Liputan6.com, Jakarta - Presiden Joko Widodo atau Jokowi diminta tidak mengulangi kegagalan kepala negara sebelumnya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu). Jangan sampai Perppu yang dikeluarkan karena desakan membuat sistem demokrasi semakin terpuruk.
Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis mengatakan, SBY pernah mengalami hal serupa seperti yang dirasakan Jokowi saat ini tentang polemik UU KPK. SBY saat itu mengeluarkan Perppu No 1 Tahun 2014 untuk membatalkan UU Pilkada karena mendapat desakan. Perppu ini terkait mekanisme pelaksanaan pilkada yang sebelumnya telah disahkan DPR melalui UU Pilkada pada 26 September 2014.
Advertisement
"Telah terbukti dalam tata negara kita bahwa situasi yang dianggap genting itu ketika dijadikan dasar dikeluarkannya Perppu, dalam beberapa kasus tidak cukup valid. Anda tahu dulu UU Pilkada, lalu ada demo ramai di mana-mana dan dengan itu dijadikan dasar oleh Pak SBY mengeluarkan Perppu. Apakah setelah itu keadaan Pilkada kita berubah? Tidak berubah, tambah buruk," kata Margarito dalam keterangan tertulis, Minggu (29/9/2019).
Margarito meminta Jokowi berhati-hati dalam mengenali syarat konstitusi guna mengeluarkan Perppu. Jokowi tidak boleh mengambil keputusan karena desakan. Dan alasan mengeluarkan Perppu harus masuk akal secara konsep dan filosofi.
"Coba bilang pada bangsa ini, orang-orang yang menghendaki demokrasi itu, apakah demokrasi itu menghalalkan absolutisme, menghalalkan ketertutupan, menghalalkan kerahasiaan. Tidakkah seluruh gagasan UU KPK yang diubah itu, adalah untuk memastikan adanya akuntabilitas, transparansi, dan itu adalah esensi demokrasi bernegara," jelas dia.
Margarito menyadari adanya aspirasi dari berbagai kalangan agar Presiden Jokowi mengeluarkan Perppu. Namun, Margarito juga mengingatkan bahwa UU KPK sudah disahkan oleh DPR dan pemerintah. Selain itu, ada juga pihak-pihak yang menginginkan UU KPK diterapkan demi transparansi dan akuntabilitas.
"Saya berpendapat bahwa ini bisa didialogkan. Anda tahu Hitler menjadi otoriter karena apa? Karena desakan orang, desakan publik. Dia (Jokowi) mesti tahu itu. Dia mesti tahu bahwa jumlah orang yang diam itu ada," ucapnya.
Di samping itu, Margarito menganggap pemberantasan korupsi saat ini bukan karena lemahnya lembaga penegakan hukum dan aturan tentang pemberantasan korupsi. Menurut dia, ada mesin produksi korupsi yaitu pemilu langsung sehingga mendorong banyak pihak bergerak koruptif.
"Pak Jokowi ini mesti mengerti dan mesti tahu bahwa Anda boleh rancang penegakan hukum segila apa pun, sejahat apa pun, tapi pada saat yang sama mesin produksi korupsi itu tetap dibiarkan. Itu sama saja dengan bohong. Apa salah satu mesin produksi korupsi? Ya, pemilu langsung. Itu adalah pabrik korupsi," kata Margarito.