Liputan6.com, Banyuwangi Tergerak rasa kemanusiaan merawat ibu hamil, Tantin Dwi Hastuti (44), warga Desa Krajan, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur rela keluar masuk hutan. Ia harus menempuh medan yang sulit. Medan berbatu dan hanya bisa dilalui mobil truk dengan ban besar menjadi tantangan yang harus dihadapi.
Dalam hati Tantin, satu tekad yang kuat bahwa ibu hamil yang tinggal jauh di pelosok hutan bisa memeroleh layanan kesehatan dengan baik.
Advertisement
Kesehatan ibu hamil dan janin yang dikandungnya terjaga sehat. Jika ada masalah selama hamil, mereka pun bisa menerima perawatan segera. Itulah yang diharapkan Tantin.
"Saya ikhlas melakukan itu ya kembali pada rasa kemanusiaan. Kita sama-sama perempuan pernah merasakan mau melahirkan seperti apa. Kita saja orang yang tidak tinggal di pedalaman aja bisa merasa sakit pas mau melahirkan. Apalagi (mereka) yang berada di wilayah hutan," tutur Tantin saat berbincang dengan Health Liputan6.com di Puskesmas Sempu, Kabupaten Banyuwangi, ditulis Senin (7/10/2019).
"Kita tidak dapat membayangkan, bagaimana mereka melahirkan di sana, yang mana tidak tertangani posko kesehatan. Ya, dengan demikian muncul rasa saling menolong sesama."
Memberikan layanan kepada ibu hamil yang ada di pedalaman hutan, Tantin termasuk salah satu kader Laskar Sakina (Stop Kematian Ibu dan Anak). Laskar Sakina merupakan inovasi dari Puskesmas Sempu untuk melayani ibu hamil, khususnya yang tinggal jauh di pelosok dan jauh terjangkau fasilitas kesehatan. Bahkan jauh dari puskesmas setempat.
"Kami ke sana naik mobil. Harus mobil truk karena medannya sangat berbatu, belum ada aspal sama sekali. Belum lagi kalau masuk hutan pinus," lanjut Tantin.
* Dapatkan pulsa gratis senilai Rp 5 juta dengan download aplikasi terbaru Liputan6.com di tautan ini.
Simak Video Menarik Berikut Ini:
Terima Telepon Tengah Malam
Selama menjalankan tugas, tak jarang Tantin juga menerima telepon pada tengah malam. Telepon yang melaporkan, kalau ada ibu hamil yang hendak melahirkan. Memang, kata Tantin, waktu melahirkan bisa kapan saja terjadi, bahkan tengah malam sekalipun.
"Bayangkan, kadang tengah malam ada telepon dari pedalaman hutan, bilangnya, 'Ibu ini mau melahirkan. Padahal, jarak dari rumah ke posko kesehatan terdekat itu jauh sekali," ujar Tantin dengan raut wajah cemas.
"Jadi, kami minta bantuan untuk menghubungkan dengan pihak puskesmas sana. Agar segera ditindaklanjuti ibu yang mau melahirkan tersebut."
Bukan hanya telepon tengah malam, Tantin pernah mengalami sendiri pengalaman pulang malam hari usai melayani ibu yang baru saja melahirkan.
"Pernah terjadi di Desa Jambewangi, ada ibu berisiko tinggi dengan tubuh kerdil. Dia harus dioperasi caesar saat melahirkan. Nah, saya dan tim mendampingi dia selama masa menyusui. Beritahu soal Air Susu Ibu (ASI) dan gizi," cerita Tantin, yang bergabung jadi kader Laskar Sakina sejak tahun 2014.
"Saya baru pulang itu malam. Ya, pernah sampai jam 9 malam. Lokasi penjemputan tepatnya di puskesmas daerah Seling. Waktu itu, kondisinya gerimis dan gelap karena harus melewati hutan."
Di daerah Seling, ia juga berkali-kali merawat pasien. Ketika ditanya berapa pasien sehari yang harus dilayani, Tantin menjawab, tergantung laporan yang masuk, apakah ada ibu hamil atau tidak di sana.
Advertisement
Dijemput ke Rumah Singgah
Untuk pemantauan, ibu hamil yang menjelang persalinan akan dibawa ke rumah singgah yang berada di tepi hutan. Rumah singgah ini layaknya posko kesehatan bagi ibu hamil yang memerlukan perawatan dan pengobatan.
Lokasi rumah singgah terbilang mudah dijangkau.
"Kami ke sana melihat kondisi ibu hamil. Kalau memang sudah waktunya melahirkan ya dibawa turun (ke rumah singgah)," tutur Tantin yang sukarela menolong para perempuan untuk melahirkan.
Cakupan pemantauan ibu hamil oleh Laskar Sakina Puskesmas Sempu meliputi tiga desa, yaitu Desa Jambewangi yang berada di daerah pinggiran, Seling, dan Sidomulyo. Desa Jambewangi termasuk area rawan karena jauh dari fasilitas kesehatan.
Oleh karena itu, rumah singgah untuk ibu hamil sangat bermanfaat bagi ibu hamil yang punya risiko tinggi. Misal, hamil di atas usia 35 tahun dan hamil muda di bawah 19 tahun.
"Di rumah singgah ada bidan. Kalau ada ibu hamil yang mau melahirkan akan dijemput ke rumah singgah. Setiap kali keluar masuk hutan, kami ditemani bhabinkamtibmas (Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat)," Tantin menerangkan.
Dari Puskesmas Sempu sendiri sudah disiapkan ambulans. Kader Sakina tinggal telpon jika ada pasien yang ingin melahirkan dan langsung sigap dijemput."
Jauh-jauh Datang Hadapi Penolakan
Tantin menyampaikan suka duka menjadi kader Laskar Sakina. Ia lebih banyak merasakan kesenangan karena bisa saling berbagi pengetahuan kehamilan. "Mudah-mudahan apa yang saya lakukan ini, nanti dibalas sama Allah SWT," ucapnya dengan nada haru.
Meski mengaku senang, ia juga pernah ditolak saat tiba ke rumah salah satu ibu hamil di pedalaman hutan. Ibu hamil yang akan melahirkan tersebut tidak diizinkan orangtuanya melahirkan di rumah singgah.
"Waktu itu datang ke rumah ibu hamil, tepatnya di tengah hutan. Ibu hamil itu masih berusia 16 tahun. Awalnya, tidak boleh sama orangtuanya turun ke posko (rumah singgah). Dia sendiri (ibu hamil) juga tidak mau. Alasannya, orang hamil kalau tidur di mana-mana (di tempat asing) tidak nyaman. Dia maunya di rumah," kenang Tantin.
Setelah dibujuk dan diberi tahu soal bahaya ibu hamil bila melahirkan di rumah sendiri. Tidak ada tenaga kesehatan dan obat-obatan tidak tersedia. Akhirnya, keluarga dan ibu hamilnya sendiri sepakat dirawat di rumah singgah.
"Semalam di rumah singgah, dia (ibu hamil) menangis. Karena merasa tidak nyaman. Katanya, enak tidur di rumah sendiri. Tapi kami sebagai Laskar Sakina selalu mendampingi, menjenguk, menunggu, dan terus menemaninya. Sampai dia melahirkan, lahirannya operasi caesar," Tanting menuturkan.
Advertisement
Ikhlas bila Tak Dibayar
Perjuangan Laskar Sakina saat pertama kali berdiri juga susah payah. Ini mungkin karena kadernya minim pada waktu Tantin bergabung (2014). Butuh pengorbanan dan kesabaran memberikan penjelasan kepada ibu hamil dan keluargan di pedalaman.
Capek atau tidak, Bu keluar masuk hutan? Tanya saya.
Sambil tertawa, Tantin berkata, 'Kalau capek ya ada, tapi kembali lagi ke rasa kemanusiaan tadi. Saya melakukan ini dengan niat yang ikhlas. Saya memang senang membantu, tidak dibayar juga tetap mau. Karena jiwa saya sudah seperti itu."
Ia melanjutkan, "Dukanya sih tidak seberapa sebetulnya. Kami kan ada grup juga. Jadi, bisa saling sharing (berbagi) dan tukar pengalaman," tutup Tantin mengakhiri obrolan kami pada siang hari yang cukup terik.