Liputan6.com, New Delhi - Perdana menteri India dan Bangladesh sepakat tentang perlunya upaya yang lebih besar untuk memfasilitasi pemulangan (repatriasi) secara aman ratusan ribu pengungsi Rohingya. Para pengungsi di Bangladesh itu merupakan mereka yang telah melarikan diri dari kekerasan di Myanmar.
Hal itu disampaikan dalam sebuah pernyataan bersama ketika PM India Narendra Modi menjamu PM Sheikh Hasina di Delhi, Sabtu 5 Oktober 2019.
Advertisement
Upaya yang lebih besar itu mencakup peningkatan keamanan dan kondisi sosial ekonomi di negara bagian Rakhine Myanmar, kata kedua PM, sebagaimana dikutip oleh Voice of America, Senin (7/10/2019).
Sementara itu, India menekankan akan memberikan bantuan kemanusiaan tambahan untuk membantu para pengungsi yang tinggal di kamp-kamp di Bangladesh, menurut pernyataan itu.
Dalam apa yang telah menjadi krisis pengungsi terbesar di Asia dalam beberapa dekade, sekitar 700.000 Muslim Rohingya telah berlindung di Bangladesh sejak Agustus 2017.
Myanmar dan Bangladesh telah menyepakati proses repatriasi pengungsi ke Rakhine secara sukarela, aman dan bermartabat. Namun, Dhaka menuduh bahwa Naypyidaw tidak secara penuh berkomitmen pada kesepakatan itu, terutama dalam memberikan jaminan keamanan bagi para pengungsi setibanya mereka di Rakhine.
Di sisi lain, pengungsi Rohingya mengaku urung untuk kembali ke Rakhine, menyebut bahwa status kewarganegaraan yang mereka pinta kepada Myanmar sejak beberapa dekade silam tetap tidak akan dipenuhi.
Simak video pilihan berikut:
Gelombang Repatriasi Pertama Gagal
Bulan lalu, upaya kedua untuk mulai memulangkan pengungsi Rohingya gagal, setelah tak satu pun dari 3.450 orang yang disetujui oleh Myanmar untuk kembali setuju untuk melakukannya. Mereka mengutip kurangnya akuntabilitas atas kekejaman yang dilakukan pada 2017, dan ketidakpastian apakah mereka akan mendapatkan kebebasan bergerak atau kewarganegaraan.
Myanmar menyalahkan Bangladesh, dan mengatakan siap menerima sejumlah besar pengungsi yang kembali.
Tetapi, para pejabat tinggi Myanmar masih mengidentifikasi orang Rohingya sebagai orang Bengali --sebuah pendeskripsian diskriminatif yang telah lama mengakar di kalangan pemerintahan Myanmar.
Sebutan itu mengidentifikasi orang Rohingya sebagai etnis imigran ilegal dari wilayah Bengal selama 70 tahun terakhir. Namun, banyak aktivis dan pakar geneolog etnis menyebut bahwa Rohingya merupakan salah satu penduduk asli Burma.
Penyebutan Bengali yang masih lestari adalah satu faktor yang memicu ketidakpercayaan pengungsi Rohingya untuk kembali. Alih-alih mendapat hak atas status kewarganegaraan, mereka justru cemas akan kembali diperlakukan secara diskriminatif.
Di sisi lain, Myanmar bersedia memberikan apa yang disebutnya sebagai Kartu Verifikasi Nasional, yang dikatakan bisa menjadi langkah menuju kewarganegaraan. Tetapi kebanyakan orang Rohingya menolak kartu-kartu ini karena mereka akan diminta untuk mengidentifikasi diri mereka sebagai orang Bengali.
Advertisement