Berantas Berita Palsu, Singapura Berlakukan Hukum Baru Per 2 Oktober

Di bawah UU baru, outlet media daring, Facebook dan Twitter, akan dipaksa menghapus konten yang menurut pemerintah Singapura tidak benar.

oleh Afra Augesti diperbarui 03 Okt 2019, 15:06 WIB
Ilustrasi hoax (iStockPhoto)

Liputan6.com, Singapura - Undang-undang baru yang dimaksudkan untuk melindungi masyarakat Singapura dari "berita palsu" mulai berlaku per 2 Oktober 2019.

Beberapa aktivis percaya, UU ini justru bisa menghambat kebebasan berpendapat dan memberikan kekuatan yang tidak beralasan kepada pemerintah.

UU itu berbunyi bahwa pemerintah akan mencegah komunikasi elektronik di Singapura dari pernyataan fakta yang salah, menekan dukungan terhadap penyebaran hoaks, menangkal efek dari komunikasi tersebut, melindungi warga dari akun-akun fiktif di media sosial, manipulasi informasi, dan memberi pemerintah kekuatan untuk memutuskan hal-hal terkait.

Undang-undang ini melarang penyebaran berita --baik di dalam negeri atau dari jarak jauh-- dari pernyataan-pernyataan yang dianggap salah oleh pemerintah dan kemungkinan dapat mengancam keamanan nasional negara, mengancam kesejahteraan publik atau menghasut permusuhan, kebencian, atau niat buruk antara kelompok orang yang berbeda.

UU baru juga melarang penyebaran hoaks di Singapura yang dapat mempengaruhi hasil pemilihan umum atau merusak kepercayaan publik terhadap kemampuan pemerintah untuk melakukan tugasnya.

Di bawah undang-undang yang baru, outlet media daring, termasuk platform media sosial seperti Facebook dan Twitter, akan dipaksa untuk mengeluarkan koreksi dan menghapus konten yang menurut pemerintah Singapura tidak sesuai, seperti dikutip dari Newsweek,  Kamis (3/10/2019).

Selain itu, UU tersebut nantinya memberi pemerintah wewenang memerintahkan perusahaan teknologi untuk memblokir akun yang menyebarkan informasi palsu, menurut surat kabar yang berbasis di Singapura, The Straits Times.

The Straits Times melaporkan, UU baru akan menjadi hak prerogatif pemerintah untuk menunjukkan bahwa berita yang mereka baca adalah palsu.

Pihak-pihak yang dianggap memiliki niat jahat bisa kena denda hingga 100.000 dolar Singapura (sekitar Rp 1 miliar), menghadapi hukuman sepuluh tahun penjara, atau keduanya.

Dalam kasus yang melibatkan perusahaan atau lebih dari satu individu, denda maksimum naik menjadi 1 juta dolar Singapura (sekitar Rp 10 miliar).

 

* Dapatkan pulsa gratis senilai Rp 5 juta dengan download aplikasi terbaru Liputan6.com di tautan ini.

Saksikan video pilihan di bawah ini: 


Diprotes Aktivis

Ilustrasi Singapura (AP/Wong Maye-E)

Beberapa kelompok hak asasi manusia dan pengacara mengutuk RUU itu ketika disahkan, mengklaim bahwa aturan tersebut mengancam hak-hak warga Singapura untuk menyatakan ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintah.

"Para pemimpin Singapura membuat undang-undang yang akan berdampak buruk pada kebebasan internet di seluruh Asia Tenggara, dan kemungkinan memulai serangkaian perang informasi ketika mereka mencoba untuk memaksakan pandangan sempit mereka tentang 'kebenaran' di dunia yang lebih luas," kata Phil Robertson, wakil direktur Asia di Human Rights Watch, kepada The Guardian.

The International Commission of Jurists (ICJ), sebuah kelompok yang terdiri dari hakim, pengacara dan sarjana hukum yang berkampanye melawan pelanggaran hak asasi manusia di seluruh dunia, setuju bahwa undang-undang tersebut memungkinkan pemerintah untuk menyalahgunakan kekuasaannya.

"Hukuman berat yang diajukan berdasarkan rancangan undang-undang, ruang lingkup yurisdiksi teritorialnya yang luas dan tidak adanya perlindungan yang jelas untuk berekspresi, menimbulkan risiko nyata bahwa UU ini akan disalahgunakan untuk menekan kebebasan berpendapat dan pengungkapan kebenaran dan informasi," ujar direktur ICJ Asia Pasifik, Frederick Rawski.

 


Ancam Kebebasan Pers

(Foto: Skratos1983/Pixabay) Ilustrasi Pers

Singapura sudah memiliki undang-undang jurnalisme tentang buku-buku yang dianggap terlalu 'gamblang' oleh beberapa orang.

Saat ini, Singapura berada di peringkat 151 dari 180 negara dalam hal kebebasan pers, menurut data Reporters Without Borders --organisasi nirlaba internasional yang memantau dan mengadvokasi kebebasan berekspresi di seluruh dunia.

Singapura dinilai tidak jauh berbeda dari China dalam hal menekan kebebasan media, menurut situs web Reporters Without Borders.

Lebih lanjut dikatakan bahwa pihak berwenang Singapura juga sudah mulai mengirim email kepada para jurnalis yang mengancam para pemburu berita ini dengan 20 tahun penjara, jika awak media tidak segera menghapus artikel ofensif dan tidak bermain sesuai aturan pemerintah.

Parlemen mengesahkan RUU Protection from Online Falsehoods and Manipulation Act pada Mei 2019, setelah dua hari perdebatan, menurut The Straits Times.

Mayoritas besar anggota parlemen mendukung RUU tersebut, dengan 72 memilih "ya", 9 memilih "tidak", dan 3 abstain dari anggota parlemen yang dicalonkan --anggota yang dicalonkan oleh presiden dan tidak memiliki afiliasi partai atau mewakili konstituensi apa pun.

Anggota People's Action Party (PAP), partai politik yang berkuasa di Singapura, berpendapat bahwa undang-undang itu wajib diberlakukan karena Singapura merupakan pusat keuangan global, populasi etnis dan agama yang beragam, dan akses internet yang luas.

Undang-undang tersebut memuat ketentuan yang memungkinkan terpidana penyebar berita palsu diberikan hak untuk mengajukan banding dengan biaya pengadilan mulai dari 200 dolar Singapura (Rp 2 juta), kata The Straits Times.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya