Liputan6.com, Cilacap - Karsiman tak akan pernah lupa satu nama yang begitu menjadi momok pascaperistiwa G30SPKI. Namanya, Rubidi.
Sebulan seusai peristiwa 65, Rubidi menjadi orang yang begitu ditakuti. Tiap kali nama Rubidi disebut, ingatannya melayang kepada sosok yang lincah, tegas dan terkadang, beringas.
Warga Cikuya, Bantar, Kecamatan Wanareja, Cilacap, bahkan punya julukan khusus untuk Rubidi, Lingsang Geni, lingsang yang berenang dalam lautan api. Julukan ini menunjukkan betapa Rubidi begitu menakutkan.
Rubidi adalah komandan operasi pembersihan PKI yang begitu menguasai kawasan Cilacap barat, termasuk Cikuya, Cipari, Cimanggu, dan sekitar Gunung Karangtengah. Waktu itu, Karsiman berusia 15 tahun sehingga tidak ditangkap tentara.
Baca Juga
Advertisement
Itu sebabnya, pertama kali bertemu dengan Rubidi, Karsiman begitu marah. Ingatannya kepada sosok Rubidi yang begitu tega kepada warga Cikuya begitu membekas dan menaburkan benih dendam.
Warga menganggap Rubidi lah orang yang bertanggung jawab atas hilangnya beberapa warga Cikuya yang dituduh PKI. Puluhan pria dipenjara. Dan dampak yang masih terasa hingga saat ini adalah warga terusir dari tanahnya.
"Ya saya gregetan. Pengin memukul. Enggak tanya saya, enggak mau tanya. Saya bertanya itu paling baru empat tahunan," ucap Karsiman, beberapa waktu lalu.
Serupa dengan Karsiman, seorang pria sepuh, Sandiarja (85) juga mengaku tahu siapa Rubidi. Beda dengan Karsiman yang tak ditangkap tentara, Sandiarja dibui 11 bulan karena dituduh anggota Barisan Tani Indonesia (BTI).
Padahal, ia sama sekali tidak tahu apa BTI atau PKI. Bahkan, hingga kini, ia buta huruf.
Namun, ia mengaku tak mendendam. Hanya saja, Sandiarja ogah bersalaman dengan Rubidi, sampai sekarang. Dia pun enggan menyapa orang yang pernah menuduhnya terlibat PKI ini.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Saat Rubidi Ditunjuk Jadi Wakil Komandan Operasi Pembersihan PKI
"Lha buat apa tanya, bertemu ya sudah. Paling saya membathin seperti ini, 'Oh, ini orangnya'. Sampai sekarang lah," ucap Sandiarja.
Nama lengkap Rubidi adalah Rubidi Mangun Sudarmo. Ia lahir di Sambilgaluh, Kulonprogo pada tahun 1933. Kemudian pada tahun 1935-an, bersama orangtuanya ia pindah ke Cipancur, Desa Bantarsari, Kecamatan Wanareja, Cilacap.
Ia menempuh pendidikan sekolah dasar di Bantarsari hingga kelas 2 SD, kemudian dilanjutkan ke SD Wanareja hingga kelas 5. SMP diselsaikan di SMP 1 Cilacap. SMA diselesaikan Angkatan Pelajar Pemuda Indonesia (APPI) Cikini.
Masa muda dilewatinya dengan masuk berbagai organisasi. Lantas, ia beranjak menjadi tokoh PNI yang disegani. Dia cakap, pintar, dan cerdas.
Ia juga diperhitungkan karena sangat menguasai lapangan. Lalu, saat peristiwa 1965 terjadi, dia diangkat menjadi wakil komandan pasukan gabungan operasi pengamanan gerombolan PKI.
Rubidi mengaku menghadapi dilema besar ketika ditunjuk menjadi Wakil Komandan Pasukan Gabungan dalam Operasi Penumpasan Gerombolan PKI di kawasan Cilacap barat, meliputi pegunungan Wilis yang kini masuk di lima kecamatan, yakni Kecamatan Cipari, Wanareja, Sidareja, Cimanggu, dan Majenang.
Sebab, mertua dan istrinya adalah tokoh PKI dan Gerwani. Dia sendiri, adalah kader PNI yang loyal dan saat itu, telunjuknya bisa menentukan hidup dan mati seseorang.
Namun, pilihannya saat itu adalah hidup atau mati. Jika dia menolak tugas, itu artinya, mati. Sebab, waktu itu yang benar-benar berkuasa adalah militer.
Pada November 1965, dia menerima jabatan wakil komandan pasukan gabungan dari kalangan sipil. Tugas utamanya adalah memindahkan, atau lebih tepat mengusir warga yang berada dalam radius tapal kuda operasi. Dia ditunjuk oleh Letnan Kolonel Arifin, pejabat militer komandan tertinggi operasi keamanan.
"Tugas saya yang pokok, yang saya emban, adalah mengembalikan masyarakat kembali seperti semula. Artinya yang punya rumah ya kembali ke rumah, Yang bertani ya kembali bekerja bertani. Makanya disebut sebagai operasi keamanan. Di luar itu, saya menolak kuat pun saya bisa," ucap Rubidi.
Advertisement
Pagi Mencekam di Kampung Cikuya
Namun begitu, Rubidi membantah berlaku kejam. Ia justru menuduh, yang berlaku kejam waktu itu adalah anggota baru PKI.
Mereka, kata Rubidi, berlindung di balik kekejamannya untuk melindungi dirinya sendiri. Dia bahkan berani menunjukkan siapa saja yang anggota PKI, tetapi berlaku kejam kepada orang yang dituduh PKI.
Beberapa di antaranya, masih hidup hingga hari ini. Dan mereka masih berlindung di balik drama pemberantasan PKI yang diikutinya.
"Yang kejam-kejam, suruh bunuh ya bunuh, itu adalah orang baru, baru masuk. Belum setahun. (Baru Masuk PKI?) ya. Yang sekarang masih hidup pun, jiwanya masih seperti itu. (menutup jati dirinya?) Iya," Rubidi menegaskan.
Membantah berlaku kejam, tetapi Rubidi mengaku telah mengusir warga dari permukimannya agar operasi itu cepat selesai. Tak terhitung permukiman yang berhasil dikosongkannya.
"Tujuannya kan untuk mempercepat operasi keamanan. Soalnya, kalau bercampur dengan rombongan yang betul, rombongan orang PNI, Nahdatul Ulama, itu kan enggak disinggung-singgung. Makanya saya suruh pergi," ujarnya.
Salah satu kampung yang dikosongkan paksa oleh Rubidi dan anak buahnya adalah kampung Cikuya. Sebuah kampung dengan luas lahan sekitar 72 hektare dan didiami oleh 70-an keluarga. Kampung Cikuya, saat ini berada di Desa Bantarsari Kecamatan Wanareja, Kabupaten Cilacap.
Namun, ia mengaku telat tiba di Cikuya. Sejumlah nyawa di Cikuya pun melayang oleh aksi main hakim sendiri milisi yang liar.
"Pagi-pagi saya datang ke sana. Sarno, sudah dibawa keluar. Anak-anak Wanareja sudah ada di sana. Termasuk Kurdi, yang bersenjata, juga sudah di sana," dia bercerita.
"Ketika saya ke sana, senjatanya ditodongkan ke kepala Sarno. Dibunyikan, duar. Saya kagetnya luar bisa. Saya bilang 'Lha ya untuk apa, itu kan hanya untuk nakut-nakutin orang," dia melanjutkan.
Perjuangan Reforma Agraria Cilacap
Rubidi lantas meminta warga Cikuya pergi. Tak terhitung berapa orang di luar Cikuya yang diusir oleh Rubidi. Dan ancamannya selalu sama, liang lahat.
Tak ada siapa pun yang bisa meraba nasin. Tanpa dinyana, Rubidi, Karsiman, Sandiarja, Ratmini, dan seluruh korban pengusiran yang tersebar di sejumlah desa, seperti Caruy, Karangreja, Kelapagading, Mulyadadi, Sidasari, dan Bantarsari dipertautkan.
Kerena Rubidi, sang lingsang geni, akhirnya juga kehilangan tanahnya. Ia kehilangan asetnya yang berharga. Dan kini, ia mengaku menjadi bagian dari korban yang dikhianati oleh negara.
Namun, Rubidi mengaku sudah tidak memiliki kekuatan lagi untuk melawan. Pasca '65, militer berkuasa di segala lini hidup bangsa Indonesia.
"Saya pun terus diam. Soalnya situasinya kan lain. Ini sudah, perhitungan saya ini yang berkuasa militer. Sampai Soeharto berdiri itu kan juga militer," dia menuturkan.
Rubidi, kemudian menjadi aktivis reforma agraria. Karena dia paham, bahwa tanah-tanah yang dirampas adalah tanah hak rakyat, yang dibuka oleh masyarakat jauh hari sebelum kemerdekaan.
"Tanah dibuka oleh masyarakat. Menurut hukum. Itu berlaku di seluruh dunia bahkan, tidak hanya di Indonesia. Kalau di Sumatera, itu yang disebut sebagai tanah ulayat. Kan itu, dasarnya hingga sekarang kan tidak tersentuh hukum. Ini kan harus bayar. Itu tidak sesuai," jelas Rubidi.
Uluran tangan Rubidi pun diterima oleh Karsiman dan korban pengusiran pascaperistiwa 1965. Ia mengaku saat ini sudah tidak lagi menyimpan dendam kepada Rubidi. Ia merasa senasib sepenanggungan dengan Rubidi.
"Ya, karena bagaiman kita perasaan sebagai sesama manusia lah. Sudah seperti ini terjadinya, ya bagaimana lagi. Ya tidak dendam lah. Apalagi sekarang dia sudah menjadi kawan seperjuangan," ucap Karsiman.
Advertisement