Liputan6.com, Jakarta - DPR sudah memutuskan menunda pengesahan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau RUU KUHP menjadi Undang-Undang.
Penundaan itu karena adanya penolakan dari berbagai pihak, termasuk mahasiswa yang menolak RUU KUHP hingga melaksanakan aksi pada Selasa, 24 September 2019.
Advertisement
Rupanya, proses perumusan RUU KUHP diakui DPR sudah berlangsung lama. Bahkan, sejumlah ahli dilibatkan. Mulai dari pakar hukum Indonesia yang tergabung dalam tim perumus RUU KUHP.
Berikut para profesor dari pakar hukum tim perumus RUU KUHP:
Prof Muladi
Prof Muladi merupakan salah satu tokoh yang tergabung dalam tim penyusun RUU KUHP. Muladi mengenyam pendidikan di Fakultas Hukum Universitas (S1 Hukum Pidana) pada 1968, dan International Institute of Human Rights di Strasbourg Prancis pada 1979.
Kemudian, Ilmu Hukum Program Pascasarjana FH Universitas Padjajaran, Bandung (S3) pada 1984 dengan predikat Cumlaude dan KSA III Lemhanas pada 1993.
Muladi pernah menjadi Gubernur Lemhannas pada 2005-2011. Dia juga mantan Menteri Kehakiman (kini disebut Menteri Hukum dan HAM) merangkap Menteri Sekretaris Negara pada masa Kabinet Reformasi Pembangunan.
Sebelum menjabat menteri, Muladi adalah Rektor Universitas Diponegoro. Ia pernah menjabat Ketua Institute for Democracy and Human Rights di The Habibie Center, Jakarta. Muladi pun pernah menjadi Hakim Agung RI tahun 2000-2001.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Sosok Selanjutnya
Dr Suhariyono AR
Selanjutnya ada Dr Suhariyono AR, S.H., M.H. Suhariyono tergabung dalam Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi). Di Peradi, dia menjadi dewan pakar. Sedangkan Prof DR Jimly Assidiqie, S.H. menjadi Ketua Dewan Pakar Peradi.
Dr Wicipto Setiadi
Dr Wicipto Setiadi, S.H., M.H. juga tergabung dalam tim perumus RUU KUHP. Dia pernah menjabat sebagai Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional pada Badan Pembinaan Hukum Nasional pada 2010.
Kemudian pada 2014, Wicipto menjadi Direktur Jendral Peraturan Perundang-Undangan di Kementerian Hukum dan HAM.
Wicipto juga aktif sebagai dosen di Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (UGM), Universitas Diponegoro (UNDIP), dan Universitas Pembangunan Nasional (UPN).
Prof Harkristuti Harkrisnowo
Ada pula Pakar Hukum Pidana dan HAM Prof Harkristuti Harkrisnowo, SH, MA, PhD. Dia mendapat gelar Sarjana Hukum di Universitas Indonesia (UI) pada 1979 dan melanjutkan S2 juga di UI pada 1982.
Kemudian Harkristuti melanjutkan pendidikan di Sam Houston State University pada 1988 dan 1991. Ia juga pernah menjadi Direktur Jendral Hak Asasi Manusia (HAM), Kementerian Hukum dan HAM.
Advertisement
Sosok Selanjutnya
Prof Nyoman Serikat Putra Jaya
Selanjutnya ada Prof Dr Nyoman Serikat Putra Jaya, S.H.,M.H. Dia mendapat gelar S1 Ilmu Hukum Fakultas Hukum UNDIP pada 1975.
Kemudian S2 Ilmu Hukum KPK-UI-UNDIP pada 1998 dan S3 Ilmu Hukum, Universitas Indonesia pada 2002.
Nyoman adalah seorang Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. Dia dikenal sebagai pakar Hukum Pidana (Sistem Peradilan Pidana) dan pernah menulis buku tentang Hukum Pidana Adat.
Dr Mualimin Abdi
Kemudian ada Dr Mualimin Abdi, S.H., M.H. Dia menyelesaikan program PascaSarjana S3 Ilmu Pemerintahan di Universitas Padjajaran, Jawa Barat.
Saat ini, Mualimin menjabat sebagai Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan HAM. Sebelumnya, ia menjabat sebagai Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan HAM Kementerian Hukum dan HAM RI.
Dr Muzakkir dan Dr Chairul Huda
Terakhir ada Dr Muzakkir dan Dr Chairul Huda. Dalam rapat konsolidasi RUU KUHP yang dihadiri Menteri Hukum dan HAM Yaonna Laoly beberapa waktu yang lalu, anggota tim penyusun RUU PKS Dr Chairul Huda menyatakan, RUU KUHP ini tidak ada indikasi yang memakan kewenangan KPK, PPATK, dan lembaga penegak hukum lainnya.
Seperti diketahui dalam RUU KUHP pasal 604 tentang Tindak Pidana Korupsi menjadi kontroversi karena dinilai akan melemahkan KPK memberantas korupsi.
Pasal 604 berbunyi:
"Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Kategori II dan paling banyak Kategori VI".
Reporter : Syifa Hanifah
Sumber : Merdeka.com