Liputan6.com, Jakarta - Fenomena penjualan baju bekas impor (ballpress) masih banyak merajai penjualan pakaian di Indonesia. Baju bekas impor tersebut sangat banyak diminati, selain karena murah juga terdiri dari berbagai merek ternama.
Kepala Seksi Tempat Penimbunan Berikat Lainnya Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan, Irwan Mashud mengatakan, impor baju bekas umumnya datang dari Malaysia dan Singapura. Dia menegaskan, impor baju bekas umumnya dilarang pemerintah.
Baca Juga
Advertisement
"Ballpres itu banyaknya dari Malaysia dan Singapura. Baju bekas dari luar negeri itu dilarang, karena akan merusak industri kita juga yang di dalam," ujar Irwan saat ditemui di Sunter, Jakarta, Jumat (4/10/2019).
Irwan melanjutkan, alasan pemerintah melarang impor baju impor karena rawan membawa penyakit ke dalam negeri. Selain itu, impor pakaian bekas juga membuat industri dalam negeri tertekan.
"Dari sisi ekonomi tidak terlalu besar, tetapi dampaknya ke kesehatan. Kita tidak tahu dia bawa penyakit atau seperti apa. Satu dari sisi merusak ekonomi dan kesehatan. Karena yang tertekan itu adalah industri," jelasnya.
* Dapatkan pulsa gratis senilai Rp 5 juta dengan download aplikasi terbaru Liputan6.com di tautan ini.
Tindakan
Pada tahun ini, DJBC sudah menindak 311 kasus impor pakaian bekas turun dari tahun sebelumnya sebanyak 349 kasus. Sementara itu, nilai impornya mencapai Rp 42 miliar turun dari tahun sebelumnya sebesar Rp 49 miliar.
Sementara itu, Kepala Subdirektorat Jenderal (Kasubdit) Humas Bea Cukai Kementerian Keuangan Deni Surjantoro mengatakan, nilai impor baju bekas paling besar dari Malaysia sekitar Rp 4,6 triliun. Nilai tersebut hasil penindakan tahun 2017.
Dia menambahkan, pengendalian impor pakaian bekas tersebut sama seperti menangani maling. Sebab, tidak pernah tuntas hingga ke akar.
"Sebenarnya kamu pertanyaannya kita nangkep maling tapi kenapa masih banyak malingnya? iya kan. Ya kita pantau terus. Kalau di Pasar Senen itu yang jual, bukan yang impor, jadi bukan kewenangan kita," tandasnya.
Reporter: Anggun P. Situmorang
Sumber: Merdeka.com
Advertisement