Data Kemiskinan Tak Akurat Picu Konflik Sosial

Meski telah ada Peraturan Presiden No 39/2019 tentang Satu Data Indonesia, namun di lapangan masih terjadi kesimpangsiuran data.

oleh Liputan6.com diperbarui 24 Sep 2019, 12:07 WIB
Seorang anak berjalan di permukiman kolong tol kawasan Tanjung Priok, Jakarta, Rabu (16/1). BPS mencatat persentase jumlah penduduk Indonesia miskin pada September 2018 sebesar 9,66 persen atau menurun 0,16 persen. (Merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta - Data kemiskinan yang tidak akurat dinilai menjadi penyebab program pemerintah tidak tepat sasaran dan rawan memicu konflik sosial di masyarakat. Walaupun sudah ada Peraturan Presiden No 39/2019 tentang Satu Data Indonesia, namun di lapangan masih terjadi kesimpangsiuran data.

Karena itu, Pemerintah Kabupaten Gunung Kidul bekerja sama dengan Combine Resource Institution menyelengarakan Focus Group Discussion  soal "Satu Data Kemiskinan: Bagaimana Mencapainya dan Untuk Siapa?"

Ketua Dewan Pembina CRI Dodo Julimar, dalam sambutannya menyebut bahwa ada problem soal satu data kemiskinan.

"Padahal dengan Satu Data Kemiskinan yang lebih dikenali, mudah diakses oleh stake holder kementerian terkait dan media menjadi penting," kata dia di Jakarta, Selasa (24/9/2019).

 

"Pentingnya untuk mencapai keadilan sosial, pengentasan kemiskinan yang lebih akurat," lanjut Dodo Julimart.

Wakil Bupati Gunung Kidul Himmawan Wahyudi, ingin data kemiskinan tidak ada lagi persoalan.

Data kemiskinan di Gunung Kidul yang masih disebut daerah miskin ini Karena ada historis, di tahun 1963 Gunung Kidul mengalami tragedi kelaparan hingga ada orang busung lapar. Peristiwa ini sangat membekas, akibatnya orang Gunung Kidul tidak mau menjual hasil pertaniannya.

"Ini sikap local wisdom. Mereka bertanggungjawab atas nasib keluarganya sendiri. Tapi menjadi masalah karena BPS menyebut salah satu kriteria miskin dari tidak adanya transaksi perdangan. Ini kan ada metodologi yang tidak sama dengan lokal wisdom," katanya.

"Ini problem ada fakta yang tidak berdasarkan realitas dan ada data yang tidak berdasarkan fakta. Warga menyimpan beras minimal 1 keluarga 30 Kg hingga mampu hidup sampai setengah tahun. Tapi ini dianggap miskin karena tidak ada transaksi perdagangan," katanya

Karena itulah Kabupaten Gunung Kidul menginisiasi untuk mewujudkan satu data kemiskinan yang akan terus terupdate.

"Jangan sampai lagi muncul istilah BLS (Bantuan Langsung Sakmatine), ini protes keras warga, karena kecewa yang mendapatkan bantuan hanya orang itu-itu saja. Kami tetap menghargai data BPS, karena itu data resmi, tetapi kami juga memiliki data yang lebih berasal langsung dari masyarakat," ujar Himmawan.

Soal simpang data ini juga disoroti oleh Komisioner Komisi Informasi Pusat Arif Adin Kuswardono. Arif menyebut contoh terbaru soal simpang siur data ini adalah data perberasan.

Data beras yang tidak sinkron antara Bulog, Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian. "Data yang tidak sama menyebabkan pertengkaran di publik. Ini contoh terbaru soal tidak adanya kesamaan data," kata Arif.

   

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Kemiskinan Mempercepat Penuaan

Potret kemiskinan pasangan lansia Sahid (70) dan Komah (65) di Karawang, Jabar. (Liputan6.com/Abramena)

Ada banyak faktor yang memengaruhi penuaan pada seseorang. Seperti kita tahu bahwa genetik, gaya hidup, dan lingkungan merupakan sejumlah faktor yang mempengaruhi bagaimana kita menua.

Dalam penelitian terbaru, diketahui bahwa kemiskinan yang dialami saat dewasa mungkin menyebabkan seseorang lebih cepat mengalami penuaan. Hasil temuan ini telah dipublikasikan pada European Journal of Ageing.

Percobaan dilakukan terhadap 5.500 orang usia paruh baya menggunakan sejumlah tanda penuaan seperti kemampuan fisik, fungsi kognitif, dan tingkat peradangan.

Hasil ini kemudian dibandingkan dengan pendapatan partisipan selama 22 tahun menjelang tes ini. Pendapatan tahunan yang 60 persen di bawah rata-rata tergolong miskin.

"Kami telah menemukan bahwa terdapat hubungan signifikan antara kesulitan finansial dan penuaan dini. Hal ini penting untuk menentukan langkah pencegahan yang tepat," terang peneliti Rikke Lund, profesor dari University of Copenhagen.

"Dengan hasil temuan ini, kami menunjukkan bahwa kemiskinan merupakan indikator kuat penuaan dini, pengetahuan ini bisa digunakan untuk mencegah masalah," sambungnya.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya