Kenaikan Cukai Ancam Keberlangsungan Industri Rokok

Kenaikan cukai 23 persen di 2020 dinilai paling tinggi dalam 10 tahun terakhir.

oleh Septian Deny diperbarui 09 Okt 2019, 11:00 WIB
Petugas memperlihatkan rokok ilegal yang telah terkemas di Kantor Dirjen Bea Cukai, Jakarta, Jumat (30/9). Rokok ilegal ini diproduksi oleh mesin dengan total produksi 1500 batang per menit. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Rencana pemerintah menaikkan cukai sebesar 23 persen, dan Harga Jual Eceran (HJE) sebesar 35 persen mendapatkan tanggapan dari Ketua Dewan Pengurus Pusat Partai Kebangkitan Bangsa (DPP PKB) bidang Ketenagakerjaan dan Migran, Dita Indah Sari.

Menurut Dita, kenaikan tersebut dinilai terlalu tinggi dan bisa mengancam keberlangsungan industri tembakau serta pengolahannya. Bahkan, kenaikan cukai tersebut dalam 10 tahun terakhir paling tinggi. Pihaknya meminta kenaikan cukai hendaknya bersifat moderat.

"Kenaikan tarif cukai dan HJE hendaknya bersifat moderat, dengan menggunakan inflasi dan pertumbuhan ekonomi sebagai acuan. Kenaikan hendaknya tidak lebih dari 15 persen," kata Dita dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu (9/10/2019).

Dita mengingatkan efek domino jika pemerintah menaikkan cukai yang bisa merugikan buruh pabrik rokok dan petani tembakau di seluruh Indonesia.

Pengurangan jumlah tenaga kerja, katanya bisa mengancam jutaan jiwa. Merujuk data resmi, sedikitnya ada 150 ribu buruh, 60 ribu karyawan, 2,3 juta petani tembakau dan 1,6 juta petani cengkeh, 2,9 juta pedagang eceran, yang hingga kini masih menggantungkan hidupnya dari industri hasil tembakau.

"Pabrik rokok akan mengurangi tenaga kerja dan akan mengurangi pembelian tembakau dari petani, akibatnya (tembakau) petani tidak laku. Atau kalaupun laku, harganya buruk," imbuh Dita.

Dita menambahkan, pada 2012 terdapat 1.000 pabrik rokok yang beroperasi. Namun, akibat tekanan kenaikan cukai dan kampanye anti rokok, kini jumlah pabrik berkurang signifikan hingga tinggal tersisa 456 saja di 2018.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Kontribusi Industri Rokok

Sejumlah batang rokok ilegal diperlihatkan petugas saat rilis rokok ilegal di Kantor Direktorat Jenderal Bea Cukai, Jakarta, Jumat (30/9). Rokok ilegal ini diproduksi oleh mesin dengan total produksi 1500 batang per menit. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Harus diakui, industri hasil tembakau (IHT) menjadi salah satu sektor manufaktur nasional yang strategis dan memiliki keterkaitan luas mulai dari hulu hingga hilir.

Selain itu, lanjut Dita, berkontribusi besar dan berdampak luas terhadap aspek sosial, ekonomi, maupun pembangunan bangsa Indonesia selama ini.

“IHT merupakan bagian sejarah bangsa dan budaya  Indonesia, khususnya rokok kretek. Pasalnya, merupakan produk berbasis tembakau dan cengkeh  yang menjadi warisan inovasi nenek moyang dan sudah mengakar secara turun temurun,” ujar Dita.

Data Kementerian Perindustrian mencatat, total tenaga kerja yang diserap oleh sektor industri rokok sebanyak 5,98  juta  orang, terdiri dari 4,28  juta  adalah  pekerja  disektor  manufaktur dan distribusi, serta sisanya 1,7 juta bekerja di sektor perkebunan.

Pada tahun 2018, nilai ekspor  rokok dan cerutu mencapai  USD931,6   juta atau meningkat 2,98 persen dibanding 2017 sebesar USD 904,7 juta.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya