Liputan6.com, Jakarta - PT Perusahaan Gas Negara (PGN) berencana menaikan harga gas bumi. Di sisi lain para pelaku industri meminta harga gas diturunkan. Kondisi ini membuat perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam posisi dilematis.
Pengamat Energi Sofyano Zakaria mengatakan, persoalan harga jual gas industri antara Kadin Indonesia dan PGN menjadi pertanda keberadaan BUMN sangat dilematis. Di satu sisi, BUMN adalah sebuah badan usaha yang terikat dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perusahaan Terbatas yang wajib mengejar keuntungan.
Namun, di sisi lain terikat dengan Undang-Undang nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN yang ditafsirkan banyak pihak wajib membantu pelaku ekonomi lain, maka BUMN tidak wajib mengejar laba.
Baca Juga
Advertisement
"Dengan menyandang predikat sebagai BUMN, seolah perusahaan wajib menjual jasa dan produk dengan harga subsidi," kata Sofyano, di Jakarta, Senin (30/9/2019).
Dia melanjutkan, harga gas industri pada dasarnya adalah gas produk non-subsidi, namun pada kenyataanya selalu dituntut tidak boleh dikoreksi naik. Padahal gas non-subsidi jelas produk umum yang harganya tidak diatur pemerintah.
"Di alam Reformasi, BUMN seakan dinilai sebagai badan usaha yang wajib jual murah jasa dan produknya, baik untuk masyarakat juga termasuk ke pengusaha," tambahnya.
Sementara harga barang atau jasa milik pengusaha swasta bebas menetapkan harga, dengan alasan mengikuti mekanisme pasar tanpa mempertimbangkan inflasi atau daya beli.
"Pada kenyataan lain, harga jasa dan produk produk yang dihasilkan badan usaha swasta, sepenuhnya diatur oleh mereka. Publik nyaris tak bisa berbuat banyak atas hal ini," tandasnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Harga Gas Bumi Berpotensi Turun
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan, efisiensi investasi proyek hulu minyak dan gas bumi (migas) menjadi celah bagi pemerintah untuk menekan harga gas bumi.
Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar mengatakan, masih ada kemungkinan harga gas dari mulut sumur mengalami penurunan. Namun penurunan itu untuk sumur yang belum berproduksi. Sedangkan untuk yang sudah berproduksi sulit untuk diturunkan, sebab biaya investasi sudah terbentuk.
BACA JUGA
"Untuk harga hulu ke depan ya Insya Allah kita masih bisa ada ruang untuk diturunkan, tapi untuk hulu yang sudah berproduksi itu susah," kata Arcandra, di Jakarta, Jumat (27/9/2019).
Untuk harga gas hulu dari sumur yang belum berproduksi bisa mengalami penurun karena masih ada kesempatan untuk memangkas biaya belanja modal atau Capital Expenditure (Capex).
"Jambaran Tiung Biru (contohnya). Kita potong capex USD 500 juta, sehingga harga hulunya dari USD 9 per MMBTU jadi USD 7,6 per MMBTU. Di hulu USD 6,7, midstream USD 6,9 per MMBTU. Jadi hulunya USD 6,7 per MMBTU," papar Arcandra.
Advertisement