Geliat Miko Sang Fotografer Difabel Asal Aceh Meraih Asa

Miko tunadaksa asal Aceh yang sempat hidup dirundung rasa minder, kini menjadi seorang fotografer dengan kemampuan mumpuni.

oleh Rino Abonita diperbarui 04 Okt 2019, 13:01 WIB
Miko tunadaksa asal Aceh yang sempat hidup dirundung rasa minder, kini jadi seorang fotografer dengan kemampuan mumpuni (Liputan6.com/Rino Abonita)

Liputan6.com, Aceh - "Kecacatan sesungguhnya adalah keburukan perilaku, bukan keburukan fisik." Kalimat ini pernah diucap fotografer difabel Achmad Zulkarnain sewaktu jadi tamu salah satu program televisi nasional pada penghujung 2016.

Keterbatasan tak membuat lelaki difabel itu surut dalam mengejar obsesinya. Kalimat itu rupanya telah menghablur di benak Miko.

Nama panjangnya Hariyan Tuah Miko (21). Pemuda tanah Gayo ini lahir dengan kondisi lengan dan kaki sebelah kiri yang tidak lengkap.

Sejak lahir tak mengenal rupa sang ayah, Miko kecil hidup dirundung rasa minder karena merasa tidak diterima oleh lingkungannya.

Belakangan, dirinya mulai mengenal dunia fotografi. Miko saat itu masih malu-malu menunjukkan kecintaannya pada seni potret-memotret.

Termotivasi oleh kalimat Dzoel, Miko pun menyingsingkan lengan baju. Saatnya tembok penghalang itu dihancurkan.

"Bang Dzoel yang tanpa kedua tangan dan kaki saja bisa," ucap Miko, kepada Liputan6.com, Jumat (4/10/2019).

Termaktub di dalam kitab suci Alquran, sesudah kesulitan ada kemudahan. Di mana ada kemauan di situ ada jalan.

Miko pun kini telah jadi seorang fotografer. Pemuda difabel kelahiran Bener Meriah punya satu mimpi lagi, yakni ingin punya studio fotografi sendiri.

"Studionya memang belum ada. Sampai sekarang masih terus berusaha," ujar Miko semringah.

 

* Dapatkan pulsa gratis senilai Rp 5 juta dengan download aplikasi terbaru Liputan6.com di tautan ini.


Menempa Mimpi di Ibu Kota

Miko tunadaksa asal Aceh yang sempat hidup dirundung rasa minder, kini jadi seorang fotografer dengan kemampuan mumpuni (Liputan6.com/Rino Abonita)

Pernah terbesit keinginan mencecap perguruan tinggi, namun, terpaksa dipendam. Menjadi alumnus SMA Yayasan Bina Upaya Kesejahteraan Para Cacat (Bukesra) sudah cukup baginya.

Berkeras menyambung pendidikan ke perguruan tinggi sama saja menambah beban. Keluarga Miko bukanlah orang berada.

Teman setianya adalah lensa. Melaluinya, tunadaksa yang pernah mengubur mimpi untuk kuliah itu bisa menggantungkan cita.

Sekepal harapan menyambangi pada 2017. Ia dapat beasiswa pelatihan minat dan bakat mewakili komunitas kumpulan remaja penyandang disabilitas, Young Voice Indonesia.

Dari provinsi paling barat, Miko beranjak ke ibu kota. Tinggal di wisma Yayasan Chesire Indonesia (YCI), tempatnya mengasah kemampuan fotografi.

Miko mendekati mimpinya setapak demi setapak. Berbagai ajang fotografi khusus penyandang disabilitas pun diikutinya.

Awalnya ikut lomba fotografi di Bandung. Ajang ini hanya menjadi pelecut karena jepretannya saat itu tak masuk dalam daftar juara.

Ia pun ikut lomba memotret calon atlet Asian Para Games 2018. Selain masuk lima besar, kebahagiaan Miko bertambah karena berkesempatan temu muka dengan ahli fotografi, Andreas Darwis Triadi.

Suatu hari, seorang karyawan Kedutaan Inggris menawari Miko untuk memotret perayaan Natal di rumahnya. Ajakan itu tidak disia-siakan.

Orang tersebut puas dengan hasil bidikan Miko. Pada hari lain, ia ditawari memotret acara seperti arisan.

Sebelum kembali ke Aceh, Miko berkesempatan menggelar pameran tunggal dalam acara festival dan bazar yang digelar yayasan. Lima foto terbaik dia pajang.

Salah satu fotonya mencuri perhatian seorang pengunjung dari luar negeri. Foto penari mengenakan kerawang Gayo itu pun ditawar dengan harga yang cukup memuaskan.

Beranjak dari situ, kepercayaan diri Miko semakin terbentuk. Ia tak ragu lagi menerima setiap tawaran yang datang menghampiri.


Kamera Pertama

Miko tunadaksa asal Aceh yang sempat hidup dirundung rasa minder, kini jadi seorang fotografer dengan kemampuan mumpuni (Liputan6.com/Rino Abonita)

Awalnya, Miko belum punya kamera sendiri. Ia pun menyisihkan uang jajan untuk ditabung agar dapat membeli kamera.

Uang yang terkumpul ternyata belum cukup. Di satu sisi, hasrat untuk memiliki kamera idaman semakin menggebu.

Manajer yayasan pun didatangi. Tak ada alternatif selain meminta pinjaman karena saat itu uang tabungannya hanya Rp2 juta.

Melihat semangat Miko, manajer yayasan memberinya Rp2,5 juta. Alhasil, sebuah kamera berformat Digital Single Lens Reflex (DSLR) pun menggantung di leher.

Bisa jadi Miko belum pernah membaca kisah inspiratif Nicholas James Vujicic. Motivator kesohor pengidap sindrom Tetra-amelia, lahir tanpa lengan dan kaki.

Mungkin, dirinya hanya satu dari sekian pengagum Dzoel, juru foto profesional asal Banyuwangi yang memanfaatkan mulutnya demi menghasilkan bidikan estetik.

Baik Vujicic, Dzoel, maupun Miko. Mereka hanyalah manusia biasa yang kebetulan terlahir dengan keterbatasan fisik saja.

Kini, Miko menetap di Banda Aceh, masih mengejar mimpi punya studio fotografi sendiri. Seperti Dzoel, panutan yang pernah memberinya semangat tiga tahun lalu.

 

Simak video pilihan berikut ini:

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya