Ada Ancaman Resesi Global, Bagaimana Nasib Ibu Kota Baru?

Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengatakan Pemerintah akan terus melanjutkan pembangunan ibu kota baru ditengah ancaman resesi globa.

oleh Bawono Yadika diperbarui 26 Sep 2019, 17:15 WIB
Pemandangan gedung bertingkat di Jakarta, Selasa (30/4/2019). Presiden Joko Widodo atau Jokowi kembali melontarkan wacana pemindahan ibu kota dari Jakarta ke luar Pulau Jawa. (Liputan6.com/JohanTallo)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengatakan Pemerintah akan terus melanjutkan pembangunan ibu kota baru ditengah ancaman resesi global.

Kata dia, sektor infrastruktur dan properti justru dapat menjadi salah satu penopang pertumbuhan ekonomi di waktu perlambatan ekonomi dunia saat ini.

"Kebanyakan pengusaha justru (berinvestasi) dibidang properti itu dalam jangka waktu panjang dan kami ingin dorong pengembangan ibu kota baru bisa bangkitkan aktivitas economy counter-cyclical," ujarnya di Jakarta, Kamis (26/9/2019).

Menteri Bambang melanjutkan, pembangunan ibu kota baru nantinya akan membantu Indonesia dalam menghadapi pertumbuhan ekonomi global yang melambat.

"Jadi berusaha perlambat economy slowdown Indonesia," tegas dia.

"Jadi teorinya dalam menghadapi resesi Pemerintah harus spending lebih tinggi, tax spending diturunkan, dan tingkat bunga relaksasi," lanjutnya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Penjelasan Guru Besar Unpad Soal Ganti Rugi Tanah di Ibu Kota Baru

Perkara lahan konsesi di lokasi ibu kota baru menjadi sorotan karena merupakan area Hutan Tanaman Industri (HTI) yang terkait bisnis miliarder Sukanto Tanoto. Pertanyaan pun bermunculan apakah pemerintah harus membayar lahan konsesi yang sedang dipakai untuk usaha tersebut.

Guru Besar Hukum Agraria Universitas Padjajaran, Ida Nurlinda, meluruskan isu tersebut, sebab ada perbedaan antara ganti rugi tanah, bangunan, dan tanaman industri. Untuk urusan tanah, pemerintah tidak perlu ganti rugi, sebab izin Hutan Tanaman Industri (HTI) diberikan oleh pemerintah. Itu berbeda dengan hak atas tanah.  

"Saya tidak melihatnya sebagai ganti rugi, karena kalau kita bicara ganti rugi dalam konteks haknya: Hak atas tanah. Ini kan bukan. Jadi ini kalau ditanya, ya tetap tanah negara. Hanya saja izin pemanfaatannya, dalam konteks dipakai hutan produksi, itu diberikan konsesinya kepada perusahaan Tanoto itu," ucap Ida kepada Liputan6.com pada Jumat (20/9/2019).

Namun, Ida mengingatkan tanah ibu kota baru bukan sekadar hamparan, sebab ada tanaman industri dan bangunan. Berdasarkan UU Nomor 20 Tahun 1961 tentang pencabutan hak atas tanah, ada perbedaan antara ganti rugi tanah, tanaman, atau bangunan. Pemerintah pun berpotensi mengganti rugi bangunan dan tanaman meski tak ganti rugi tanah.

"Jadi artinya, segala sesuatu yang ada di atas tanah itu harus diganti. Sama seperti perkebunan yang harus dihitung. Jadi kalau di atasnya ada sekian ribu kelapa sawit harus dihitung. Kemudian orang merancukannya dengan ganti tanah. Yang betul ganti rugi bangunan dan tanamannya," jelas Ida.

Ia pun menyebut bahwa HTI juga tidak bisa langsung dilepas dan diambil pemerintah, melainkan ada proses secara bertahap. Selain itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Kementerian Agraria juga perlu menetapkan kawasan hutan tanaman industri itu menjadi APL (Areal Penggunaan Lainnya).

Di lain pihak, Bappenas menegaskan tetap akan mengambil alih lahan yang dipakai Tanoto, meski tak menyinggung soal bangunan dan tanaman industri. Lahan di Kalimantan Timur yang dijadikan ibu kota baru adalah seluas 40 ribu hektar, dan untuk tahap awal akan dibangun 2.000 sampai 6.000 hektar.

Sebelumnya dilaporkan, perusahaan milik Sutanto Tanoto menyebut pemindahan ibu kota baru bisa berdampak negatif ke operasional perusahaan mereka, yakni Riau Andalan Pulp & Paper (RAPP). Pihak Tanoto mengaku mendukung rencana pemerintah tetapi meminta solusi atas hal ini.  

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya