Demi Putus Fenomena Kawin Pesanan China, Urgensi Koordinasi Antar-Pihak Diperlukan

Pemerintah Indonesia didesak berkoordinasi antar-pihak di tataran internasional, nasional hingga ke akar rumput, guna memutus rantai fenomena kawin pesanan yang terindikasi tindak pidana perdagangan orang.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 10 Okt 2019, 17:22 WIB
Banner Infografis Terjerat Modus Kawin Pesanan. (Liputan6.com/Abdillah)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah Indonesia didesak untuk meningkatkan koordinasi antar-pihak di tataran internasional, nasional hingga ke akar rumput, guna memutus rantai fenomena kawin pesanan yang terindikasi tindak pidana perdagangan orang (TPPO) lintas negara, di mana total 42 WNI dikabarkan telah menjadi korban di China sepanjang tahun ini.

Hal itu disampaikan oleh kelompok aktivis buruh migran yang berbicara dengan syarat anonimitas dalam sebuah diskusi kelompok terfokus di Jakarta, Kamis 10 Oktober 2019.

Diskusi diisi oleh narasumber dan dihadiri pejabat terkait dari Kementerian Luar Negeri RI, Direktorat Jenderal Keimigrasian, Polri dan Polda, berbagai lembaga negara serta lembaga swadaya masyarakat.

Sejumlah narasumber dalam diskusi memaparkan, fenomena kawin pesanan (mail-order bride) terindikasi TPPO merupakan persoalan multidimensional yang menyentuh aspek hukum, administrasi-birokrasi, sosial dan ekonomi, hingga diplomasi dan kebijakan luar negeri.

Pada persoalan aspek hukum, kegamangan mengenai definisi dan nuansa delik fenomena kawin pesanan terindikasi TPPO membuat sejumlah aparat di Indonesia kesulitan dalam mendeteksi, melakukan penegakan hukum (gakum) dan pencegahan pada peristiwa potensial. Aspek ini menyorot khusus pada aparat sistem peradilan pidana RI (polisi, jaksa, dan hakim) dan Keimigrasian RI, serta payung hukum yang menaungi penegakan hukum lembaga-lembaga tersebut.

Untuk dimensi administrasi-birokrasi, beberapa narasumber diskusi mengakui ada sejumlah bentuk-bentuk pelanggaran administratif --seperti pemalsuan dokumen pernikahan hingga dugaan birokrat 'yang bermain'-- sehingga memungkinkan celah terjadinya fenomena tersebut. Aspek ini menyorot khusus pada otoritas RI di bidang dukcapil Kementerian Dalam Negeri RI, kantor urusan agama Kementerian Agama RI hingga otoritas kekonsuleran negara asing.

Sejumlah narasumber juga menyebut aspek sosial-ekonomi yang menjadi faktor pendorong di beberapa komunitas masyarakat Indonesia dalam hal terjadinya fenomena kawin pesanan. Hal ini tercermin dari tidak pahamnya para korban dan komunitas, serta beberapa yang terjerumus akibat iming-iming finansial dari pelaku.

Sementara pada aspek diplomasi dan kebijakan luar negeri, para narasumber menekankan pentingnya penyelarasan persepsi dengan negara destinasi, terkhusus China, mengenai fenomena kawin pesanan terindikasi TPPO. Pejabat Kementerian Luar Negeri RI menggarisbawahi bahwa ada perbedaan pemahaman mengenai fenomena kawin pesanan yang memicu minimya upaya penegakan hukum di negara asal pelaku.

"Kita telah berupaya berkoordinasi dengan antar-kementerian hingga melakukan sosialisasi ke kantung-kantung komunitas yang selama ini menjadi daerah asal korban pengantin pesanan terindikasi TPPO seperti di Kalimantan Barat dan Jawa Barat," kata seorang pejabat kementerian yang berbicara dalam syarat anonimitas.

"Harapan ke depan adalah, lembaga pemerintah bisa membentuk payung hukum yang lebih komprehensif untuk meng-address persoalan ini, dan meningkatkan koordinasi dengan berbagai pemangku kepentingan dari tataran nasional hingga daerah untuk melakukan sosialisasi pencegahan," lanjutnya.


Situasi Fenomena Kawin Pesanan Terindikasi TPPO di China Saat Ini

Infografis Terjerat Modus Kawin Pesanan. (Liputan6.com/Abdillah)

Tahun ini, KBRI Beijing menerima 42 kasus laporan korban WNI kawin pesanan terindikasi TPPO di China. Total 24 orang di antaranya ditangani langsung oleh kedutaan dengan menampung mereka di shelter KBRI Beijing.

Per Oktober 2019, seluruh korban WNI telah berhasil dipulangkan ke Tanah Air, kata Wakil Duta Besar RI untuk Beijing Listyowati kepada sejumlah jurnalis pada sela-sela diskusi kelompok terfokus Kamis 10 Oktober.

Sisa WNI yang dilaporkan menjadi korban masih berada di rumah masing-masing di China, jelas Listyowati, yang menambahkan bahwa pihak KBRI tengah berusaha untuk menjamah mereka.

"Catatan positif adalah kami berhasil memulangkan para korban yang sempat ditampung di shelter KBRI. Korban lain yang sudah tercatat oleh KBRI namun belum berhasil dijamah, sedang kami upayakan agar bisa ditampung ke dalam shelter, untuk kemudian dipulangkan," jelas Listyowati.

"Upaya yang ditempuh tetap selaras dengan ketentuan dan prosedur setempat negara Tiongkok, serta memastikan tindakan kami mematuhi aturan di sana," lanjutnya.

Listyowati juga menjelaskan bahwa Kementerian Luar Negeri RI terus melakukan pendakatan ke pihak Tiongkok melalui berbagai tingkatan, seperti antar-Menlu, antar-direktur kementerian, hingga pemangku kepentingan lain.

Berbagai pertemuan itu, "telah berhasil menyelaraskan persepsi antara Indonesia dan China" mengenai fenomena kawin pesanan terindikasi TPPO.

"Kami nilai, pihak Tiongkok sudah memahami apa yang menjadi kekhawatiran kita dan meminta mereka mendorong pemulangan segera para WNI yang saat ini masih menjadi korban," jelasnya.

Namun, Listyowati menjelaskan bahwa pekerjaan rumah pemerintah Indonesia masih belum selesai.

"Fenomena ini sudah berkembang menjadi sebuah bisnis yang melibatkan aktor intelektual dan agen-agen penyalur/perekrut," jelasnya, menambahkan, "bahkan menggiurkan dengan nilai transaksi yang diterima para agen adalah senilai Rp 300 - 400 juta."

Oleh karenanya, pemerintah Indonesia saat ini berfokus pada upaya-upaya pencegahan guna memutus mata rantai dari hulu ke hilir.

"Termasuk China, di mana kita mendorong mereka untuk memutus rantai ini dari sisi aktor intelektual dan agen-agen penyalur/perekrut potensial."

"Pastinya ada komitmen dan keinginan dari pihak pemerintah untuk turut melakukan tindakan penegakan hukum," kata Listyowati.


Provinsi Henan dan Provinsi Hubei

Ilustrasi Bendera China (AFP/STR)

Konsul Protokol dan Kekonsuleran KBRI Beijing, Ichsan Firdaus menambahkan, pihaknya telah melakukan pendekatan kepada otoritas penegak hukum di Provinsi Henan dan Provinsi Hubei --dua wilayah yang menurut catatan kedutaan RI sebagai kantung fenomena kawin pesanan terindikasi TPPO.

"Mereka sudah melakukan langkah-langkah penegakan hukum dengan menahan aktor intelektual dan agen-agen penyalur/perekrut," kata Ichsan.

"Tapi, setiap aparat dari berbeda wilayah punya bentuk penanganan yang berbeda. Oleh karenanya, kita terus melakukan pendekatan dengan pihak berwenang terkait penyelarasan pemahaman tentang fenomena tersebut," lanjutnya.

"Kita juga menginformasikan kepada otoritas lokal bahwa jika ada WNI yang ingin melakukan perpanjangan visa tinggal, diwajibkan untuk urus ke KBRI, agar kami bisa lebih mudah memantau dan mendata mereka.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya