Liputan6.com, Jakarta - Kemacetan yang kerap terjadi di jalan raya tidak hanya merugikan dari segi waktu saja, melainkan juga dari segi materi. Bank Dunia memperkirakan kerugian akibat kemacetan mencapai Rp 56 Triliun dalam satu tahun.
Dalam laporannya, Bank Dunia menjelasakan kemacetan timbul akibat laju urbanisasi yang belum merata. Warga lebih menggemari untuk tinggal di kota besar sehingga terjadi penumpukan populasi dan beban perekonomian disana.
Baca Juga
Advertisement
Global Director for Urban and Territorial Development, Disaster Risk Management and Resilience Bank Dunia, Sameh Wahba dalam laporan Bank Dunia berjudul “Mewujudkan Potensi Perkotaan Indonesia,” menyebutkan bahwa total biaya yang hilang akibat kemacetan lalu lintas untuk 28 wilayah metro di Indonesia sebesar USD 4 miliar per tahun atau sekitar Rp 56,7 triliun (kurs Rp 14.188 per USD). Angka ini setara dengan 0,5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) nasional.
“Jadi urbanisasi yang tidka dikelola dengan baik memberikan tekanan pada kemacetan, polusi, daerah kumuh, serta pemukiman dan infrastruktur,” kata dia, di Hotel Pullman, Jakarta, Kamis (3/10/2019).
Bank Dunia mengungkapkan untuk DKI Jakarta saja, total kerugian yang hilang akibat kemacetan lalu-lintas mencapai USD 2,6 miliar atau sekitar Rp 36,8 triliun. Jakarta juga masuk dalam daftar sepuluh kota dengan kemacetan lalu-lintas tertinggi di dunia. Bahkan berdasarkan Indeks Kemacetan Lalu-lintas TomTom, Jakarta adalah kota dengan kemacetan tertinggi di antara 18 kota besar di seluruh dunia.
“Dengan estimasi tambahan waktu sebesar 58 persen yang diperlukan untuk setiap perjalanan, ke manapun dan kapanpun di Jakarta,” ujarnya.
Kota-kota kecil lain di Indonesia, seperti Padang dan Yogyakarta, juga bahkan mengalami kemacetan. Seperempat waktu perjalanan hilang akibat kemacetan lalu-lintas.
Reporter: Yayu Agustini Rahayu
Sumber: Merdeka.com
* Dapatkan pulsa gratis senilai Rp 5 juta dengan download aplikasi terbaru Liputan6.com di tautan ini.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Bank Dunia: Ekonomi RI Bisa di Bawah 5 Persen
Bank Dunia melaporkan kepada Presiden Joko Widodo bahwa berbagai masalah geopolitik bisa memberi dampak negatif pada ekonomi Indonesia. Reformasi bisnis pun dibutuhkan menghadapi situasi ini.
Menurut presentasi Bank Dunia bertajuk Global Economic Risks and Implications for Indonesia, ekonomi Indonesia disebut bisa turun hingga 4,9 persen pada 2020. Angka itu juga cukup jauh dari target pertumbuhan pemerintah yakni 5,3 persen.
Hal yang mengancam perekonomian adalah memanasnya perang dagang, bertambahnya adu tarif, dan menjalarnya perang dagang ke sektor teknologi (Huawei). Perang dagang pun bisa berubah menjadi perang mata uang antara dolar dan yuan.
Bank Dunia menyebut perang dagang juga ditemani beberapa peristiwa geopolitik lain yang bisa menambah risiko ekonomi. Di antaranya Brexit, Pemilu AS di 2020, ketegangan dagang Jepang-Korsel, protes Hong Kong, sanksi Iran, konflik bayangan dengan Israel, restukturisasi utang Argentina dan krisis Kashmir.
Advertisement
Pertumbuhan Tenaga Kerja Menurun
Sementara, Indonesia juga terancam lemahnya produktivitas dan pertumbuhan tenaga kerja dalam negeri. Lantas apa solusi Bank Dunia?
Bank Dunia menyarankan agar Indonesia menjadi negeri yang lebih ramah investasi. Perlambatan perizinan juga dipandang sebagai alasan kenapa pabrik dari China ogah pindah ke Indonesia.
"Memindahkan pabrik dari China ke Indonesia memiliki risiko yang rumit, dan butuh waktu setidaknya setahun bahkan lebih, sementara proses di di Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Taiwan lebih jelas dan singkat," jelas Bank Dunia.