Liputan6.com, Jakarta - Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menilai perlunya penertiban para buzzer, baik itu dari pihak pro ataupun kontra terhadap pemerintah. Soal itu, Polri merasa tidak ada masalah selama memang masih dalam koridor hukum.
Sementara itu, Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Asep Adi Saputra menyampaikan, buzzer yang merupakan frasa dari suara lebah berdengung, kini dimaknai sebagai upaya meyebarluaskan konten ataupun narasi. Dari sini, maka pemahamannya pun bisa digunakan positif atau negatif.
Advertisement
"Sepanjang itu konstruktif dan positif. Tidak ada hal-hal yang melanggar hukum, itu tidak persoalan, membawa kebaikan," tutur Asep usai acara forum diskusi di bilangan Jakarta Selatan, Selasa (8/10/2019).
Yang menjadi masalah adalah, lanjut Asep, buzzer yang aktif menyebarkan konten negatif. Baik itu isu bernada provokasi tanpa dasar yang jelas, hingga memainkan berita bohong alias hoaks.
"Buzzer yang memiliki niat tidak baik seperti menyebarkan hoaks, ujaran kebencian, dan sebagainya, itu melanggar hukum dan akan kami tindak secara proporsional," kata Asep.
Sebelumnya, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menilai, para buzzer perlu ditertibkan. Kendati begitu, dia menyebut, penertiban tersebut harus dilakukan kedua belah pihak, bukan hanya buzzer yang mendukung pemerintah saja.
"Saya pikir memang perlu (buzzer ditertibkan)," ujar Moeldoko di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Kamis, 3 Oktober 2019.
Moeldoko menyebut para buzzer Presiden Jokowi tak satu komando saat melakukan aktivitas di media sosial. Mereka merupakan para relawan dan pendukung fanatik Jokowi ketika Pilpres 2019.
"Para buzzer itu tidak ingin idolanya diserang, idolanya disakitin, akhirnya masing-masing bereaksi. Ini memang persoalan kita semua, juga kedua belah pihak," katanya.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Buzzer-Buzzer Harus Ditingalkan
Moeldoko juga meminta agar para pendukung tokoh politik menata ulang kembali cara berkomunikasi, khususnya di media sosial.
Menurut dia, para pendukung tokoh politik masih bisa mengkritik, namun tanpa saling menyerang dan menjelekkan. Dia mengimbau, semua pihak yang ingin mengkritik pemerintah atau tokoh politik lainnya agar menggunakan diksi yang lebih tepat.
"Menurut saya sih buzzer-buzzer itu harus ditinggalkan lah, kan pemilu juga sudah selesai. Jadi (pakai) bahasa-bahasa persaudaraan, kritik sih kritik, tapi harus dengan bahasa-bahasa yang, kadang-kadang enggak enak juga didengar," jelas Moeldoko.
Dia mengaku, telah meminta pendukung fanatik dan relawan Jokowi untuk bersikap lebih dewasa dan tak emosional saat merespons suatu hal. Namun, kata Moeldoko, hal itu sulit dilakukan sebab mereka telah terpolarisasi sejak pilpres.
"Jadi perlu memang masing-masing menyadari lah bagimana membangun lagi situasi yang enjoy. Jangan politik diwarnai dengan tegang, politik diwarnai dengan saling menyakiti. Menurut saya enggak pas lah," ucapnya.
Moeldoko menegaskan bahwa pada dasarnya pemerintah tidak alergi terhadap kritikan. Namun, dia meminta agar kritik yang disampaikan tidak sampai meghina simbol negara.
"Tapi ya tadi, harus bisa membedakan antara kritik dengan penghinaan. Kalau sepanjang kritik oke-oke aja, biasa. Enggak alergi kita," ungkap Moeldoko.
Advertisement