Liputan6.com, Surabaya - Rabies atau yang dikenal juga dengan istilah penyakit anjing gila merupakan infeksi virus pada otak dan sistem syaraf. Penyakit itu tergolong sangat berbahaya karena berpotensi besar menyebabkan kematian.
Penyebab rabies adalah virus bernama RNA dan genus Lyssavirus, famili Rhabdoviridae, yaitu virus yang berbentuk seperti peluru bersifat neurotropis, menular dan ganas.
Virus tersebut bersarang pada air liur hewan yang telah terinfeksi. Hewan yang telah terinfeksi dapat menyebarkan virus dengan menggigit hewan lain atau manusia.
Baca Juga
Advertisement
Pada umumnya, virus rabies ditemukan di hewan liar. Beberapa hewan liar yang menyebarkan virus tersebut adalah sigung, rakun, kelelawar, dan rubah. Namun, di beberapa negara, masih banyak binatang peliharaan yang rupanya membawa virus tersebut, termasuk kucing dan anjing.
Gejala yang timbul apabila hewan terinfeksi rabies di antaranya, perubahan perilaku hewan yang tidak mengenal pemiliknya, tidak menuruti perintah pemiliknya, mudah terkejut, kemudian mudah memberontak, takut pada cahaya atau sinar dan juga gelisah, beringas, mengalami kelumpuhan tenggorokan dan kaki belakang, sebelum akhirnya mati.
Prof. Dr. Suwarno, guru besar Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Universitas Airlangga (Unair) menuturkan, potensi terjangkit rabies juga berlaku pada manusia. Data dari Kementerian Kesehatan menunjukkan, setiap tahun rabies menyebabkan sekitar 59.000 kematian.
Jika dikalkulasi, terdapat seratus orang lebih yang meninggal karena rabies tiap harinya. Sebanyak 99 persen kasus rabies terjadi karena gigitan anjing yang terinfeksi virus. Sementara satu persen terjadi pada kucing, kera, dan musang.
Ironisnya, 40 persen korban tergigit anjing rabies dan meninggal adalah usia anak-anak. Postur tubuh anak-anak yang kecil membuat rawan mendapat gigitan di area kepala.
Selain itu, menurut Prof. Suwarno, banyaknya korban anak-anak juga disebabkan mitos yang berkembang di masyarakat terkait tindakan yang dilakukan saat seseorang dikejar anjing.
"Nasihat orang tua dulu kalau dikejar anjing itu harus duduk jongkok (agar anjing berhenti mengejar, Red). Itu yang salah,” ujar Prof. Suwarno dalam talkshow, ditulis Senin (30/9/2019).
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini
Selanjutnya
Sebab, lanjutnya, anjuran tersebut justru dapat menyebabkan anjing menyerang dan menggigit di sekitar area kepala. Gigitan di area kepala akan mempercepat perjalanan virus rabies menyerang syaraf otak dan kelenjar ludah.
Penyebaran virus rabies dari hewan ke manusia hanya dapat terjadi melalui gigitan atau liur hewan yang mengenai luka terbuka. Semakin dalam gigitan, semakin berbahaya resiko yang ditimbulkan. Virus rabies memiliki masa inkubasi 5-14 hari. Penelitian terbaru menunjukkan masa inkubasi virus rabies bisa jauh lebih lama, yakni dua hingga tiga tahun.
"Masa perjalanan virus rabies adalah delapan milimeter perhari. Biasanya seseorang yang digigit oleh hewan terjangkit rabies bisa meninggal dalam waktu lima hari. Karena virus ini menyerang otak, jika seseorang digigit di lengan atau kaki maka membutuhkan masa inkubasi yang cukup lama untuk sampai ke otak," paparnya.
Gejala seseorang yang terinfeksi virus rabies di antaranya demam, mual, mulut berbusa, hidrophobia atau takut air, rasa nyeri hebat saat menelan, kejang hingga kelumpuhan menjelang kematian.
"Apabila seseorang tergigit hewan pembawa rabies, luka gigitan harus segera dibersihkan dengan air mengalir kemudian diberi desinfektan. Selanjutnya, korban harus segera dibawa ke rumah sakit untuk mendapat penangan lanjutan. Dokter akan memberikan serum dan vaksin anti rabies,” ujar dosen FKH UNAIR tersebut.
Advertisement
Pentingnya Vaksin
Kendati demikian, Prof. Suwarno menyebutkan, rabies 100 persen dapat dicegah melalui vaksinasi. Dengan menyuntikkan virus yang telah dimatikan atau inaktif ke dalam tubuh hewan dan manusia, maka tubuh akan membentuk sistem kekebalan untuk menangkal virus rabies.
Vaksin anti rabies dapat diberikan pada siapapun. Namun, orang yang dianjurkan untuk melakukan vaksin anti rabies adalah orang yang berisiko tinggi terinfeksi virus tersebut. Kelompok orang tersebut adalah pemilik hewan, dokter hewan, peternak hewan, pekerja laboratorium atau peneliti yang berhubungan dengan hewan, dan profesi lain yang melakukan kontak langsung dengan hewan.
Jawa Timur merupakan provinsi yang masuk ke delapan daerah bebas rabies bersama dengan Papua, Nusa Teggara Barat, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Yogyakarta, Jawa Tengah, dan DKI Jakarta. Masih sedikitnya daerah bebas rabies di Indonesia menunjukkan endemisitas rabies masih tinggi. Sehingga masyarakat diimbau tetap waspada dan berhati-hati ketika membawa hewan peliharaan mengunjungi daerah lain.
Pemilik hewan peliharaan utamanya anjing dan kucing dianjurkan untuk memberikan vaksin secara berkala pada hewan peliharaan. Pemeriksaan kondisi kesehatan dan kekebalan imun hewan sebelum mengajaknya bepergian ke luar kota juga penting dilakukan untuk mengantisipasi penularan virus dari hewan lain saat berada di wilayah endemis rabies.
Acara yang digelar di Ruang Avian lantai satu FKH UNAIR Kampus C tersebut juga dihadiri oleh Balai Karantina Pertanian Surabaya, Pusat Veterinari Farma Surabaya, dosen dan dokter hewan yang tergabug dalam Persatuan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) Jatim I serta komunitas pecinta hewan di Surabaya.