Liputan6.com, Irak - Ribuan demonstran bentrok dengan polisi huru-hara di ibu kota Irak dan seluruh daerah selatan pada Kamis 3 Oktober 2019. Protes massa yang memasuki hari ketiga ini menewaskan setidaknya 31 orang.
Massa dengan menggunakan truk, berkumpul untuk melakukan demo. Para demonstran ingin melampiaskan amarah mereka atas korupsi, pengangguran, dan layanan buruk dari pemerintahan Perdana Menteri Irak, Adel Abdel Mahdi.
Advertisement
Dengan berani, para pengunjuk rasa menentang jam malam yang mulai diberlakukan. Tak hanya itu, gas air mata dan peluru tajam juga tak membuat nyali mereka ciut, seperti dilansir timesofisrael.com.
Laporan kematian terbaru datang dari bagian selatan Kota Nasiriyah yang juga bagian selatan ibu kota Baghdad. Petugas medis menyebut setidaknya enam demonstran ditembak dan terbunuh saat aksi unjuk rasa anti-pemerintah bergulir.
* Dapatkan pulsa gratis senilai Rp 5 juta dengan download aplikasi terbaru Liputan6.com di tautan ini.
Demonstran Membeludak
Kerumunan membengkak jumlahnya memasuki senja di sekitar Kementreian Perminyakan dan Industri, Baghdad. Demonstran menyuarakan protes di simbol ibu kota, Lapangan Tahrir.
Salah seorang demonstran, Ali turut menyatakan sikap atas demo yang bergulir.
"Kami akan terus berjalan (berdemo) sampai pemerintah jatuh," kata Ali, seorang lulusan universitas yang menganggur.
Sebagian besar pengunjuk rasa membawa bendera berwarna hitam Irak.
Sementara beberapa lainnya mengibarkan bendera bertuliskan Hussein. Husein sendiri merupakan cucu Nabi Muhammad dan tokoh yang dihormati dalam Islam Syiah.
Polisi anti huru-hara serta pasukan tentara menembak ke arah tanah. Dengan menggunakan senjata otomatis yang terpasang di kendaraan militer. Namun, peluru memantul ke arah kerumunan.
Pengunjuk rasa terluka dilarikan ke rumah sakit menggunakan kendaraan kecil tuk-tuk.
Sementara itu, seorang demonstran, Abu Jaafar mengeluhkan aparat yang menembaki para pengunjuk rasa.
"Kenapa polisi menembak ke arah orang-orang Irak seperti mereka? Mereka menderita seperti kita," kata Jaafar.
"Mereka (polisi) seharusnya menolong dan melindungi kami," tambah Abu Jaafar.
Advertisement
Korban Berjatuhan, Pembatasan Akses Internet
Tiga hari dari demonstrasi besar yang terjadi telah merenggut lebih dari 30 jiwa. Termasuk dua petugas kepolisian meninggal, dan lebih dari 1.000 orang terluka.
Lebih dari separuh yang terbunuh dalam tiga hari belakangan terjadi di Nasiriyah.
Tak hanya itu, di sekitar daerah Amarah juga mengalami pertumpahan darah yang signifikan. Petugas medis dan sumber keamanan melaporkan empat demonstran ditembak mati pada Kamis 3 Oktober.
Begitu juga di daerah Diwaniyah, dua pengunjuk rasa dan seorang perwira polisi tewas. Imbasnya, pemerintah memberlakukan jam malam di wilayah tersebut.
Sementara itu, akses internet hampir mati. Para demonstran pada hari Kamis berjuang untuk berkomunikasi satu sama lain atau memposting cuplikan dari bentrokan terbaru.
Sekitar 75 persen wilayah Irak "offline" setelah operator jaringan besar "sengaja membatasi" akses, menurut monitor keamanan siber NetBlocks.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Uni Eropa, serta Inggris Raya meminta agar tenang. Sementara kelompok hak asasi Amnesty International mengecam tanggapan terhadap protes.
"Sangat memalukan bahwa pasukan keamanan Irak berkali-kali berurusan dengan pengunjuk rasa dengan kebrutalan menggunakan kekuatan mematikan dan tidak perlu," kata Lynn Maalouf perwakilan Amnesty Internasional.
Lynn mengatakan pemadaman internet adalah "tindakan kejam karena membungkam protes dari kamera dan mata dunia."
Penyebab Demo Besar Irak
Demonstrasi dimulai pada Selasa 1 Oktober 2019 di Baghdad. Namun, kemudian menyebar ke daerah selatan yang sebagian besar menganut Islam Syiah. Beberapa daerah di antaranya Provinsi Dhi Qar, Missan, Najaf, Basra, Wasit, hingga Babel.
Pemerintah sudah mulai memberlakukan jam malam di beberapa kota. Namun, pengunjuk rasa tetap membanjiri jalan-jalan. Sementara, wilayah Kurdi dan provinsi barat Sunni relatif tenang.
Keluhan menggemakan demonstrasi massa di selatan Irak sudah berlangsung lebih dari setahun yang lalu. Hal itu didorong oleh kekurangan air yang parah dan menyebabkan krisis kesehatan meluas.
Sejak itu, provinsi selatan menuduh pemerintah pusat gagal mengatasi kesenjangan infrastruktur. Terutama pada pengangguran kaum muda.
Kemarahan telah meningkat pada tingkat pengangguran kaum muda. Tercatat angka pengangguran capai 25 persen atau dua kali lipat dari tingkat keseluruhan, menurut Bank Dunia.
Ketegangan diperburuk oleh penutupan kantor-kantor pemerintah di Baghdad. Belum lagi seruan ulama, Moqtada al-Sadr untuk menghasut ”pemogokan umum” atau demonstrasi.
Sementara itu, PM Irak cenderung menyalahkan “agresor” atas tindak kekerasan dan kematian yang terjadi.
Padahal, PM Abdel berjanji untuk mereformasi lembaga-lembaga yang tidak efisien, memberantas korupsi dan memerangi pengangguran.
Namun, sepertinya janji-janjinya tidak terpenuhi. Mendorong para pengunjuk rasa ke ujung protes pada minggu ini.
Reporter: Hugo Dimas
Advertisement