Liputan6.com, Riyadh - Suatu pagi pada Mei 2019 di Riyadh; Manahel Otaibi (25) yang baru saja kembali ke Arab Saudi setelah menyelesaikan studinya di China, berpakaian untuk pergi ke gym.
Dia mengenakan celana jins dan T-shirt, meraih tasnya dan keluar. Abaya-nya, kain serba hitam yang merupakan pakaian adat untuk perempuan di Arab Saudi, ia tinggal di rumah.
Hal itu mungkin tampak sepele, tetapi bagi Otaibi, yang selama bertahun-tahun diwajibkan mengenakan abaya, itu tidak lain adalah kemenangan pribadi, demikian seperti dikutip dari the Los Angeles Times.
Sejumlah perempuan Arab Saudi saat ini mulai memilih mengenakan pakaian yang, jika mereka kenakan beberapa tahun lalu, bisa membuat mereka bermasalah dengan polisi moral lokal.
Baca Juga
Advertisement
Banyak kaum Hawa yang meninggalkan abaya hitam polos tradisional mereka --sebuah gamis longgar yang menutupi seluruh tubuh yang wajib dipakai semua perempuan Arab Saudi di depan umum demi mematuhi norma kesusilaan lokal.
Sebagai gantinya, mereka memilih alternatif lain bernada 'konservatif-kreatif-kekinian': seperti baju parasut sporty, jubah dengan potongan modern-bernuansa-bisnis, dan bahkan kimono --Donna Abdulaziz melaporkan untuk the Wall Street Journal, disadur pada Minggu (6/10/2019).
Atau seperti Manahel Otaibi, benar-benar 'cuek' berpakaian sebagaimana perempuan berbusana dengan sopan pada umumnya.
Perubahan gaya berbusana di kalangan perempuan muda Saudi telah menarik gerutu dari beberapa kelompok konservatif, termasuk perempuan yang sebagian besar dari mereka masih memakai abaya hitam tradisional.
Di luar kota yang relatif kosmopolitan seperti Jeddah atau Riyadh, perempuan masih bisa menghadapi persekusi karena melanggar aturan berpakaian yang berakar dalam tradisi Saudi.
Tetapi beberapa perempuan Saudi mengatakan mereka merasakan norma budaya berubah, sejak Putra Mahkota dan pemimpin de facto Arab Saudi, Pangeran Mohammed bin Salman bergerak untuk membuka masyarakat konservatif ini ke dunia luar dan secara umum menjadikannya 'sedikit' lebih liberal ketimbang Saudi beberapa dekade silam.
Perempuan telah diizinkan mengemudi di jalan-jalan Saudi, jogging di jalan-jalan umum di kota Saudi yang kosmopolitan, dan bekerja di pekerjaan yang dulu disediakan hanya untuk pria, seperti militer dan polisi.
Soal berpakaian abaya, memang tidak ada hukum yang mengatur dalam undang-undang Saudi. Akan tetapi, pada praktiknya, persekusi berlaku umum.
Namun, dalam sebuah wawancara dengan CBS News pada 2018 silam, Pangeran Salman mengatakan bahwa "baik laki-laki maupun perempuan harus berpakaian sopan ... tetapi Islam tidak secara partikular mewajibkan (perempuan) harus mengenakan abaya atau mengenakan penutup kepala," ujarnya seperti dikutip dari the Telegraph.
"Keputusan sepenuhnya menjadi tanggung jawab perempuan untuk memutuskan jenis pakaian sopan dan terhormat apa yang ia pilih untuk dipakai," lanjut sang putra mahkota Arab Saudi.
* Dapatkan pulsa gratis senilai Rp 5 juta dengan download aplikasi terbaru Liputan6.com di tautan ini.
Simak video pilihan berikut:
Mensubtitusi Abaya Hitam Tradisional
Adalah hal natural, kata sejumlah perempuan Saudi, untuk menemukan pengganti abaya yang bergaya atau praktis ketika mereka mulai menegaskan diri mereka di ruang publik yang lama tertutup bagi ekspresi identitas dan kepribadian feminin.
Sarah Taibah, aktris berusia 30 tahun di Jeddah, mengatakan dia mulai mengenakan cardigan panjang atau kimono sebagai pengganti abaya sekitar empat tahun lalu.
Dia telah merasa nyaman dalam melanggar adat-istiadat Arab tersebut dan mengenakan mantel musim gugur kuning selutut dengan celah di samping ketika dia ber-skateboard untuk pergi bekerja.
"Saya merasa, itu menjadi lebih dapat diterima secara sosial dan orang-orang membuka diri," kata Taibah tentang mengenakan sesuatu di luar abaya.
Pada sebuah konser musik di Jeddah baru-baru ini, para perempuan muda duduk di atas bahu pria dan mengenakan abaya yang longgar dan berwarna, dipakai secara terbuka sehingga pakaian mereka di baliknya terlihat. Video-video itu beredar luas di media sosial.
Doha Nahas, perencana acara berusia 30 tahun, pernah dikecam karena mengenakan pakaian selain abaya hitam, seperti kimono cetak bunga fuchsia-nya. Perempuan yang konservatif akan mendekatinya di mal dan memperingatkannya untuk berpakaian lebih sederhana.
"Sekarang, tidak ada lagi yang melihat (dan kemudian mencerca)-mu," kata Nahas. Dia belum membeli abaya dalam beberapa tahun, lebih suka cardigan panjang atau kimono dari merek Eropa seperti Zara atau Topshop.
"Faktanya, lebih banyak perempuan justru mendatangi saya untuk bertanya dari mana saya mendapatkan kimono ini," katanya.
Nahas dan lainnya mengatakan mereka merasa mengalami sebuah pemberdayaan (empowered) ketika Pangeran Bin Salman mengatakan pada 2018 bahwa abaya tidak wajib di bawah hukum Saudi atau Islam. Dia mengatakan perempuan harus "mengenakan pakaian yang sopan dan terhormat," sebagaimana laki-laki juga diwajibkan akan hal itu.
Laki-laki Saudi umumnya mengenakan tunik sepanjang pergelangan kaki yang menutupi lengan mereka. Tapi itu opsional, dan mereka bisa berpakaian sesuai keinginan mereka selama mereka menutupi perut (pusar) dan hingga di bawah lutut.
Advertisement
Tradisi Impor Sejak Kesultanan Ottoman, Kini Berubah...
Perempuan Saudi telah mengenakan abaya sejak sebelum kerajaan itu disatukan pada 1932, sebuah tradisi yang diimpor dari Turki pada masa pemerintahan Kekaisaran Ottoman.
Mereka telah lama beradaptasi untuk gaya hidup mereka sendiri, kata Khadija Nader, seorang dosen di Universitas Umm Al Qura di Mekah yang telah menulis tentang sejarah pakaian tradisional Saudi.
Pada awal 2000-an, perempuan Saudi mulai mengenakan abaya dengan warna netral seperti krem. Pada 2010, abaya biru, merah anggur, dan hijau muncul, dengan potongan yang lebih ramping (slim-fit) dan dihias dengan ikat pinggang yang semakin diterima secara sosial.
Momen titik balik datang pada 2016, ketika Raja Salman mempreteli kewenangan polisi agama dari kekuatan penangkapan, yang secara efektif menghilangkan 'momok' menakutkan dari lembaga yang kerap menegakkan norma berpakaian bagi masyarakat Saudi.
Hampir segera, perempuan menjadi lebih nyaman mengenakan jilbab mereka dengan longgar atau tidak sama sekali, sementara yang lain mulai bereksperimen dengan jaket, kimono dan abaya yang menunjukkan pergelangan kaki dan betis.
Pelunturan Tradisi?
Abaya tradisional tetap menjadi pilar norma budaya bagi perempuan. Di sebuah festival musim panas di Taif, sebuah kota di puncak gunung yang konservatif yang terletak 100 mil jauhnya dari Jeddah, hampir semua perempuan mengenakan abaya tradisional, banyak di antaranya dengan penutup wajah yang disebut niqab.
"Saya tidak percaya mengenakan abaya berwarna adalah hal yang benar. Mereka mencolok dan tidak pantas," kata Maram Mohammad, 27, yang menghadiri festival bersama keluarganya. "Abaya hitam dengan penutup kepala (niqab) dan wajahnya (burqa) mewakili identitas Saudi, dan sangat menyedihkan bahwa kami kehilangan itu."
Marka antara abaya kreatif dan yang tidak senonoh tetap kabur, tetapi pemerintah melonggarkan aturan berpakaiannya yang ketat dan menjauh dari abaya tradisional.
Setelah mengumumkan akan menawarkan visa kepada wisatawan untuk pertama kalinya, pemerintah mengeluarkan pedoman kesopanan publik baru yang mengatakan bahwa "perempuan bebas memilih pakaian yang sopan."
Persekusi Masih Ada
Definisi kesopanan publik tetap terbuka untuk interpretasi pribadi otoritas lokal. Beberapa menerapkan secara longgar, namun yang ketat, masih ada.
Baru-baru ini, seorang reporter televisi menghadapi reaksi di media sosial dan berujung pada investigasi pemerintah daerah di Saudi ketika dia mengenakan abaya putih yang terbuka di tengahnya, memperlihatkan celana jins ketat. Dia melarikan diri dari negara itu, menurut laporan media setempat.
Para penguasa kerajaan yang sangat konservatif ini telah memenjarakan dan menyiksa para aktivis hak-hak perempuan, The Wall Street Journal melaporkan, mengutip keluarga para tahanan. Tetapi pemerintah Saudi secara terbuka mendukung apa yang disebutnya inisiatif pemberdayaan perempuan, dan baru-baru ini mengizinkan perempuan dewasa untuk bepergian dengan bebas tanpa izin dari wali laki-laki.
Beberapa merek abaya melayani semakin banyak perempuan di dunia kerja Saudi. Tingkat partisipasi tenaga kerja kaum Hawa naik hampir 9% pada 2018, kata pemerintah.
Orange Blossom, merek di Jeddah dan Riyadh, mendesain abaya modern yang menampilkan kerah, kancing, saku, dan lebih pendek. Zeina Adra, pendiri dan perancang merek, mengatakan penjualan naik 30% tahun ini dibandingkan dengan tahun lalu, dengan abaya modern sepanjang pergelangan kaki dan betis mewakili 85% dari total penjualan.
Manahel Otaibi masih mengenakan abaya untuk bekerja, dan meskipun beberapa perempuan telah bergabung dengan mereka dalam berbusana abaya modern, ia yakin bahwa pada akhirnya, pemerintah perlu menghapus ambiguitas untuk apa yang dia sebut sebagai "interpretasi pribadi."
"Jika peraturan dikeluarkan tentang hal itu, itu akan membuat segalanya lebih mudah," katanya.
Namun demikian, tidak ada yang berencana untuk kembali mengenakan abaya.
"Yang saya tahu adalah bahwa saya berhasil menunjukkan kebenaran, bahwa tidak ada hukum yang mengkriminalisasikan seseorang karena mengenakan sesuatu selama pakaian itu sopan," kata Otaibi.
"Pada akhirnya aku tidak melakukan kesalahan."
Advertisement