Liputan6.com, California - Tepat delapan tahun lalu, seorang pendiri dari produk gawai paling terkenal di dunia tutup usia pada umur 56 tahun karena komplikasi dari kanker pankreas. Ia adalah Steve Jobs pendiri dari Apple.inc.
Apple adalah sebuah industri visioner yang merevolusi industri komputer, musik, dan komunikasi seluler dengan perangkat seperti Macintosh, iPod, iPhone, iPad, iWatch, dan lain-lain.
Advertisement
Dikutip dari History, Sabtu (5/10/2019), pria kelahirkan 24 Februari 1955, di San Francisco, California, merupakan putra dari Joanne Schieble dan Abdulfattah Jandali. Orangtuanya adalah seorang imigran Suriah, mereka mengadopsi Steve dari seorang bernama Paul Jobs.
Setelah lulus dari sekolah menengah di Cupertino, California, pada 1972, Steve kuliah di Reed College. Kampusnya adalah sebuah sekolah seni liberal di Portland, Oregon, ia berkuliah selama satu semester dan akhirnya putus di pertengahan jalan.
Ia kemudian bekerja singkat di sebuah perusahaan perintis video game, di Atari, California. Lalu dirinya melakukan perjalanan ke India dan mempelajari Buddhisme Zen.
Pada tahun 1976, Steve Jobs dan teman insinyur komputernya Stephen Wozniak, mendirikan Apple Computer di garasi rumah orangtuanya di Los Altos, California.
Pada 1977, Steve dan Stephen meluncurkan Apple II, yang kemudian jadi komputer pribadi populer pertama. Setelahnya, pada 1980-an Apple menjadi sebuah perusahaan publik, dan Steve pada saat itu yang berumur 20-an menjadi seorang multimiliuner.
Empat tahun kemudian, Apple debut Macintosh, salah satu komputer pribadi pertama yang menampilkan antarmuka pengguna grafis, yang memungkinkan orang untuk menavigasi dengan menunjuk dan mengklik mouse daripada mengetik perintah.
Bermasalah dengan Kesehatan di Atas Puncak Kesuksesannya
Setelah ia berhasil meninggikan nama Apple, Steve meninggalkan perusahaan itu karena masalah perebutan kekuasaan dengan dewan direksi Apple. Pada tahun 1985, ia mendirikan NeXT, sebuah bisnis yang mengembangkan komputer berkinerja tinggi.
Pada akhir 1996, Apple mengalami kesulitan tanpa kehadiran Steve, yang akhirnya Apple membeli NeXT dan mempekerjakan Steve sebagai seorang penasihat. Pada tahun berikutnya, ia diangkat sebagai CEO sementara untuk Apple.inc.
Apple yang saat itu hampir bangkrut, saat dipimpin oleh Steve, perusahaan ini menjadi salah satu perusahaan paling berharga di dunia. Ini karena kemampuan Steve yang sangat perfeksionis, dan karismatik.
Mulai dari 2001, Apple memperkenalkan serangkaian perangkat digital inovatif, termasuk pemutar musik portabel iPod pada tahun 2001 tersebut, iPhone pada 2007 dan komputer tablet iPad pada 2010, yang menjadi bagian dari kehidupan modern sehari-hari.
Steve sangat sukses dengan Apple, tapi tidak dengan kondisinya. Ia memiliki serangkaian masalah medis, termasuk dengan operasi pada 2004 untuk pengangkatan tumor pankreas dan juga transplantasi hati pada tahun 2009. Steve terus memimpin Apple hingga 24 Agustus 2011, hingga akhirnya ia memundurkan diri sebagai kepala eksekutif perusahaan.
Enam minggu kemudian, dia menghembuskan nafas terakhir di rumahnya di wilayah Palo Alto, California. Ia meninggalkan empat anak dan kekayaan bersih dengan nilai sekitar $7 miliar atau setara dengan sekitar 99 triliun rupiah.
Sejarah lain pada tanggal yang sama, yaitu pada 5 Oktober 1994, Swiss geger lantaran penemuan 48 mayat di kawasan pedesaan. Sebanyak 23 di antaranya ditemukan di ruang bawah tanah sebuah rumah misterius di Cheiry, 48 mil sebelah timur laut, Jenewa. Sedangkan 25 jasad lainnya ditemukan di rumah yang terbakar di kawasan Granges-sur-Salvan, 47 mil sebelah timur Jenewa, dekat perbatasan Italia.
Penemuan mayat ini diyakini terkait ritual bunuh diri massal sekte 'sesat' Solar Temple yang didirikan oleh Dr Luc Jouret dan Joseph di Mambro pada tahun 1984. Sekte Solar Temple diduga kuat terkait dengan kelompok Ksatria Templar.
Di tanggal yang sama pada tahun 1948, dunia mencatat satu gempa terdahsyat yang pernah terjadi di Bumi.
Berdasarkan informasi yang dihimpun dari berbagai sumber, gempa bumi berkekuatan 7,3 SR itu terjadi di Kota Ashgabat, Turkmenistan.
Reporter: Windy Febriana
Advertisement