AS Sanksi Eropa Akibat Subsidi Airbus, Potensi Perang Dagang?

AS sudah menilik berbagai macam produk yang berpotensi menjadi sasaran tarif ke Eropa, seperti pesawat, bagian pesawat, anggur, keju, dan barang-barang mewah.

oleh Tommy K. Rony diperbarui 02 Okt 2019, 10:00 WIB
Donald Trump telah mengancam penutupan sangat lama terhadap pemerintah AS apabila pendanaan untuk pembangunan tembok perbatasan tidak direstui. (AP File)

Liputan6.com, Jenewa - Potensi perang dagang baru sedang mendidih di benua biru. Uni Eropa akan kena sanksi berupa tarif dari Amerika Serikat (AS) akibat kasus subsidi ilegal Airbus. Tarif itu kabarnya juga sudah disetujui WTO.

Dilaporkan Reuters, total sanksi tarif itu diperkirakan sebesar USD 7,6 miliar atau Rp 106 triliun (USD 1 = Rp 14.214). Targetnya adalah beragam produk Uni Eropa yang masuk ke AS, meski belum diungkap apa saja produk tersebut.

Namun, AS sudah menilik berbagai macam produk yang berpotensi menjadi sasaran tarif, seperti pesawat, bagian pesawat, anggur, keju, dan barang-barang mewah. 

Lebih lanjut, Reuters menyebut para diplomat dan kalangan maskapai yang setuju pada tarif tersebut. Mereka khawatir langkah tarif justru bisa berujung pada pengurangan tenaga kerja. Pejabat Uni Eropa pun tak ingin aksi saling berbalas terjadi. 

 "Saya meminta Amerika Serikat untuk menegosiasi dengan kita ketimbang melakukan aksi saling berbalas perang dagang yang hanya merugikan ekonomi masing-masing," ujar Phil Hogan, calon komisioner perdagangan Uni Eropa, seperti dikutip AP.

Airbus menganggap hal ini bisa menjadi posisi sama-sama kalah. Belum lagi ada kemungkinan Uni Eropa bisa membalas sebab AS juga dituding memberikan subsidi ilegal ke Boeing.

WTO menyebut aksi subsidi ilegal sudah berlangsung di Boeing dan Airbus selama lima belas tahun. Namun, Uni Eropa masih harus menunggu hingga 2020 untuk mengetahui seberapa besar biaya sanksi tarif balasan dari EU. Perang dagang seperti di China pun bisa benar terjadi jika AS dan UE terus nekat saling memberi tarif.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:


Jalan Masih Buntu

Presiden Amerika Serikat Donald Trump (kanan), bersama istrinya Melania Trump (kiri) sesaat sebelum turun dari pesawat kepresidenan Air Force One (AFP/Saul Loeb)

Hubungan dagang AS dan UE sedang terkekang karena tarif baja dari AS. Selain itu, Presiden Trump kerap "menakut-nakuti" akan menerapkan sanksi ke mobil asal Eropa.

Meski penggunaan tarif ke Eropa ditentang kalangan diplomat, pemerintahan Trump pun pede dengan penggunaan tarif sebab sudah berhasil mengajak China bernegosiasi, serta berhasil membuat Jepang membuka pasar pertaniannya bagi produk AS.

Pihak AS dan UE juga masih bisa menghalau sanksi ini, tetapi Reuters menyebut keduanya saling menuduh sulit diajak negosiasi.

Kepala dagang UE, Cecilia Malmstrom telah meminta Washington agar menahan sanksi dan membuat kesepakatan soal dukungan perangkat pesawat terbang. Namun, pihak AS belum mau bicara.

Sementara, pejabat pemerintahan AS berkata AS sudah mau duduk bersama demi mencari solusi, tetapi UE dituding terus mendukung Airbus ketimbang memperbaiki masalah.


Perang Dagang China-AS Diprediksi Berlanjut hingga 2020

Perang Dagang China AS

Asian Development Bank (ADB) memprediksi perang dagang antara China dengan Amerika Serikat (AS) masih berlanjut hingga 2020. Kondisi tersebut akan membuat ekonomi beberapa negara di dunia dalam kondisi sulit.

Kepala Ekonom ADB Yasuyuki Sawada mengatakan, negara-negara di Asia harus mampu mengantisipasi hal tersebut sejak dini. Hal ini disampaikan dalam Asian Development Outlook 2019 update, Jakarta, Rabu, 25 September 2019. 

"Konflik perdagangan antara China dan AS sangat mungkin akan berlanjut hingga 2020, sedangkan sejumlah perekonomian utama di dunia diperkirakan akan mengalami kesulitan Iebih besar daripada yang diantisipasi saat ini," ujarnya.

Khusus Asia, melemahnya momentum perdagangan dan menurunnya investasi menjadi perhatian utama. Tahun ini dan tahun depan, pertumbuhan ekonomi negara-negara Asia yang sedang berkembang diperkirakan akan tumbuh 6 persen.

"Para pembuat kebijakan perlu memantau isu-isu ini dengan seksama," jelas Yasuyuki.

Secara rinci, ADB memprediksi perekonomian China akan tumbuh 6,2 persen tahun ini, dan 6 persen tahun depan. Asia Tenggara secara keseluruhan diperkirakan akan tumbuh 4,5 persen pada 2019 dan 4,7 persen pada 2020, sedangkan Asia Timur akan berekspansi hingga 5,5 persen di 2019 dan 5,4 persen pada tahun depan.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya