Aktivis dan Jurnalis Ditangkap, Menagih Ucapan Jokowi Menjaga Demokrasi

Dua orang aktivis yang lantang menyerukan ketidakadilan ditangkap polisi. Mereka adalah jurnalis Dandhy Laksono dan Ananda Badudu.

oleh Nila Chrisna Yulika diperbarui 27 Sep 2019, 08:26 WIB
Presiden Joko Widodo (Liputan6.com/HO/Kurniawan)

Liputan6.com, Jakarta - Pada Kamis, 26 September 2019, Presiden Joko Widodo atau Jokowi menegaskan komitmennya terhadap demokrasi dan kebebasan pers. Mantan Gubernur DKI Jakarta itu menekankan, kebebasan berpendapat masyarakat harus dijaga dan dipertahankan.

Hal ini disampaikan Jokowi saat bertemu sejumlah tokoh di Istana Merdeka Jakarta. Para tokoh yang hadir terdiri dari budayawan, hingga ahli hukum, akademisi.

"Saya ingin menegaskan kembali komitmen saya kepada kehidupan demokrasi di Indonesia. Bahwa kebebasan pers, kebebasan menyampaikan pendapat adalah hal dalam demokrasi yang harus terus kita jaga dan pertahankan," ujar Jokowi.

"Jangan sampai bapak ibu sekalian ada yang meragukan komitmen saya mengenai ini," sambungnya.

Dalam pertemuan dengan sejumlah tokoh, Jokowi mengaku ingin membahas masalah terkini yang terjadi di Indonesia. Salah satunya, berkaitan dengan kebakaran hutan.

"(Kemudian) berkaitan dengan Papua dan yang berkaitan dengan masalah UU Komisi Pemberantasan Korupsi, RUU KUHP, dan berkaitan dengan demonstrasi-demonstrasi pada beberapa hari ini," ucap Jokowi.

Belum ada sehari setelah Jokowi menyatakan komitmennya, dua orang aktivis yang lantang menyerukan ketidakadilan ditangkap polisi. Mereka adalah jurnalis Dandhy Laksono dan Ananda Badudu.

Polisi menuduh Dandhy menyebar kebencian berbau suku, agama, ras, dan antargolongan. Sementara Ananda Badudu ditangkap karena menstrasfer sejumlah dana ke mahasiswa sebelum demonstrasi besar terjadi.

Keduanya, ditangkap pada Kamis, 26 September 2019 dan Jumat, 27 September 2019.

Saksikan video pilihan di bawah ini:


Substansi Masalah

Sebelumnya, jurnalis yang juga aktivis Dandhy Laksono setelah melakukan pemeriksaan selama sekitar 5 jam di Gedung Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya. Meski begitu, Dandhy resmi ditetapkan sebagai tersangka ujaran kebencian.

"Saya ditanyai terkait posting di twitter, motivasi, maksud, siapa yang menyuruh, ya standard proses verbal saya pikir," kata Dandhy.

Saat dijemput polisi, Dandhy Laksono mengaku terkejut. Menurut dia, penangkapan seseorang biasanya, pihak terlapor atau yang disangka dipanggil terlebih dahulu untuk diperiksa.

"Jadi saya pikir saya kooperatif, saya ikutin, dari sini saya justru penasaran ingin tahu terkait apa yang disangkakan kepada saya. Saya ingin benar-benar tahu substansi masalahnya seperti apa," kata Dandhy.

Sementara Kuasa hukum Dandhy, Alghiffari Aqsa menjelaskan, cuitan Twitter yang disangkakan oleh kepolisian adalah yang diunggah pada 23 September 2019. Tulisan tersebut berisi mengenai kondisi soal kerusuhan yang terjadi di Wamena dan Jayapura Papua.

Alghiffari menjelaskan, kliennya dikenakan pasal ujaran kebencian terhadap individu atau suatu kelompok sesuai pasal 28 ayat 2 juncto pasal 45 A ayat 2 UU ITE.

Selama pemeriksaan, Dandhy, kata Alghiffari, dicecar sekitar 14 pertanyaan dengan 45 turunan pertanyaan. Usai diperiksa, status Dandhy resmi menjadi tersangka ujaran kebencian.

"Status tersangka, hari ini beliau dipulangkan tidak ditahan dan beliau menunggu proses selanjutnya. Namun meski jadi tersangka beliau tidak ditahan," kata Alghiffari.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya