Liputan6.com, Jakarta - Situasi keamanan di Papua sempat memanas setelah terjadi kerusuhan di beberapa wilayah. Satu di antaranya adalah kerusuhan di Wamena pada 23 September 2019.
Akibat kerusuhan di Wamena, Papua tersebut, beberapa fasilitas umum pun dirusak. Mulai dari toko sampai rumah warga menjadi sasaran. Korban jiwa juga berjatuhan.
Advertisement
Bukan hanya itu, masyarakat asli Papua sampai pendatang mengalami trauma. Mereka bahkan terpaksa mengungsi keluar Papua.
Beberapa pihak mendesak Presiden Jokowi bersikap tegas untuk menangani kerusuhan yang terjadi di Papua. Berbagai langkah sudah diambil Jokowi, seperti mengundang tokoh Papua ke Istana Negara.
Ada juga pihak yang menyarankan agar Presiden Jokowi mencontoh langkah Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY untuk mengatasi kerusuhan di Papua. Mereka menilai langkah SBY berhasil menangani masalah Papua.
Lantas, apa perbedaan langkah Jokowi dan SBY saat menangani kasus kerusuhan di Papua? Berikut ulasannya:
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Langkah Pemerintahan Jokowi
Atas kerusuhan di Papua, khususnya di Wamena yang menyebabkan kerusakan fasilitas publik sampai memakan korban jiwa, pemerintahan Presiden Jokowi tidak tinggal diam.
Seperti yang diungkap oleh Menko Polhukam Wiranto saat melaksanakan kunjungan ke Wamena, Papua, Selasa, 8 Oktober 2019.
Ia menegaskan, pemerintah segera mengambil langkah cepat untuk pemulihan semangat kebersamaan di Wamena, Papua. Menurutnya, bukan hanya pemulihan pembangunan fisik saja.
"Jadi, kecuali pemulihan bangunan fisik, juga segera pemulihan semangat kebersamaan, semangat persaudaraan, dan semangat perdamaian," ujar Wiranto.
Wiranto mengajak, semua warga Wamena untuk merajut kembali kebersamaan dan persaudaraan serta kerukunan.
"Sebagai hamba Tuhan, kita kubur kebencian itu. Kita bangun kembali persaudaraan itu. Kita kumpul di sini untuk mengajak, mari kita merajut kebersamaan, persaudaraan kita, membangun kerukunan," kata Wiranto.
Seperti diketahui, Menteri Wiranto melakukan kunjungan bersama Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, Kapolri Tito Karnavian, Menteri Sosial Agus Gumiwang Kartasasmita, Menteri Kesehatan Nila F Moeloek, dan Menteri BUMN Rini Soemarno.
Advertisement
Serahkan ke TNI-Polri
Direktur Eksekutif SETARA Institute Ismail Hasani membandingkan cara Presiden Jokowi dengan Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam menangani konflik di Papua.
Ismail menilai, Jokowi tidak mempunyai formula dalam menangani konflik yang terjadi di Papua. Hal itu justru berbeda dengan Presiden SBY.
"Saya membandingkan dalam kasus Papua, ketika kasus Papua meledak, Pak SBY dengan cepat punya formula penyelesaian, Pak Jokowi tidak. Karena Pak Jokowi lebih kurang, sudahlah terserah kalian tentara-polisi mau apa, kasarnya kira-kira begitu," kata Ismail di Kantor SETARA Institute, Jakarta Selatan.
Jokowi juga dinilai tak mempunyai design atau peta khusus dalam menyelesaikan konflik yang terjadi di Papua. Menurutnya, saat terjadi konflik di Papua, SBY langsung mengutus utusan khusus yang mana dapat meredam konflik dengan cepat.
"Dan kita lihat, aktor utama di Papua ini bukan presiden bukan pemerintahan sipil ya. Tapi tentara dan polisi, baik tentara yang pakai baju polisi atau polisi pakai baju tentara, kebalikan-kebalikannya, kita semua bisa melihat," ucap Ismail.
Meski sangat percaya kepada aparat keamanan atau militer dalam menangani kasus yang terjadi di Papua, Jokowi tetap dianggap tak punya jiwa seorang pemimpin.
"Ini menggambarkan Pak Jokowi sangat percaya kepada tentara, tapi Pak Jokowi tidak punya leadership dalam konteks isu keamanan dan ketahanan," ujarnya.
Datang Bawa Senjata
Untuk meredam konflik di Papua, Presiden Jokowi telah memerintahkan Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian dan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto langsung mengunjungi Papua.
Terkait hal tersebut, Direktur Eksekutif SETARA Institute Ismail Hasani menegaskan, kehadiran Panglima dan Kapolri tidaklah cukup dalam meredam konflik yang ada di Papua.
"Saya kira enggak cukup, karena dia bukan utusan presiden yang otoritatif. Buat kami, tentara-polisi, panglima-kapolri adalah bagian dari konflik dalam konteks Papua. Mereka dipandang sebagai representasi negara yang aktor konflik," kata dia.
Ismail lantas memberikan contoh Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) saat mendampingi SBY pada periode 2004-2009. Saat itu sedang merintis perdamaian di Aceh.
"Misalnya Pak JK bisa diutus atau anak buahnya Pak JK yang waktu itu merintis perdamaian di Aceh Pak Farid namanya, itu kita sebutkan nama waktu itu agar bisa diutus. Jadi supersial info itu mensyaratkan sosok yang diterima dua belah pihak. Kalau yang diutus Panglima TNI dan Kapolri ya jelas tidak betul, karena dia bagian dari konflik," ucapnya.
Dia mengungkapkan, kunci dalam menyelesaikan suatu masalah atau konflik hanya dengan cara saling percaya antara pihak satu dengan yang pihak yang lain.
"Saya ingat betul waktu Kapolri tiba mengimbau silakan yang mau berdialog datang, tapi bagaimana dia silakan yang mau dialog datang sambil bawa senjata kan enggak mungkin. Karena dalam penyelesaian konflik kunci utamanya adalah trust ada kepercayaan kedua belah pihak, kalau belum ada kepercayaan enggak bisa berjalan dialog. Itu yang terlihat Pak Jokowi enggak punya leadership," ungkap Ismail.
Advertisement
SBY Bentuk Tim Khusus
Centre for Strategic and International Studies (CSIS) juga membandingkan cara Presiden Jokowi dengan Presiden SBY dalam menangani konflik Papua.
Direktur Eksekutif Philips J Vermonte menyarankan, agar Presiden Jokowi membentuk tim atau lembaga khusus menangani konflik Papua seperti yang dilakukan Presiden SBY.
Seperti diketahui, Presiden SBY kala itu membentuk Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat (UP4B) melalui Perpres pada 2011 lalu untuk menangani persoalan di dua provinsi tersebut.
"Sebaiknya ada lembaga khusus seperti yang dilakukan SBY, dia mengurusi pembangunan sekaligus menyelesaikan persoalan di Papua," ujar Phillips.
Reporter : Syifa Hanifah
Sumber : Merdeka.com