Klaim Belum Dibayarkan BPJS Kesehatan, Nasib RSUD Gorontalo di Ujung Tanduk

Jika sesuai jatuh tempo maka total tunggakan klaim dari BPJS Kesehatan sebesar Rp7 miliar. Sedangkan, kalau diakumulasi dari Mei sampai bulan ini, maka klaim yang terkumpul bisa mencapai Rp15 miliar.

oleh Arfandi Ibrahim diperbarui 25 Sep 2019, 17:00 WIB
Ratusan pegawai Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Toto Kabila Kabupaten Bone Bolango melakukan aksi demo damai akibat uang jasa mereka yang belum dibayarkan hingga saat ini. (Liputan6.com/Arfandi Ibrahim)

Liputan6.com, Bone Bolango - Untuk kedua kalinya ratusan pegawai Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Toto Kabila Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo melakukan aksi demo damai. Aksi itu dipicu akibat uang jasa mereka yang belum juga dibayarkan hingga saat ini.

Untuk cepat mendapatkan solusi, pihak rumah sakit langsung mendatangkan pihak BPJS Kesehatan Cabang Gorontalo dalam pertemuan dengar pendapat bersama, di Aula Pertemuan RSUD Toto Kabila, Selasa (24/9/2019).

Direktur RSUD Toto Serly Daud mengatakan, dalam pertemuan itu seluruh pegawai mempertanyakan kapan jasa mereka dibayarkan. Pasalnya, uang jasa tenaga medis ada kaitannya dengan imbas dari klaim BPJS Kesehatan yang terlambat dibayarkan ke rumah sakit.

Tidak hanya berdampak pada keterlambatan pembayaran uang jasa, belum dibayarkannya klaim dari BPJS Kesehatan juga berdampak terhadap operasional rumah sakit.

"Setelah kami berkonsultasi ke BPJS Kesehatan Cabang Gorontalo, jawabannya selalu menunggu dulu dari pusat, makanya saya tidak enak saya telepon BPJS tadinya juga kami mau barengan datang ke BPJS untuk mempertanyakan itu langsung, tapi mereka datang ke rumah sakit," kata Serly.

"Di situlah unek-unek seluruh teman-teman pegawai disampaikan tentang uang jasa mereka yang belum diberikan akibat imbas dari belum juganya klaim BPJS Kesehatan dibayarkan ke rumah sakit," dia menambahkan.

Serly melanjutkan, klaim yang belum dibayarkan itu sudah berjalan dua bulan. Jika sesuai jatuh tempo maka totalnya sebesar Rp7 miliar. Sedangkan, kalau diakumulasi dari Mei sampai bulan ini, maka klaim yang terkumpul bisa mencapai Rp15 miliar.

Saat ini, klaim yang baru sudah jatuh tempo itu, di antaranya Mei jatuh tempo 31 Juli sehingga sudah lewat dua bulan sekitar Rp3,5 miliar. Di bulan Juni Rp3,8 Miliar, Juli sekitar Rp4 miliar.

“Yang sudah dibayar itu baru bulan April. Jadi bulan Mei, Juni, Juli itu sudah ajukan klaim, tapi belum dibayarkan. Bahkan, Agustus belum kita belum ajukan klaim tapi kalau kita ajukan semua berarti bisa ada sekitar Rp15 miliar utang BPJS Kesehatan ke kita," jelasnya.

Lanjut lagi, kata Serly, dalam pertemuan itu, BPJS Kesehatan menyarankan pihak rumah sakit untuk langsung pinjam uang di bank dengan sistem Supply Chain Financing (SCF) yang merupakan mitra BPJS Kesehatan.

Namun, menurutnya, mengapa bukan BPJS saja yang seharusnya meminjam, sebab ada beberapa hal yang memberatkan pihak rumah sakit mengingat banyak pertimbangan yang harus dipikirkan.

Mulai dari tidak efisiennya waktu sampai dengan kekhawatiran pihak rumah sakit meminjam di bank yang bisa berbuntut temuan dari BPK yang tidak membolehkan pihak lembaga pemerintahan meminjam uang di bank.

"Kita kolaps, obat-obatan saja sebagian kosong, ada yang belum menerima jasa, belum bayar listrik dan PDAM hingga internet, meski begitu tetap dipastikan persoalan itu tidak berimbas ke pelayanan kesehatan untuk masyarakat meski dengan kondisi apa adanya," ujar Serly.

Dia mengungkapkan, sebagai Badan Usaha Layanan Daerah (BLUD) 99 persen sumber dana pengelolaan operasionalnya tergantung dari BPJS Kesehatan. Apalagi membiayai 390 lebih pegawai yang terdiri dari 160 tenaga PNS dan 200 non PNS.

"Gaji Alhamdulillah sudah terbayarkan tinggal jasa medis saja karena sekarang uang jasa medis sering setiap orang jadi harapan mungkin untuk bayar keperluan apalah," ujarnya.

Jasa medis setiap orang jumlah besarannya bervariasi, kalau tenaga administrasi standar Rp1-2 juta, kalau perawat beda sesuai penanganan diagnosis penyakit.

"Pada intinya ini semua merasakan hal ini, tapi Alhamdulilah kata Deputi tadi kalau dana transfer dari pusat sudah ada tetap RSUD Toto diupayakan akan diprioritaskan," ujar mantan Kepala Unit Pelayanan itu.

 


15 RS di Gorontalo Belum Dibayar Klaim oleh BPJS Kesehatan

Suasana pelayanan BPJS Kesehatan di Jakarta, Rabu (28/8/2019). Sedangkan, peserta kelas mandiri III dinaikkan dari iuran awal sebesar Rp 25.500 menjadi Rp 42.000 per bulan. Hal itu dilakukan agar BPJS Kesehatan tidak mengalami defisit hingga 2021. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Sayangnya, saat awak media berusaha mengonfirmasi ke Dasrial selaku Regional Deputy Director of Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Gorontalo, dan Maluku Utara, yang sempat hadir dalam kegiatan itu, dia tidak berhasil diwawancarai karena terburu-buru pergi mengejar waktu salat asar dan sudah tidak muncul lagi.

Sementara itu, Kepala Kantor BPJS Kesehatan Gorontalo, Muhammad Yusrizal kepada sejumlah awak media mengatakan, bahwa kejadian di RSUD Toto Kabila ada kaitannya yang dialami juga di rumah sakit umum seluruh Indonesia karena kondisi keuangan BPJS Kesehatan Pusat yang mengalami defisit anggaran.

Bahkan, di Gorontalo sendiri sedikitnya diakui ada sekitar 15 rumah sakit yang tagihan klaimnya belum dibayarkan dengan total mencapai Rp67 miliar. Imbas dari persoalan ini pada keterlambatan pembayaran di seluruh rumah sakit.

Keterlambatan terkait dengan klaim yang pihaknya bayarkan oleh BPJS Kesehatan itu tentunya diakui menjadi hal yang diperhatikan karena memang pada akhirnya menimbulkan denda yang harus ditanggung mereka sendiri.

Pembayaran itu, tentunya harus dibayarkan setiap kali klaim itu diajukan. Khusus tagihan RSUD Toto Kabila saja yang sudah masuk bulan Mei dan Juni, untuk Mei jatuh temponya tanggal 31 Juli. Sedangkan Juli, masih proses verifikasi.

"Tentu berdasarkan ini maka kami bersama menawarkan solusi dengan sistem Supply Chain Financing (SCF) yakni bekerja sama dengan bank untuk cepat memproses lancarnya cash flow rumah sakit terkait dengan keterlambatan pembayaran," jelasnya.

Pihaknya bersama Pemerintah Daerah mengharapkan tetap memberikan pelayanan kepada peserta tentu dengan solusi yang pihaknya sudah tawarkan. Dia akui di beberapa tipe rumah sakit di seluruh Indonesia katanya sudah menerapkan hal itu.

Namun, dengan adanya kekhawatiran jika langkah itu berpotensi temuan keuangan di lembaga pemerintahan, maka pihaknya pun akan coba koordinasi dengan BPK terkait apakah dibolehkan atau tidak rumah sakit umum meminjam uang ke bank.

Meski begitu, menurutnya, BPJS pusat sudah bekerjasama dengan 4 bank di dalam memberikan program SCF ini kepada rumah sakit di antaranya Bank Mandiri, BNI, BTN, BCA dan termasuk di daerah-daerah seperti Bank Sulutgo.

 

Simak video pilihan berikut ini:

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya