Liputan6.com, Surabaya - Sesar aktif di Jawa terjadi peningkatan yang awalnya 81 pada 2015 menjadi 285 sesar aktif pada 2015. Sementara itu, Surabaya, Jawa Timur dilewati dua sesar yaitu Sesar Surabaya dan Waru yang bergerak dengan kecepatan 0,05 mm/tahun. Hal tersebut berpotensi menimbulkan gempa sebesar magnitude 6,5.
Plt Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Lukman Hakim menyampaikan hal itu saat diseminasi bertema SNI Bangunan Tahan Gempa dan Penelitian Gempa Kota Surabaya di Gedung Research Center ITS, Kamis, 3 Oktober 2019.
"Sesar aktif ini sangat berbahaya, sebab dapat membahayakan bangunan dan orang di dalamnya," ujar Lukman.
Hal ini, lanjutnya, semakin menimbulkan kekhawatiran mengingat peran Surabaya sebagai pusat regional dan nasional.
"Sebagai kota kedua terbesar di Indonesia yang berisikan 3 juta jiwa penduduk, maka diperlukan standarisasi dan penataan secara serius dalam mengurangi kerugian yang mungkin terjadi," ujar dia.
Baca Juga
Advertisement
Menindaklanjuti hal tersebut, penetapan SNI bangunan dan penataan ruang dianggap menjadi salah satu solusi utama mitigasi bencana gempa di Surabaya.
Ketua Laboratorium Beton dan Bahan Bangunan Departemen Teknik Sipil ITS Surabaya Priyo Suprobo menuturkan, Kementerian PUPR telah menyiapkan secara bersamaan perubahan empat peraturan, yang salah satunya adalah SNI Gempa pada 2018.
"Dengan adanya pembaharuan peta gempa pada tahun 2017 oleh PusGeN (Pusat Studi Gempa Nasional) sendiri, maka diperlukan adanya evaluasi kelayakan struktur pada bangunan maupun infrastruktur yang telah dibangun,” ujar Ketua Senat Akademik ITS yang akrab disapa Probo ini.
Nantinya, imbuh Probo, bangunan yang dianggap kurang sesuai dengan standar yang baru ini mengharuskan adanya rekayasa penguatan struktur bangunan lama.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini
Penataan Ruang Kota
Kepala Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota (PWK) ITS Adjie Pamungkas mengatakan, selain SNI, penataan ruang kota adalah salah satu kunci utama dari mitigasi awal bencana itu sendiri. “Namun kenyataannya, integrasi antara rencana tata ruang dan mitigasi bencana itu masih sangat rendah," tutur dia.
Penyebab dari rendahnya integrasi pada proses perencanaan ini, menurut Adjie, salah satunya adalah terfokusnya materi kebencanaan pada banjir dan kebakaran saja. Sementara, potensi kegempaan minim pembahasan.
Selain itu, orientasi pembangunan Surabaya juga masih pada membangun atau memajukan, sehingga isu risiko hanya menjadi sampingan. Dari sisi mitigasi bencana sendiri, pengurangan risiko bencana banyak difokuskan pada penyediaan sarana dan prasarana saja daripada aturan ruang.
Oleh karena itu, dosen yang juga merupakan peneliti dari PSKBI ini mengajukan ide pengembangan konsep integrasi produk perencanaan keruangan rendah risiko. "Salah satunya adalah menjadikan konsep manajemen risiko bencana sebagai visi dan misi dasar dalam kebijakan pembangunan," terangnya.
Area pola ruang sendiri, Adjie mengharapkan, sebisa mungkin menghindari area rawan bencana. Peta jalur evakuasi bencana dan infrastruktur kedaruratan juga dianggap sebagai salah satu fokusan yang harus diambil oleh pemerintah daerah dalam pengurangan dampak gempa itu sendiri.
"Jika dulu pembangunan hanya mengintegrasikan lingkungan, ekonomi dan sosial, maka sekarang sudah sepatutnya ditambahkan prinsip resiliensi,” tutur dia.
Sementara itu, Rektor ITS Mochamad Ashari berharap agar informasi dari seminar diseminasi terkait potensi bencana gempa dan standarisasi ini dapat diimplementasikan untuk mencegah jatuhnya korban jiwa. "Topik yang sangat krusial ini saya harap dapat menjadi pembelajaran untuk kita agar mempersiapkan diri sejak dini,” tegasnya mengingatkan.
Advertisement