NTT Sulit Capai Bonus Demografi

Berikut kendala yang membuat NTT sulit mencapai bonus demografi pada 2035

oleh Aditya Eka Prawira diperbarui 01 Okt 2019, 09:00 WIB
Kepala BKKBN Hasto Wardoyo dan Wakil Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT),Josef Nae Soi dalam diskusi menyambut Hari Kontrasepsi Sedunia Tahun 2019 yang dipusatkan di STFK Ledalero, Maumere, Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Kamis (26/09).

Liputan6.com, Maumere - Nusa Tenggara Timur (NTT) besar kemungkinan tidak mencapai bonus demografi pada 2035. Sulit untuk provinsi yang terletak di tengah Indonesia ini mendapatkan penduduk usia produktif, sebelas tahun mendatang.

Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Hasto Wardoyo, mengatakan, banyak faktor yang memengaruhi NTT sulit meraih bonus demografi.

"Sebelum meraih bonus demografi, bonusnya saja belum ada. Dalam arti, struktur penduduknya belum terbentuk di NTT ini," kata Hasto di Kabupaten Sikka, Maumere, Nusa Tenggara Timur belum lama ini.

 

Simak Video Menarik Berikut Ini


Masih Banyak Balita, Sulit Mencapai Bonus Demografi

Kepala BKKBN Hasto Wardoyo dan Wakil Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT),Josef Nae Soi dalam diskusi menyambut Hari Kontrasepsi Sedunia Tahun 2019 yang dipusatkan di STFK Ledalero, Maumere, Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Kamis (26/09).

Menurut mantan Bupati Kulonprogo Daerah Istimewa Yogyakarta ini, di NTT masih banyak balita dan orang usia muda tapi angka harapan hidupnya belum sampai 70 tahun.

Menurut data berdasarkan hasil Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk NTT mengalami peningkatan dari 4.683.827 pada 2010, menjadi 5.112.760 pada 2015. Tiga tahun kemudian, jumlah penduduk di sana mencapai 5,4 juta jiwa dengan dependency ratio 72,5 per 100.

Sayangnya, pertambahan jumlah penduduk di Provinsi NTT diikuti dengan munculnya beberapa permasalahan kependudukan, salah satunya umur harapan hidup baru mencapai 66,38 tahun pada 2018.

"Sehingga, balitanya banyak, nenek-neneknya sedikit, remajanya juga banyak," kata Hasto.

Itu artinya struktur penduduk yang menunjukkan usia produktifnya lebih besar dari yang tidak produktif belum tercapai, apalagi bonusnya.

 


Kendala NTT Sulit Mencapai Bonus Demografi

Dalam sebuah kesempatan, Kepala BKKBN Hasto Wardoyo meluruskan sebuah mitos yang menyebut menstruasi adalah darah kotor. Menstruasi terjadi karena mengelupasnya rahim, yang menyebabkannya berdarah. Namun, tidak lantas disebut darah kotor (Liputan6.com/Aditya Eka Prawira)

Kendala lain yang membuat NTT sulit mencapai bonus demografi, lanjut Hasto, adalah angka kelahiran yang juga tinggi, yaitu 3,4 atau satu keluarga memiliki tiga sampai empat anak yang baru lahir.

"Satu rumah tangga yang kerja cuma dua tapi yang ditanggung (anaknya) ada 4, 5, 6, ditambah nenek dua orang, jadi yang ditanggung ada delapan," ujarnya.

Sementara itu, Wakil Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Timur, Josef Nae Soi, mengatakan, penghambat bagi NTT untuk mencapai bonus demografi karena sedikit lapangan pekerjaan yang mengakibatkan orang usia produktif memiliki migrasi keluar dari NTT.

"Banyak yang ke Jakarta," katanya.

Padahal, banyak hadiah dari alam yang dapat dimanfaatkan oleh orang-orang usia produktif tersebut. Misalnya, memudidayakan tanaman kelor yang ada di pekarangan rumah.

"Kita produksi garam, kita impor garam ke luar negeri 3,6 juta ton. Kalau kita bisa bersi saja nasional 1,7 juta ton, maka NTT akan makmur," katanya.

Selain itu ada bawang putih. Menurut Josef, bawang putih di Malaka berlimpah tapi di Sumba Timur malah kekurangan.

Kemudian, jagung di Maumere banyak tapi di lain kurang. "Kenapa? Karena komunikasinya, karena transportasinya. Maka itu, infrastruktur kata kuncinya," ujarnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya