Liputan6.com, Jakarta - Pekan lalu, Vanuatu kembali mengungkit isu seputar Provinsi Papua Indonesia di Sidang Majelis Umum PBB di New York.
Itu merupakan langkah kesekian dari negara Pasifik tersebut, yang kerap memanfaatkan platform PBB selama beberapa tahun terakhir untuk menyuarakan dukungannya terhadap referendum di Bumi Cendrawasih.
Advertisement
Vanuatu tak bergerak sendiri. Pada beberapa kesempatan, Port Vila kerap menggandeng segelintir negara Pasifik lain (seperti Kepulauan Solomon) atau organisasi separatis Papua (seperti United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) pimpinan Benny Wenda, yang mana kelompok itu bermarkas di Vanuatu).
Mereka juga secara terbuka melobi negara Pasifik besar untuk mendukung tujuannya, seperti Australia dan Selandia Baru.
Indonesia telah sejak lama mengecam langkah "usil" Vanuatu, yang dinilainya bermuatan politis --kata sejumlah diplomat Kementerian Luar Negeri RI. Jakarta juga menuduh Port Vila telah sengaja mendukung ULMWP yang berhaluan separatis dan dituding sebagai penyulut rangkaian kerusuhan Papua Agustus-September 2019; tak menghargai prinsip kedaulatan dan integritas teritorial; hingga "lancang" mencampuri urusan domestik Indonesia.
"Vanuatu harus kembali membaca dan memahami memahami fakta-fakta legal dan sejarah ... agar tidak mengulangi kesalahan yang sama, lagi dan lagi," kata Rayyanul Sangaji, delegasi Perwakilan Tetap RI untuk Markas PBB New York, saat menyampaikan hak jawab (rights of reply) kepada Majelis Umum PBB pada 28 September 2019, atas langkah Vanuatu yang mengungkit isu tersebut di sidang umum majelis.
"Papua, sejak deklarasi kemerdekaan Indonesia, adalah bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diperkuat dengan Resolusi Majelis Umum PBB 2504," lanjut Rayyanul.
Delegasi Indonesia juga meminta agar semua negara untuk menghormati "kedaulatan dan integritas teritorial" serta mendesak untuk tidak mencampuri persoalan domestik negara lain.
Menurut Rayyanul, langkah provokatif Vanuatu juga menunjukkan dengan terang bahwa aksi separatis di Papua tidak lagi bersifat lokal karena telah didukung negara tersebut (state-sponsored separatism).
Diplomat RI itu menambahkan, dukungan Vanuatu terhadap agenda separatis di Papua hanya membuat konflik di sana kian memanas.
Akibatnya, banyak warga sipil jatuh jadi korban dan sejumlah infrastruktur pun rusak akibat konflik di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. "Vanuatu tidak sadar bahwa aksinya memberikan harapan kosong, bahkan memicu konflik. Perbuatan tersebut sangat tidak bertanggung jawab," kata Rayyanul.
Simak video pilihan berikut:
Apa Alasan Vanuatu?
Vanuatu kerap melontarkan alasan dugaan pelanggaran hak asasi manusia di Bumi Cendrawasih ketika mengungkit isu Papua di beberapa platform PBB, seperti Sidang Majelis Umum pekan lalu dan pertemuan Dewan HAM PBB.
Pada 28 September 2019, Perdana Menteri Vanuatu Charlot Salwai Tabismasmas berpidato di hadapan majelis bahwa "para pemimpin dunia harus membantu orang-orang Papua Barat."
"Kami (juga) mengecam pelanggaran hak asasi manusia terhadap masyarakat adat Papua Barat," lanjut Tabismasmas seperti dikutip dari SBS Australia, Sabtu (29/9/2019).
Menteri Luar Negeri Vanuatu, Ralph Regenvanu menambahkan pada kesempatan terpisah di sela rangkaian agenda Majelis Umum, "Kami sangat khawatir karena saat ini sedang ada krisis yang terjadi."
Vanuatu juga mendesak agar negara Pasifik besar, khususnya Australia, "bertindak secara substansial terhadap isu Papua Barat."
Pada 2010, parlemen Vanuatu juga pernah "mengeluarkan mosi dengan dukungan bipartisan, yang menyerukan pendapat penasihat dari Mahkamah Internasional tentang legalitas perjanjian 1962 antara Indonesia dan Belanda tentang status Papua Barat dan legalitas Act of Free Choice 1969 (Penentuan Pendapat Rakyat atau Pepera 1969)."
Menyampaikan pandangannya soal langkah Vanuatu, Patrick Kaiku, dosen ilmu politik di Universitas Papua Nugini, menjelaskan:
"Dukungan setia Vanuatu terhadap upaya kemerdekaan Papua Barat didasarkan pada prinsip-prinsip inti penentuan nasib sendiri dan non-alignment (non-blok)," ujar Kaiku dalam kolom opini untuk situs surat kabar Vanuatu, Dailypost pada 20 Februari 2019, dikutip pada Senin 30 September.
"Komitmen konsisten Vanuatu untuk menentukan nasib sendiri tidak terbatas pada Papua Barat. Perdana Menteri pendiri negara itu dan para pemimpin Vanuatu selanjutnya menegaskan dukungan untuk Kaledonia Baru yang independen, mengadvokasi pembentukan negara Palestina dan berpengaruh dalam pembentukan Melanesian Spearhead Group (MSG) sebagai kendaraan untuk mendukung dekolonisasi di Melanesia dan denuklirisasi di Pasifik."
"Vanuatu juga memiliki sejarah dan pengalaman traumatis di bawah pemerintahan asing, yang menjadikan hal tersebut sebagai dasar untuk posisi anti-kolonial dan dukungan untuk penentuan nasib sendiri dalam komunitas global."
Advertisement
Pengamat Indonesia: Tidak Perlu Heboh Soal Vanuatu
Pengamat hubungan internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, menggarisbawahi tiga faktor mengenai alasan Vanuatu yang selama beberapa tahun terakhir kerap mengangkat isu Papua di platform multilateral dunia.
"Dalam konstitusi Vanuatu, ada pasal yang mengatakan bahwa mereka, berdasarkan asas solidaritas, harus memperjuangkan bangsa Melanesia," kata Hikmahanto saat dihubungi Liputan6.com, Senin 30 September.
"Itu selalu ada dan oleh karenanya digunakan pemerintahnya untuk memperjuangkan rakyat Papua."
Faktor kedua, kata Hikmahanto, adalah bagaimana kebijakan luar negeri pemerintahan Vanuatu saat ini dalam mengambil sikap soal isu Papua.
"Nah dalam pemerintahan Vanuatu saat ini, mereka mengambil kebijakan luar negeri yang menyelaraskan dengan konstitusinya soal isu Papua," lanjutnya.
Faktor Benny Wenda
Ketiga, kata Hikmahanto, adalah faktor Benny Wenda --pemimpin sayap politik organisasi ULMWP yang berdiri dan bermarkas di Vanuatu sejak Desember 2014.
"Benny Wenda selalu meminta Vanuatu (untuk mengangkat isu Papua)," jelasnya.
Hikmahanto mengatakan, Benny meminta Vanuatu karena posisinya sebagai eksil tidak memungkinkan untuk mengangkat isu tersebut sendiri.
"Oleh karenanya dia akan meminta Vanuatu. Contoh terbaru, seperti Sidang Majelis Umum PBB ke-74/2019 pekan lalu," kata Hikmahanto.
Hikmahanto: Tidak Perlu Dihebohkan
Dosen Universitas Indonesia itu mengatakan bahwa langkah yang dilakukan oleh Vanuatu adalah 'sah-sah saja berdasarkan koridor diplomasi internasional'.
"Apalagi mereka (Vanuatu) menjustifikasi langkahnya dengan alasan konstitusi, apa boleh buat?"
"Sama-lah, seperti Indonesia keras kepada Israel soal isu Palestina. Kita juga menggunakan justifikasi konstitusional kan, bahwa 'penjajahan di dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan keadilan'. Mau Israel marah seperti apa, kita tidak peduli. Selama itu ada (di Konstitusi RI), selama itu juga kita terus memperjuangkan akan hal (isu Palestina) itu," jelasnya.
"Yang penting kan (soal isu Papua) pemerintah Indonesia punya dan harus menggunakan hak untuk menjawab (rights of reply) di PBB, jadi tidak perlu dihebohkan," lanjutnya.
Langkah yang Telah Diperkirakan
Langkah Vanuatu yang kembali menggunakan platform Majelis Umum PBB tahun ini untuk 'mengusik' Indonesia soal isu Papua, adalah aksi yang telah diperkirakan.
Pelaksana tugas Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI, Teuku Faizasyah, pada 25 September 2019, memprediksi bahwa mungkin ada satu-dua negara yang mengangkat isu Papua dan Papua Barat di sidang majelis umum.
"Selama rangkaian sidang Majelis Umum PBB (2019), tidak sama sekali ada agenda atau pembahasan (khusus) soal Papua," kata Faizasyah pada sela-sela agenda di Jakarta, Rabu (25/9/2019).
"(Namun) hanya satu negara Pasifik itu sebenarnya yang selama ini usil dengan mengangkat isu Papua (di Majelis Umum PBB). Kalau (ada) diangkat (isu Papua), Indonesia punya hak untuk menjawab (right of reply), memberikan tanggapan dan meluruskan apabila ada hal-hal yang (dibahas di majelis umum) mengaitkan dengan kepentingan politik domestik negara itu."
Tahun lalu, ketika Vanuatu membahas isu Papua di Sidang Majelis Umum PBB ke-73, delegasi Indonesia menggunakan right of reply sebanyak dua kali untuk mengecam langkah negara Pasifik tersebut, sekaligus "memberikan penjelasan tentang keadaan yang sebenarnya" di Bumi Cendrawasih.
"Meskipun disamarkan dengan keprihatinan hak asasi manusia yang berbunga-bunga, niat dan tindakan tunggal Vanuatu secara langsung menantang prinsip-prinsip hubungan persahabatan yang disepakati secara internasional antara negara, kedaulatan dan integritas teritorial," kata delegasi Indonesia di PBB, Aloysius Selwas Taborat dalam penyampaian right of reply kedua kepada Vanuatu pada Oktober 2018 --seperti dikutip dari the Guardian.
Aloysius mengatakan, Vanuatu berulang kali mendukung gerakan separatis dan dia mempertanyakan perilakunya sebagai "negara yang taat hukum internasional".
"Dukungan yang tidak dapat dimaafkan terhadap individu separatis jelas ditunjukkan dengan dimasukkannya sejumlah orang dengan catatan kriminal serius dan agenda separatis dalam delegasi mereka ke PBB."
Taborat mengatakan bahwa rakyat Papua telah "sekali dan untuk semua menegaskan kembali Papua adalah bagian yang tidak dapat dibatalkan dari Indonesia" dan bahwa itu "final, tidak dapat dibalikkan dan permanen", merujuk pada Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera atau Act of Free Choice) 1969 yang diadopsi menjadi Resolusi Majelis Umum PBB 2504.
Advertisement