Liputan6.com, Malang - Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) menyetujui langkah-langkah pemerintah Amerika Serikat (AS) untuk mengenakan tarif impor terhadap barang-barang impor asal Eropa senilai USD 7,5 miliar.
Seketika, kekhawatiran tentang goyahnya ekonomi global pun kian semakin nyata. Dipastikan, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan terganggu imbas menangnya Amerika Serikat di WTO tersebut.
Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita mengaku risau atas perluasan tarif AS ke Eropa itu. Angka purchasing manager index (PMI) AS ikut merosot yang mengindikasikan ekonomi Amerika juga tengah mengalami kemunduran.
Baca Juga
Advertisement
"Itu yang tadi saya galau betul karena begitu meluas dan tadi saya coba teliti purchasing manager index (AS) itu terendah sejak krisis, artinya baik inventori pembelian maupun segala macam, saya nggak mau masuk policy-nya Amerika karena saya tak bisa ikut campur. Tetapi, dengan dikenakannya tarif semua itu, harga akan naik mereka di dalam negeri sendiri," jelas dia di Batu, Jawa Timur, Kamis Malam (3/10/2019).
Kata Enggar, dengan persoalan yang saat ini dihadapi, maka akan ada koreksi lagi terhadap pertumbuhan ekonomi global. Eropa pun akan ikut tertekan pertumbuhannya.
Sedangkan untuk Indonesia, kinerja ekspor dipastikan akan ikut terpengaruh dari aksi perluasan tarif ini. Pemerintah dinilai sudah cukup bagus jika berhasil menjaga ekspor di tingkat yang terbilang ideal.
"Memang idealnya ekspor kita harus naik, tapi yang penting kita nggak boleh terjun. Kalau kita terjun maka itu akan menjadi financial crisis (resesi) yang disebutkan itu akan terkena ke kita," tegas dia.
* Dapatkan pulsa gratis senilai Rp 5 juta dengan download aplikasi terbaru Liputan6.com di tautan ini.
Pemerintah Harus Serius Permudah Investasi untuk Hadapi Krisis Global
Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Hubungan Internasional Shinta Kamdani mengungkapkan, pengusaha pada dasarnya telah menyiapkan sejumlah antisipasi guna menghadapi ancaman resesi global.
Tetapi, kata dia, mereka juga butuh bantuan pemerintah dalam menyediakan kebijakan yang memantik iklim bisnis bagi pelaku ekonomi. Terutama melihat beberapa negara besar telah lebih dulu terjerembab di lubang resesi.
"Setidaknya untuk bisnis-bisnis yang berorientasi ekspor, yang memang bisa menjadi sangat rentan colapse bila terjadi krisis global dengan terus menerus melakukan efisiensi produksi dan berupaya mendiversifikasi pasar ekspor," tuturnya kepada Liputan6.com, Minggu (29/9/2019).
Baca Juga
"Hanya saja langkah ini tidak bisa maksimal karena secara umum tingkat efisiensi pelaku usaha sangat tergantung terhadap kebijakan-kebijakan yang mengikat kegiatan usaha di sektor masing-masing," lanjut dia.
Misalnya saja, sebagai eksportir, lanjut dia, pengusaha tidak bisa memangkas biaya pengurusan izin impor atas input produksi bila aturan impornya tetap sama. Maka perlu memperkecil risiko pada faktor ekonomi perusahaan yang paling rentan terkena krisis.
"Jadi memang kami betul-betul meminta agar Pemerintah untuk lebih serius melakukan efisiensi kebijakan agar punya antisipasi krisis global," tegasnya.
Hal serupa juga diungkapkan Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman. Menurutnya, saat ini memang masih banyak sejumlah peraturan perizinan yang tumpang tindih di tingkat pusat dan daerah.
"Jadi memang rencana Pemerintah untuk menyatukan banyaknya aturan lewat skema Omnibus Law sangat baik untuk pertumbuhan ekonomi, terutama daya tarik bagi investor," jelasnya.
Tonton Video Ini:
Advertisement