Ini Deretan Alasan Penentuan Batas Maritim Butuh Ratusan Tahun

Sari segi objektif bisa terjadi masalah teknis seperti kondisi geografis area yang berubah.

oleh Athika Rahma diperbarui 08 Okt 2019, 14:35 WIB
Mercusuar Tanjung Kalian. (dok. pinterest.com/Novi Thedora)

Liputan6.com, Jakarta - Pelaksana Tugas Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman (Kemenko Maritim) Agung Kuswandono menyatakan, menyelesaikan satu perjanjian batas maritim butuh waktu yang lama. Hal itu dipengaruhi oleh beberapa faktor.

Dalam acara Focus Group Discussion Delimitasi Batas Maritim di Jakarta, Selasa (08/10/2019), Guru Besar Hukum Internasional Undip, Prof. Dr. Eddy Pratomo menyatakan ada beberapa faktor penghambat penyelesaian perjanjian batas maritim antar negara.

Pertama, dari segi objektif bisa terjadi masalah teknis seperti kondisi geografis area yang berubah.

"Di Indonesia, kita punya daerah yang batas daratnya ditentukan dari pasang surutnya air laut, yaitu Kabupaten Nunukan. Kamar tidurnya bisa ada di Indonesia, sementara dapurnya ada di Malaysia. Itu juga jadi pertimbangan," ujar Eddy.

Selain itu, kondisi internal suatu negara juga berpengaruh, misalnya terdapat pergantian pemimpin atau kebijakan. Lalu, adanya perbedaan terjemahan aspek teknis, misalnya tata cara mengukur garis tengah (median line) atau perbedaan prinsip batas maritim antar negara.

"Indonesia sendiri menganut prinsip 2 garis, yaitu garis Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan garis landasan kontinental (LK) yang berbeda. Tapi, sebagian negara tetangga menganut prinsip satu garis, jadi ZEE dan LK sama. Ini juga bikin bentrok," lanjutnya.

Meskipun berbeda, penerapan prinsip ini dinilai sesuai dengan hukum laut UNCLOS (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut).

"Isinya, kan, berbeda, ZEE isinya laut, ikan-ikanan dan yang ada di dalam laut, sedangkan LK kan minyak bumi, hasil tambang. Tentu harusnya beda (batas garisnya)" jelas Eddy.

Tak hanya itu, perbedaan mandat (dari Presiden), perbedaan sifat dan perilaku hingga suasana hati negosiator dari sisi subjektif saat berunding juga turut berpengaruh.

"Oleh karenanya, saat berunding, negosiator harus bisa menjernihkan pikiran dan fokus pada solusi dengan sebaik-baiknya," tutup Eddy.


Negosiasi Batas Maritim dengan Negara Tetangga Butuh Ratusan Tahun

Kapal perang KRI Bung Tomo 357 bersandar di Dermaga Sunda Pondok Dayung, Jakarta, Jumat (13/4). Koarmatim alih bina kapal perang KRI Bung Tomo 357 dan KRI Jhon Lie 358 untuk memperkuat jajaran satuan kapal Eskorta Koarmabar. (Merdeka.com/Imam Buhori)

Plt Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman (Kemenko Maritim) Agung Kuswandono menyatakan, penentuan batas maritim Indonesia dengan negara-negara tetangga harus segera dilakukan.

Pasalnya, bukan hanya sektor ekonomi saja yang terdampak, tapi juga kedaulatan dan ketahanan negara. Namun, penentuan batas maritim juga membutuhkan waktu yang tidak sebentar.

"Negosiasi batas maritim itu, kan, lama sekali, puluhan bahkan ada yang sampai 300 tahun. Jadi, target selesainya belum bisa ditentukan," ungkap Agung di Jakarta, Selasa (08/10/2019). 

Hingga saat ini, tercatat ada 18 perjanjian maritim yang berhasil diselesaikan oleh Indonesia. Penentuan batas maritim dengan 9 negara tetangga masih dalam proses.

Menurut Guru Besar Hukum Internasional Undip, Prof. Dr. Eddy Pratomo, S.H., M.A, dalam waktu dekat, perjanjian batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) antara Indonesia dengan Vietnam diperkirakan bisa segera selesai.

"Sudah ada garis profesionalnya dan sudah dirundingkan, seharusnya bisa segera selesai," ungkapnya.

Eddy juga menyatakan ada faktor hukum (legal) dan di luar hukum (beyond legal) dalam menentukan klaim batas maritim negara, baik landasan teritorial, landasan kontinental maupun ZEE.

"Secara hukum tentu mengacu pada hukum UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea), tapi beyond legal itu ada yang harus dipertimbangkan, seperti hubungan bilateral antar negara, kepentingan politik dan lainnya," tutur Eddy.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya