Liputan6.com, Jakarta - "Americano-nya dong, satu," mungkin jadi kalimat yang pernah Anda dengar --atau bahkan keluar dari mulut Anda-- di sebuah kafe dan kedai kopi kekinian.
Barista pun mengiyakan. Beberapa menit kemudian, ia menyuguhkan segelas kopi hitam (tanpa ampas, dalam tekstur encer) kepada pemesannya. Hangat. Aroma bean Arabica-nya, semerbak.
Advertisement
Beberapa memodifikasinya dengan tambahan es batu, atau Ice Americano. Barista biasanya menuang minimal dua shot espresso (resep utama Americano) ke bongkahan es dalam gelas.
Ada yang menambahkan air lagi ke dalamnya, atau membiarkan es mencair dengan sendirinya hingga tercampur dengan espresso yang dituangkan.
Menu minuman kopi yang satu itu memang cukup populer di kafe atau kedai kopi di penjuru dunia. Beberapa penikmat kopi suka dengan nuansa kesederhanaan, to-the-point, namun dapat dengan leluasa diramu dengan bahan lain: seperti gula, susu, essence --bagi yang senang bereksperimen-- bahkan ekstra shot espresso bagi yang menginginkan kafein berlebih.
Namun, di balik kesederhanaannya, Americano punya sejarah panjang sebelum ia menjadi menu favorit (dan wajib ada) di kafe langganan Anda.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Espresso, Cappuccino, dan Americano
Ketika tentara Amerika Serikat ditempatkan di Italia selama Perang Dunia II (1943-1945), ada keyakinan di kalangan prajurit bahwa mereka bisa bertempur dengan baik selama mendapat asupan secangkir kopi yang layak.
Beruntungnya, ketika rekan mereka yang diterjunkan ke wilayah tempur lain mengalami kekurangan ransum kopi, hal itu tidak dirasakan para prajurit AS di Italia.
Mereka justru ditempatkan di negara yang paling mencintai kopi di Eropa.
Sayangnya bagi mereka, kopi gaya Italia tidak sesuai dengan keinginan mereka, karena tekstur dan rasa yang sangat berbeda dari kopi yang biasa mereka minum.
Pada saat itu, sebagian besar orang Amerika menggunakan metode penyeduhan (brew) tetes (drip atau dripping), di mana air panas dituangkan di atas biji kopi yang telah digiling, disaring menggunakan alat khusus, dan dibiarkan menetes (drip) perlahan.
Hasilnya adalah secangkir kopi dengan 'rasa halus' ketika disesap.
Para GI (julukan tentara AS) bisa menambahkan sedikit susu untuk membuat kopi "putih" jika mereka mau.
Sementara di Italia, sebagian besar pilihan menu minuman kopi pada saat itu adalah espresso (kopi bubuk halus yang diseduh dengan sedikit air panas hampir mendidih, yang diperas dengan tekanan tinggi, menghasilkan cairan ekstrak kopi murni, dituang ke gelas kecil/shot) atau cappuccino (satu-dua shot espresso ditambahkan sedikit susu yang dibuihkan/frothing milk).
Kedua menu itu tidak sesuai dengan selera para GI.
Barista Italia pada saat itu memecah masalah dengan menawarkan secangkir air panas sebagai sajian sampingan ketika menyuguhkan espresso atau cappuccino kepada orang-orang Amerika. Konsumen kemudian menuangkan espresso atau cappuccino ke gelas air panas yang biasanya berukuran agak besar.
Praktik itu menjadi solusi populer bagi para barista Italia ketika menyuguhkan kopi bagi para tentara AS.
Susu dan gula kemudian dapat ditambahkan sesuai keinginan. Gaya kopi ini disebut sebagai Cafe Americano --merujuk pada orang Amerika-- dan kemudian disingkat menjadi "Americano" seperti yang dikenal dewasa ini di seluruh dunia, demikian seperti dikutip dari warhistoryonline.com, Selasa (1/10/2019).
Meski riwayat itu masih diperdebatkan di kalangan sejarawan, Cleo Coyle, penulis buku 'Holiday Grind' mengatakan bahwa kisah tersebut sudah menjadi kepercayaan dan terlanjur populer di kalangan penikmat kopi di seluruh dunia.
Advertisement
Kopi, Ransum Wajib Semasa Perang
Kopi adalah ransum wajib di kalangan tentara pada era Perang Dunia --bahkan masih hingga sekarang. Kandungan kafeinnya dipercaya mampu mendorong adrenalin, membuat prajurit tetap awas dan waspada.
Pada saat Perang Dunia I dimulai, kopi adalah minuman yang populer meskipun masih dianggap sebagai barang mewah di AS dan di seluruh Eropa. Kopi dibawa dari Asia dan Amerika Selatan dan dibawa ke pusat-pusat perdagangan utama di Eropa yang dikenal sebagai Coffee Exchange.
Salah satu stok kopi terbesar diadakan di Hamburg, tetapi Inggris dan Prancis dan Sekutu mereka hanya dapat membeli dari negara-negara netral seperti Belanda dan Swedia, yang mengimpor kopi dari koloni dan bekas koloni mereka. Terlepas dari persediaan kopi yang besar, warga sipil Jerman juga menderita kekurangan kopi, karena pemerintah mereka membeli semuanya untuk menyediakan pasokan bagi militer.
Situasi serupa muncul selama Perang Dunia Kedua, kali ini mempengaruhi Amerika lebih dari sebelumnya. Meskipun negara-negara penghasil kopi cukup dekat, Amerika Serikat tidak dapat menyisihkan sarana untuk mengirimkan kopi dari negara-negara tetangga Amerika Latin. Akibatnya, AS mengalami kekurangan kopi.
Amerika Serikat memperkenalkan penjatahan kopi pada tahun 1942 sementara stok kopi berlebih yang diproduksi di selatan terbuang sia-sia. Seperti kebanyakan barang yang dijatah selama perang, biasanya ada cara untuk memperolehnya dengan harga, dan kopi adalah salah satu komoditas yang tersedia di pasar gelap.
Subtitusi Ransum Kopi pada Masa Perang
Untuk memenuhi kebutuhan mereka sebaik mungkin, orang-orang menggunakan berbagai pengganti yang diproduksi secara komersial dan buatan sendiri. Chicory (Cichorium intybus atau semak menahun) masih merupakan pilihan yang populer, tetapi hampir semua hal yang dapat dipanggang dan digiling menyerupai kopi layak untuk dicoba.
Biji-bijian panggang, terutama jelai dan akar serta biji dan biji beech, dicoba dengan berbagai tingkat keberhasilan.
Selain rasa yang kurang ideal, tidak ada pengganti yang mengandung kafein. Namun bagi sebagian orang, kekurangan kafein mungkin merupakan bonus karena kopi tanpa kafein belum tersedia secara luas semasa Perang.
Bagaimanapun, mereka para penggemar non-kafein (decaf) mungkin melewatkan esensi penting dari meminum secangkir kopi berkafein --adrenalin bung!
Advertisement