Liputan6.com, Jakarta - Target pemerintah untuk menaikkan bauran energi gas bumi hingga 22 persen di 2025 dinilai bakal sulit terwujud. Hal itu terjadi jika pembangunan infrastruktur gas tidak dilakukan secara masif, dengan mengoptimalkan sentra-sentra industri baru yang bermunculan di berbagai daerah.
Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gajah Mada Fahmy Radhi mengatakan, tantangan pembangunan infrastruktur gas bumi juga bukan perkara mudah. Di tengah ketidakpastian pasokan gas di pasar, biaya investasi pembangunan infrastruktur gas sangat besar dan kembalinya biaya investasi dalam jangka panjang, dan risiko bisnisnya juga tinggi.
Inilah yang membuat hanya badan usaha yang memiliki komitmen kuat dalam mengembangkan gas bumi yang berani mengambil risiko membangun infrastruktur.
Baca Juga
Advertisement
"Dengan beban biaya dan risiko yang besar, akan sulit bagi badan usaha manapun untuk membangun berbagai infrastruktur gas yang mampu menjangkau banyak daerah. Bisnis infrastruktur gas tidak seperti jalan tol yang tarifnya bisa dievaluasi secara periodik," ujar Fahmy melalui keterangan tertulis, Kamis (26/9/2019).
Menurut Fahmy selama ini struktur harga gas bumi sebanyak 70 persen untuk biaya hulu. Karena itu jika harga gas terlalu rendah akan sulit bagi siapapun untuk mengembangkan infrastruktur.
Fahmy kemudian mencontohkan menurunnya investasi di sektor infrastruktur gas bumi akibat tata kelola gas yang kurang baik. Data menunjukkan bahwa investasi infrastruktur gas tertinggi terjadi pada tahun 2015 yaitu sebesar USD 258,142 juta. Sementara tahun lalu nilai investasi di infrastruktur gas hanya USD 58,885 juta.
"Perbaikan tata kelola dengan memangkas trader gas dan mengalihkan alokasi gas bumi kepada badan usaha yang mengembangkan infastruktur sangat positif bagi industri gas bumi. Namun jika harga gas dipangkas, investasi di infrastruktur akan tetap sulit," ujarnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Impor Gas Meningkat
Menurut Fahmy, di tengah meningkatnya impor migas, yang membuat defisit neraca perdagangan migas naik, optimalisasi gas bumi dalam kebijakan bauran energi sangat tepat. Jumlah cadangan terbukti gas bumi saat ini mencapai 108,1 trillion cubic feet (Tcf), terbesar nomor 14 di dunia. Dari sisi lingkungan, gas bumi adalah energi yang lebih bersih dibanding minyak bumi dan batubara.
"Harga hulu gas bumi lebih kompetitif, sekitar hampir seper-sepuluh dari harga minyak bumi. Fakta dan data tersebut telah menjadikan gas bumi semakin penting dalam kebijakan energi nasional," ungkapnya.
Mengingat peran strategisnya itu, pemenuhan permintaan gas bumi secara berkelanjutan dan pasokan secara aman (security of supply) menjadi salah satu faktor penting yang harus diprioritaskan. Dan ini hanya bisa dilakukan melalui pembangunan dan pengembangan berbagai infrastruktur gas bumi.
Fahmy menjelaskan, penyediaan infrastruktur terintegrasi hingga mencapai kematangan, yang dapat menjangkau dan menghubungkan dari sumber-sumber gas bumi ke seluruh pelanggan, akan mendorong industri gas bumi semakin efisien. Jika hal itu terbentuk maka akan dapat meningkatkan daya saing harga jual gas bumi kepada konsumen.
"Kalau penurunan investasi pengembangan infrastruktur terus berlanjut, akan menyebabkan iklim industri gas bumi menjadi inefisien. Jika pengembangan infrastruktur gas mandeg otomatis gas produksi dalam negeri tidak dapat dioptimalkan untuk pasar domestik," jelas Fahmy.
Fahmy juga menjelaskan bahwa akses terhadap gas bumi seharusnya menjadi hak semua industri di Indonesia, bukan hanya yang eksisting. "Saya pikir kita juga harus fair ke mereka yang belum mendapatkan akses ke gas, mereka kan bagian dari Indonesia juga. Kalau harga gas hilir tidak ekonomis, investasi infrastruktur gas bumi untuk menjangkau mereka pun tidak akan pernah terealisasi"
Dari data SKK realisasi pemanfaatan gas bumi dibandingkan kontrak per April 2019, sektor industri dari kontrak sebesar 1900 BBTUD, realisasi pemanfaatannya hanya 1500 BBTUD. Begitu juga di sektor kelistrikan dari kontrak 1200 BBTUD hanya 755 BBTUD yang terealisasi. Salah satunya karena kurangnya infrastruktur yang belum optimal menjangkau pasar termasuk industri.
Advertisement