Liputan6.com, Jakarta - Penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Metro Jaya menangkap jurnalis sekaligus aktivis HAM, Dhandy Laksono. Polisi menyebut, Dhandy melanggar Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
"Itu dia dugaan UU ITE," ujar Direktur Reskrimsus Polda Metro Jaya Kombes Iwan Kurniawan saat dikonfirmasi di Jakarta, Jumat (27/9/2019).
Advertisement
Namun Iwan tidak merinci soal pasal yang disangkakan kepada Dandhy. Dia juga tidak menyebut konten apa yang dianggap melanggar UU ITE.
"Nanti lebih jelas tanyanya ke Berto (AKBP Roberto Pasaribu) aja, Kasubdit (Cyber Crime)," katanya.
Namun dalam dua lembar surat penangkapan yang diterima Liputan6.com, sutradara film dokumenter Sexy Killers ini ditangkap atas tuduhan menyebar kebencian terkait postingannya di media sosial soal Papua.
"Diduga melakukan tindak pidana setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditunjukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarkat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan," dikutip dalam surat penangkapan.
Dhandy dipulangkan setelah diperiksa sebagai tersangka selama kurang lebih empat jam dan dicecar 14 pertanyaan.
"Intinya yang bersangkutan dipanggil betul dan sudah dipulangkan tadi pagi sekitar jam 3 an udah pulang. (Alasan) ya memang kita enggak melakukan penahanan," kata Iwan.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Kooperatif
Polisi membebaskan jurnalis yang juga aktivis Dandhy Laksono setelah melakukan pemeriksaan selama sekitar 5 jam di Gedung Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya. Meski begitu, Dandhy resmi ditetapkan sebagai tersangka ujaran kebencian.
Dandhy keluar dari ruang pemeriksaan sekitar pukul 03.54 WIB, Jumat (27/9). Dia sebelumnya ditangkap di kediamannya di kawasan Pondokgede, Bekasai, sekitar pukul 23.00 WIB, Kamis (26/9/2019).
"Saya ditanyai terkait posting di twitter, motivasi, maksud, siapa yang menyuruh, ya standard proses verbal saya pikir," kata Dandhy.
Saat dijemput polisi, Dandhy Laksono mengaku terkejut. Menurut dia, penangkapan seseorang biasanya, pihak terlapor atau yang disangka dipanggil terlebih dahulu untuk diperiksa.
"Jadi saya pikir saya kooperatif, saya ikutin, dari sini saya justru penasaran ingin tahu terkait apa yang disangkakan kepada saya. Saya ingin benar-benar tahu substansi masalahnya seperti apa," kata Dandhy.
Sementara Kuasa hukum Dandhy, Alghiffari Aqsa menjelaskan, cuitan Twitter yang disangkakan oleh kepolisian adalah yang diunggah pada 23 September 2019. Tulisan tersebut berisi mengenai kondisi soal kerusuhan yang terjadi di Wamena dan Jayapura Papua.
Alghiffari menjelaskan, kliennya dikenakan pasal ujaran kebencian terhadap individu atau suatu kelompok sesuai pasal 28 ayat 2 juncto pasal 45 A ayat 2 UU ITE.
Selama pemeriksaan, Dandhy, kata Alghiffari, dicecar sekitar 14 pertanyaan dengan 45 turunan pertanyaan. Usai diperiksa, status Dandhy resmi menjadi tersangka ujaran kebencian.
"Status tersangka, hari ini beliau dipulangkan tidak ditahan dan beliau menunggu proses selanjutnya. Namun meski jadi tersangka beliau tidak ditahan," kata Alghiffari.
Reporter: Ronald
Sumber: Merdeka
Advertisement