Liputan6.com, Jakarta - Malam semakin larut, namun Ilham Aidit tidak kunjung bisa memejamkan matanya. Bocah enam tahun itu hanya membolak-balikkan badannya di atas ranjang. Deru mesin jip dan derap sepatu yang mendekat ke rumahnya semakin membuat Ilham terjaga.
Dia kemudian mendengar derik suara pintu dibuka. Ilham menangkap suara ibunya dengan nada tinggi berbicara dengan tamu yang datang. Karena penasaran, Ilham kecil merosot dari ranjang ibunya dan mengendap-endap ke ruang depan.
Advertisement
Ilham tak ingat seluruh pembicaraan ibunya dan tamu yang datang. Yang masih terlintas malam itu, 30 September 1965, Ilham kecil melihat ibunya membentak dua orang berseragam militer warna biru di depan rumahnya. "Ini sudah malam!"
"Maaf, tapi ini darurat. Kami harus segera," jawab tamu tak diundang itu.
Dengan kesal, perempuan itu menuruti kemauan tamu dan memanggil suaminya di ruang kerja. Dia adalah Dipa Nusantara Aidit atau yang dikenal DN Aidit, pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI). Ilham yang kepergok berada di ruang tengah ikut didamprat.
"Kamu, anak kecil, tidur kamu. Sudah malam begini masih kelayapan." Namun Ilham tidak bergerak dan memilih bertahan di ruang tengah rumahnya.
Ilham mendengar kedua orangtuanya berdebat. DN Aidit kemudian keluar menemui tamu. Tak lama berselang, dia kembali ke kamar memasukkan beberapa pakaian dan buku ke dalam tas. Ia sempat terlihat ragu. Ilham melihat ayahnya meletakkan tas dan kembali ke ruang depan berbicara sekilas dengan penjemputnya. Aidit lalu kembali ke kamar dan ribut dengan Soetanti, istrinya.
"Ibu ngotot minta ayah tak usah berangkat ke istana malam-malam," kata Ilham dikutip dari Seri Buku Tempo: Orang Kiri Indonesia berjudul Aidit Dua Wajah Dipa Nusantara.
Namun Aidit tetap pergi. Sebelum meninggalkan rumah, dia mencium kening istrinya. Aidit juga mengangkat tubuh kecil Ilham dan mengusap rambutnya. Kepada adiknya bernama Murad Aidit yang tinggal di rumahnya, pentolan PKI itu berpesan agar mengunci pagar.
"Matikan lampu depan," perintah Aidit kepada Murad.
Sejak saat itu, DN Aidit tak pernah kembali lagi. Ke mana saja Aidit pergi malam itu dan apa yang dilakukan masih belum ada jawaban yang pasti hingga kini.
Kesaksian Mayor Udara Sudjono di Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub), dialah yang menjemput Aidit di rumahnya, bukan pasukan Cakrabirawa. Lalu dibawa ke rumah Syam Kamaruzzaman, Kepala Biro Chusus PKI yang dibentuk Aidit tanpa sepengetahuan pimpinan pusat PKI lainnya. Di kawasan Jalan Salemba, Jakarta Pusat itu, sudah menunggu sejumlah anggota Biro Chusus PKI.
Menurut Victor Miroslav Fic, penulis buku Kudeta 1 Oktober 1965: Sebuah Studi tentang Konspirasi, di rumah Syam, Aidit melakukan cek akhir Gerakan 30 September atau G30S. Aidit rencananya menemui Soekarno di rumah Komodor Susanto di Halim Perdanakusuma.
Skenarionya, Aidit akan memaksanya membersihkan Dewan Jenderal, lalu memintanya mengundurkan diri dari jabatan presiden. Namun pertemuan dengan Bung Karno gagal. Aidit lalu mengutus Brigjen Supardjo menemui Soekarno.
Versi surat Aidit yang ditulis dalam pelariannya 6 Oktober 1965, malam itu ia dijemput pasukan Cakrabirawa untuk rapat darurat kabinet di Istana Negara. Tapi dia malah dibawa ke Jatinegara dan Lanud Halim Perdanakusuma. Di sana, Aidit ditempatkan di rumah kecil dan diberi tahu akan ada penangkapan terhadap anggota Dewan Jenderal.
Esok harinya, Aidit mendapat kabar Soekarno memberikan restu terhadap penyingkiran Dewan Jenderal. Lalu Aidit diminta terbang ke Yogyakarta --lokasi yang dianggap tepat untuk pemerintahan sementara-- untuk mengatur kemungkinan mengevakuasi Soekarno.
Tidak jelas versi mana yang lebih benar. Hingga kini tidak ada kejelasan apa yang terjadi pada Aidit setelah dia memerintahkan Murad mematikan lampu depan rumahnya. Pihak keluarga bahkan baru tahu beberapa tahun kemudian bahwa Aidit pernah dibawa ke Halim Perdanakusuma. Sisanya masih gelap.
Saksikan juga video menarik berikut ini:
Pelarian Aidit dan Senyum Soeharto
Dari Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Aidit bertolak ke Yogyakarta. Dia tiba di Lanud Adi Sutjipto, Yogyakarta pada 2 Oktober 1965 dini hari. Angkatan Udara menangkap kedatangan Aidit sebagai utusan negara dan menawarkan mengantarkannya ke Kepala Daerah Yogyakarta Sri Paku Alam, tapi Aidit memilih pergi ke pimpinan PKI di daerah tersebut.
Dalam sehari, Aidit rapat bersama kader-kader PKI di Yogyakarta, Semarang, dan Solo. Di Yogyakarta, Aidit bertemu petinggi partai dan memutuskan bahwa PKI setempat akan melancarkan aksi-aksi massa untuk membela Presiden Soekarno.
Di Semarang, Aidit bergabung dengan pimpinan PKI Jawa Tengah yang mengadakan rapat darurat. Rapat menghasilkan sikap politik yang menyatakan bahwa Gerakan 30 September adalah masalah internal Angkatan Darat. PKI tidak ada sangkut pautnya dengan gerakan itu. Tugas utama partai adalah melakukan konsolidasi.
Berlawanan dengan Semarang, rapat di Solo justru mendukung operasi Gerakan 30 September. Pertemuan yang dihadiri Wali Kota Solo Utomo Ramelan itu menyatakan, PKI harus melancarkan perjuangan bersenjata untuk mendukung gerakan Letkol Untung merebut kekuasaan pemerintah setempat.
Perbedaan keputusan inilah, menurut Victor Miroslav Fic dalam bukunya Kudeta 1 Oktober 1965: Sebuah Studi tentang Konspirasi, menjadi pemicu pendukung PKI terbelah menjadi golongan radikal dan moderat. Namun yang juga menjadi belum jelas dalam rangkaian peristiwa itu adalah bagaimana Aidit bisa mengadakan rapat di tiga kota dalam waktu sehari.
Dalam keadaan genting ini, politbiro PKI bertemu di Blitar, Jawa Timur pada 5 Oktober 1965. Pertemuan di Blitar simpang siur karena para elite PKI masih di Jakarta dan sibuk menyelamatkan diri. Menurut Victor, memang tidak semua elite PKI hadir di Blitar. Selain Aidit, hanya ada MH Lukman, Wakil Ketua I CC PKI yang juga Wakil Ketua DPR Gotong-royong.
Dalam surat tertanggal 6 Oktober 1965 yang diyakini ditulis di Blitar, Aidit menyampaikan peristiwa 30 September versinya. Dia menceritakan penjemputan terhadapnya oleh pasukan Cakrabirawa, dibelokkan ke Halim Perdanakusuma, hingga dikirim ke Yogyakarta.
Aidit juga menulis 6 poin usulan menyelesaikan krisis politik akibat penculikan dan pembunuhan para jenderal. PKI tetap beranggapan bahwa peristiwa itu merupakan persoalan internal di tubuh Angkatan Darat. Aidit mengaku tidak tahu sebelumnya soal gerakan itu. Kepada Soekarno, Aidit mengusulkan agar peristiwa itu diselesaikan presiden secara politik.
Di tengah gencarnya perburuan terhadap tokoh dan simpatisan PKI yang dilakukan pasukan Soeharto, Aidit masih sempat mengeluarkan instruksi. Salah satu instruksinya dibuat pada 10 November 1965, Aidit menyampaikan wasiat setelah melihat perkembangan keadaan.
Merujuk buku wartawan TVRI Hendro Subroto, Dewan Revolusi PKI: Menguak Kegagalannya Mengkomuniskan Indonesia, Aidit mengakui kerusakan pada partainya akibat G30S, meski semua sudah diperhitungkan. Surat wasiat itu juga mengisyaratkan kemungkinan Aidit mencari perlindungan ke RRC. Surat itu juga mengisyaratkan optimisme bahwa Sosro--yang diyakini sebagai nama samaran Soekarno--belum meninggalkan PKI.
Dalam sidang kabinet terakhir Kabinet Dwikora 6 Oktober 1965, Soekarno bisa meyakinkan kabinet untuk menerima usul Aidit. Tapi perkembangan yang terjadi justru berujung pada kekalahan PKI. Selang 12 hari setelah berkirim surat wasiat, nasib Aidit berakhir di tangan anak buah Komandan Brigif IV Kodam Diponegoro Kolonel Yasir Hadibroto.
Yasir, dalam Kompas edisi 5 Oktober 1980, menuturkan, Mayjen Soeharto menyebut yang melakukan pemberontakan G30S adalah anak-anak PKI yang pernah memberontak di Madiun pada 1948. Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Pangkostrad merangkap Panglima Kopkamtib memerintahkan Yasir membereskan semua. Disebutkan pula, DN Aidit sedang berada di Jawa Tengah.
Brigif IV sebenarnya tengah melakukan operasi di Kisaran, Sumatera Utara. Namun mereka kembali ke Jakarta setelah mendengar peristiwa 30 September 1965. Di hari pertemuan itu, 2 Oktober 1965, tentara telah memburu orang-orang PKI yang dituduh terlibat dalam peristiwa G30S. Namun DN Aidit, pucuk pimpinan PKI menghilang.
Atas perintah Soeharto, Yasir dan pasukan pun berangkat ke Solo. Di sana, mereka bertemu Sri Harto, orang kepercayaan pimpinan PKI sedang meringkuk di sel tahanan. Dia dilepas untuk mencari keberadaan Aidit. Hanya beberapa hari, Harto melapor Aidit berada di Kloco dan akan segera pindah ke Desa Sambeng belakang Stasiun Balapan pada 22 November 1965.
Operasi pun dimulai. Sekitar pukul 9 malam, Letnan Ning Prayitno memimpin pasukan Brigif IV menggerebek rumah milik bekas pegawai PJKA itu. Yasir memantau dari jauh. Para tentara menemukan Aidit tengah bersembunyi di balik lemari di salah satu sudut rumah. Aidit kemudian dibawa ke markas mereka di Loji Gandrung.
Malam itu juga Yasir menginterogasi Aidit. Kabarnya, pentolan PKI itu membuat pengakuan tertulis setebal 50 halaman. Isinya antara lain, hanya dia yang bertanggung jawab atas peristiwa G30S. Namun sayang, menurut Yasir, Pangdam Diponegoro kemudian membakar dokumen itu.
Menjelang dini hari Yasir kebingungan karena Aidit berkali-kali minta bertemu Soekarno. Namun Yasir tidak mau. "Jika diserahkan kepada Bung Karno, pasti akan memutarbalikkan fakta sehingga persoalannya akan jadi lain," kata Yasir dikutip Abdul Gofur dalam bukunya, Siti Hartinah Soeharto: Ibu Utama Indonesia.
Akhirnya pada pagi buta, Yasir membawa Aidit meninggalkan Solo ke arah barat menggunakan iring-iringan tiga jip. Aidit yang diborgol berada di jip terakhir bersama Yasir. Saat terang, rombongan itu tiba di daerah Boyolali. Tanpa sepengetahuan dua jip pertama, Yasir berbelok masuk ke Markas Batalion 444.
"Ada sumur?" tanya Yasir kepada Komandan Batalion 444 Mayor Trisno. Trisno kemudian menunjuk sebuah sumur tua di belakang rumahnya.
Yasir membawa tahanannya ke tepi sumur tua. Dia mempersilakan Aidit mengucapkan pesan terakhir, namun Ketua Comite Central (CC) PKI itu justru pidato berapi-api. Hal itu membuat Yasir dan anak buahnya marah. Dan, dor! Timah panas menembus dada tubuh gempal Aidit. Menteri Koordinasi sekaligus Wakil Ketua MPRS itu tewas dan terjungkal masuk sumur pada 23 November 1965.
24 November 1965 pukul 3 sore, Yasir bertemu Soeharto di Gedung Agung, Yogyakarta. Setelah melaporkan tugas, sekaligus keputusannya membunuh Aidit, sang kolonel memberanikan diri bertanya kepada sang jenderal. "Apakah yang Bapak maksudkan dengan bereskan itu seperti sekarang ini, Pak?" Soeharto tersenyum.
Ada beberapa versi tentang cerita akhir hidup DN Aidit. Selain tewas ditembak di sumur tua, versi lain menyebut Aidit diledakkan bersama-sama dengan rumah tempat ia ditahan. Betapapun juga, sampai sekarang tidak diketahui secara pasti di mana jenazahnya dimakamkan.
Advertisement
Kematian Tanpa Pusara Sang Muazin
Selain kematiannya, kelahiran Aidit pun bermacam-macam versi. Beberapa mengatakan Aidit kelahiran Medan, 30 Juli 1923 dengan nama lengkap Dja'far Nawi Aidit. Keluarga Aidit konon berasal dari Maninjau, Sumatra Barat yang pergi merantau ke Belitung. Namun banyak masyarakat Maninjau tidak pernah mengetahui dan mengakui hal itu.
Versi lain menyebut, DN Aidit lahir di Jalan Belantu 3, Pangkallalang, Belitung pada 30 Juli 1923 dengan nama Achmad Aidit --ia biasa disapa Amat oleh orang-orang yang akrab dengannya. Anak sulung pasangan Abdullah Aidit dan Mailan ini lahir di lingkungan yang religius. Dia berasal dari keluarga berada, kakek dari ayah adalah pengusaha yang cukup berhasil sedangkan ibu dari keluarga ningrat sekaligus tuan tanah di Pulau Belitung.
Berasal dari keluarga berada, Aidit mudah bergaul dengan siapa saja. Aidit mendapat pendidikan dalam sistem kolonial Belanda. Sepulang sekolah, Aidit dan adik-adiknya belajar mengaji ke paman mereka. Orang-orang di Belantu juga mengenal Aidit sebagai tukang azan atau muazin.
Seperti daerah-daerah di Indonesia saat itu, Belitung juga belum memiliki pengeras suara untuk azan. "Karena suara Bang Achmad keras, dia kerap diminta mengumandangkan azan," kata Murad Aidit.
Achmad Aidit memiliki tiga adik kandung yakni Basri Aidit (1925-1992), Ibrahim Aidit (1926, usianya tak sampai sehari), Murad Aidit (1927-2008), serta dua adik tiri yakni Sobron Aidit (1934-2007) dan Asahan Aidit (lahir 1938). Achmad Aidit memiliki lima anak yakni Ibaruri Putri Alam (1949), Ilya Aidit (1951), Iwan Aidit (1952), serta si kembar Ilham Aidit dan Irfan Aidit (1959).
Achmad banyak berubah sejak ia hijrah ke Jakarta di usia 13 tahun. Dia melanjutkan studi di Batavia dan aktif di sejumlah organisasi kepemudaan. Hingga akhirnya dia terjun ke politik, mengenal PKI, dan mengubah namanya menjadi Dipa Nusantara Aidit. Di usianya yang masih muda, dia mampu menjadi pemimpin tertinggi PKI dan membesarkan partainya.
Namun karir cemerlang dan hidupnya berakhir setelah peristiwa berdarah 30 September 1965. DN Aidti diburu dan hingga kini jenazahnya masih misteri.
Sumur tua di bekas Markas Batalion 444 di Boyolali kini tak terlihat lagi. Hamparan tanah berkerikil di dekat gedung tua itu kini ditumbuhi labu siam, ubi jalar, serta pohon mangga dan jambu biji di kanan-kirinya. Meski tak berbekas, banyak orang meyakini di sepetak halaman itu pernah ada sumur tua, tempat jasad DN Aidit terkubur. Salah satunya Mustasyar Nahdlatul Ulama (NU) Boyolali, Tamam Saemuri (lahir 1936).
Pada suatu malam di tahun berdarah 1965, Tamam muda pernah bertemu Kolonel Yasir Hadibroto dalam sebuah rapat. Saat itu Tamam aktif di Gerakan Pemuda Ansor NU, organisasi yang banyak terlibat 'operasi pembersihan'. Kepada Tamam, Yasir mengumumkan pasukannya telah menembak mati DN Aidit. "Dia diberondong senapan AK sampai habis 1 magasin," kata Tamam.
Sejumlah sumber lain membenarkan cerita Tamam. Setelah puluhan tahun, cerita itu sampai juga ke telinga putra DN Aidit, Ilham. Sekitar tahun 2000, Ilham memutuskan sendiri datang ke lokasi diduga pusara ayahnya. Saat itu, dia hanya berbekal sepotong informasi dari koran bahwa ayahnya tewas ditembak di Boyolali.
"Sejak lulus kuliah sampai 1998, saya selalu mencari kuburan Ayah dengan sembunyi-sembunyi," katanya akhir September 2007.
Menemukan makam Aidit bukan perkara mudah, bahkan bagi anaknya. Ada upaya sistematis untuk membuat peristirahatan pentolan PKI itu dilupakan. Sumur tua itu misalnya, sampai dua kali diuruk setelah November 1965. Kompleks markas Batalion 444 juga dibongkar dan kini hanya menyisakan gedung tua yang digunakan sebagai mes pegawai Kodim Boyolali.
Batalion 444 dikenal sebagai kesatuan tentara prokomonis. Salah satu komandan kompinya yakni Letkol Untung Syamsuri yang kemudian memimpin operasi penculikan sejumlah jenderal pada malam 30 September 1965.
Pencarian Ilham baru berbuah setelah dia dihubungi lembaga swadaya masyarakat lokal Boyolali. LSM itu menerima informasi dari sumber-sumber kredibel yang terlibat langsung dalam pembunuhan anggota PKI saat itu. Sumber-sumber di Boyolali membenarkan, lokasi itu tempat jasad DN Aidit ditimbun tanah.
Tak sampai 100 meter dari halaman yang disebut bekas sumur tua, ada lokasi lain yang disebut berkaitan dengan kematian Aidit. Di sanalah, konon, pucuk pimpinan PKI itu ditembak mati. Pekarangan itu bagian dari satu rumah berarsitektur tua yang sekarang menjadi gedung Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah.
"Jadi, setelah ditembak di sana, baru jenazahnya dimasukkan ke sumur sebelahnya," kata Ilham kepada Tempo.
Ketika akhirnya berdiri di samping pusara ayahnya pada 2003 lalu, Ilham mengaku tak kuasa menahan getaran hatinya. "Naluri saya mengatakan memang di sinilah tempatnya," katanya tercekat.
Ilham yang menyaksikan detik-detik DN Aidit dijemput 'tamu tak diundang' pada malam 30 September 1965 itu mengaku memendam keinginan untuk menguburkan jenazah ayahnya ke tempat yang lebih layak. "Tapi mungkin belum bisa sekarang," katanya pelan. "Kami harus bersabar."