Liputan6.com, Jakarta - Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Lembong menegaskan pentingnya pembangunan infrastruktur yang tidak tergantung pada Anggaran Pendapatan dan Belanja negara (APBN). Langkah ini harus dilakukan mengingat realisasi penerimaan negara yang tak sesuai dengan target.
"Kondisi APBN cukup ketat. Per hari ini kelihatannya outlook untuk APBN 2019 itu kita mungkin kepeleset dari dari segi target penghasilan pajak hingga Rp 200 triliun," kata dia, di Kantor BKPM, Jakarta, Senin (7/10/2019).
Melesetnya penerimaan pajak, jelas dia, tentu disebabkan menurunnya kondisi perekonomian global. Hal tersebut tentu memberikan tantangan tersendiri.
Baca Juga
Advertisement
"Ini tentunya tidak terlepas dari kondisi ekonomi global yang juga cenderung melamban," jelas dia.
Menghadapi tantangan ini, lanjut Thomas, tentu pembangunan infrastruktur harus diupayakan tidak tergantung pada APBN. "Tapi poinnya kita sejauh mungkin musti mulai harus bergeser dari ketergantungan berlebih kepada APBN," ujarnya.
Salah satu langkah nyata yang dilakukan pemerintah, jelas Thomas, yakni dengan menjalankan skema Kerja sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) dalam pembangunan infrastruktur.
"Untuk mencoba membuat terobosan untuk meng-KPBU-kan proyek Bandara Singkawang ini," tandasnya.
Reporter: Wilfridus Setu Embu
Sumber: Merdeka.com
* Dapatkan pulsa gratis senilai Rp 5 juta dengan download aplikasi terbaru Liputan6.com di tautan ini.
Penerimaan Pajak Semester I 2019 Melempem, Ini Biang Keroknya
Sebelumnya, Kementerian Keuangan mencatat penerimaan pajak semester I 2019 sebesar Rp 603,34 triliun. Jumlah tersebut hanya tumbuh 3,74 persen jika dibanding periode yang sama di 2018.
Meskipun tercatat ada pertumbuhan secara volume penerimaan, tapi pertumbuhan tersebut lebih rendah jika dibanding dengan kinerja penerimaan pada 2018 yang berhasil naik 13,9 persen.
BACA JUGA
Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Robert Pakpahan menjelaskan, terdapat beberapa jenis pajak utama mengalami tekanan pada semester I 2019. Misalnya PPh 22 impor, hanya tumbuh 2,3 persen. Angka ini jauh lebih rendah dibanding 2018 yang tumbuh 28 persen.
Selanjutnya, lanjut Robert, ada PPh Badan yang hanya tumbuh 3,4 persen. Angka ini lebih rendah dari pertumbuhan tahun lalu sebesar 23,8 Persen.
"Kemungkinan harga jual barangnya turun. Sebagian dari para korporasi ini sudah minta penyesuaian ke kami. Kemungkinan besar dipengaruhi harga-harga jual produk mereka," kata Robert, dalam Media Gathering, di Bali, pada Jumat 2 Agustus 2019.
Advertisement
Secara Sektoral
Jika menilik berdasarkan sektor, maka penerimaan pajak dari sektor pertambangan dan industri pengolahan yang mengalami koreksi paling besar.
Jika pada periode yang sama tahun lalu sektor pertambangan tumbuh tumbuh 80,3 persen, maka tahun ini sektor tersebut tumbuh minus 14 persen. Sementara industri pengolahan terkoreksi 2,6 persen. "Faktor utama yang menyebabkan kontraksi sektoral adalah penurunan harga komoditas tambang di pasar global," jelas dia.
"Selain itu, faktor restitusi yang mencapai 11 persen. Tekanan terbesar dihadapi oleh dua subsektor utama yaitu pertambangan batu bara dan bijih logam," imbuh dia.
Sedangkan kinerja penerimaan dari sektor jasa transportasi dan pergudangan serta jasa keuangan, ujar dia, tumbuh lebih baik dibanding 2018. Pertumbuhan sektor jasa transportasi bahkan lebih laju 13 persen dibanding tahun lalu.
Dia mengungkapkan, perlambatan ekonomi global memang masih menjadi beban yang tak mampu dibendung pasar komoditas batu bara internasional. Tren penurunan harga batu bara pun masih berlanjut di tahun ini.