada tanggal 15 September 2019."
"Sedangkan RH, TM dan AA telah dikunjungi KBRI Singapura di Penjara Changi pada tanggal 19 September 2019. Ketiganya diperlakukan baik, makan 3 kali sehari, dan diizinkan beribadah."
"KBRI Singapura akan terus memantau kasus ini," jelas Kemlu RI.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Sudah 6 - 13 Tahun Bekerja di Singapura
Mereka telah bekerja sebagai pekerja rumah tangga di Singapura selama antara 6 - 13 tahun ketika mereka ditangkap, kata MHA dalam siaran pers, seperti dikutip dari Channel News Asia, Selasa (24/9/2019).
Anindia dan Retno pertama kali bertemu di sebuah pertemuan sosial di Singapura selama hari libur mereka, sementara Turmini terhubung dengan mereka di media sosial.
"Seiring waktu, mereka mengembangkan jaringan kontak online asing yang pro-militan, termasuk 'pacar online' yang berbagi ideologi pro-ISIS mereka," kata MHA.
Anindia dan Retno ingin melakukan perjalanan ke Suriah dan bergabung dengan ISIS.
Anindia siap untuk mengangkat senjata bagi kelompok teror di Suriah dan menjadi pembom bunuh diri --jelas MHA.
Sementara Retno bercita-cita untuk tinggal di antara militan ISIS di Suriah dan berpartisipasi dalam konflik di sana --lanjut Kemendagri Singapura.
Kedua wanita itu juga didorong oleh kontak online mereka untuk bermigrasi ke Filipina selatan, Afghanistan atau Afrika untuk bergabung dengan kelompok simpatisan ISIS di daerah-daerah itu.
MHA mengatakan Retno percaya bahwa umat Islam berkewajiban untuk melakukan perjalanan ke zona konflik lainnya seperti Palestina dan Kashmir untuk berperang melawan "musuh-musuh Islam".
Sedangkan Turmini percaya sumbanganya akan memberikannya tempat di surga, kata MHA.
Ketiga wanita itu "secara aktif digalakkan" untuk secara online mendukung ISIS, masing-masing mempertahankan beberapa akun media sosial untuk mengirim materi propaganda ISIS.
Mereka juga menyumbangkan dana kepada entitas yang berbasis di luar negeri untuk tujuan terkait terorisme, seperti untuk mendukung kegiatan ISIS dan kelompok teroris yang berbasis di Indonesia Jemaah Anshorut Daulah (JAD), yang berafiliasi dengan ISIS.
Advertisement
Teradikalisasi Tahun Lalu
Ketiga perempuan itu diradikalisasi tahun lalu setelah mereka menemukan materi online terkait ISIS.
Mereka menjadi yakin bahwa ISIS berjuang untuk Islam dan penggunaan kekerasan terhadap "orang-orang kafir" dibenarkan, dan semakin diradikalisasi setelah bergabung dengan beberapa kelompok dan saluran media sosial media pro-Islam, menurut MHA.
"Mereka tertarik pada visual kekerasan yang disebarluaskan pada platform-platform ini, seperti serangan bom ISIS dan video pemenggalan kepala, serta propaganda daur ulang tentang kemenangan masa lalu ISIS di medan perang," katanya.
Mereka juga dipengaruhi oleh khotbah online para pengkhotbah radikal Indonesia.
"Fakta bahwa ketiga individu dalam kasus ini diradikalisasi pada tahun 2018, pada saat wilayah fisik ISIS telah berkurang secara signifikan, menyoroti daya tarik abadi ideologi kekerasan ISIS," kata MHA.