Gerbong Maut di Museum Brawijaya Jadi Saksi Bisu Cerita Kelam Masa Penjajahan

Gerbong Maut koleksi Museum Brawijaya Malang jadi saksi peristiwa pilu pejuang kemerdekaan. Kini benda bersejarah itu penuh cerita mistis dari pengunjung.

oleh Zainul Arifin diperbarui 11 Okt 2019, 01:32 WIB
Gerbong Maut, salah satu koleksi paling ikonis di Museum Brawijaya Malang dengan dibalut cerita mistis dari pengunjung museum. (Liputan6.com/Zainul Arifin)

Liputan6.com, Malang - Berkunjung ke museum sering menghadirkan kesan informatif maupun menghibur. Kisah heroik dan seram pun juga sering diingat sepulang dari museum. Hal terakhir itu pula jadi kesan yang cukup melekat atau disematkan di Museum Brawijaya Malang.

Ada banyak koleksi benda peninggalan perjuangan kemerdekaan di Museum Brawijaya Malang. Di ruang pertama, dipamerkan berbagai koleksi pascakemerdekaan 1945–1949. Ruang kedua memamerkan koleksi benda periode 1950-1976 mempertahankan kedaulatan.

Salah satu koleksi paling ikonis adalah 'Gerbong Maut' di halaman belakang museum. Satu dari tiga gerbong yang digunakan militer Belanda mengangkut 100 tahanan pejuang republik dari penjara Bondowoso menuju penjara Bubutan, Surabaya pada 23 November 1947.

Tiga gerbong bernomor registrasi GR5769, GR4416 dan GR10152 penuh sesak pejuang. Masing–masing diisi sedikitnya 30 orang, berangkat dari Bondowoso pada pagi hari. Para pejuang yang ditahan itu berangkat tanpa diberi makanan.

"Itu sebenarnya gerbong untuk mengangkut barang. Belanda menggunakannya untuk mengangkut para pejuang yang ditahan," kata Kepala Museum Brawijaya Malang, Kapten Caj (K) Luluk Lutmiarti di Malang, Rabu, 9 Oktober 2019.

Gerbong seluruhnya ditutup rapat minim ventilasi, berubah jadi 'neraka' bagi para pejuang saat siang hari. Suhu udara dan panas menyiksa para tahanan di dalam gerbong. Teriakan mereka meminta air dan udara segar diabaikan serdadu Belanda.

Peristiwa itu berakhir pilu saat gerbong tiba di Stasiun Wonokromo, Surabaya. Dari 100 orang tahanan, 46 orang di antaranya meninggal dunia. 11 orang sakit parah, 31 orang sakit, dan 12 orang dalam kondisi sehat.

Peristiwa pilu itu jadi salah satu cerita kelam selama penjajahan Belanda. Dari tiga gerbong maut itu, satu di antaranya bernomor registrasi GR10152 itulah yang disimpan di Museum Brawijaya Malang. Sedangkan dua gerbong lainnya tidak diketahui keberadaannya.


Kisah Seram

Salah satu Gerbong Maut saksi peristiwa 46 pejuang republik meninggal di dalam gerbong saat diangkut dari penjara Bondowoso menuju penjara Surabaya karena pengap (Liputan6.com/Zainul Arifin)

Tidak jarang muncul kisah seram dari pengunjung museum, khususnya berkaitan Gerbong Maut. Pada 2013 silam pernah ramai di sosial media. Penampakan sosok putih di dalam Gerbong Maut terekam kamera telepon genggam seorang siswa yang berpose di gerbong.

"Itu bikin ramai. Salinan foto siswa itu kami minta untuk disimpan jadi dokumentasi museum," kata Suryo, petugas Museum Brawijaya.

Kisah mistis seputar museum itu kerap diceritakan mereka yang mengaku pernah mengalami langsung kejadian itu. Meski demikian, Suryo yang bertugas di Museum Brawijaya sejak 1980 an silam mengaku tidak pernah mengalami hal aneh.

"Kalau mengalami sendiri ya tidak pernah. Kalau melihat orang seperti kerasukan di sini ya pernah," tuturnya.

Dua tahun silam ada sebuah sekolah menggelar perkemahan malam hari di halaman luar museum. Saat itu, ada lebih dari 20 siswa berteriak histeris seperti kesurupan. Kegiatan dihentikan, para siswa bisa tenang begitu guru spiritual sekolah dilibatkan.

"Ya itu yang saya lihat. Museum itu kan penuh benda peninggalan masa lalu, ada nilai sejarah yang berfungsi pendidikan," ujar Suryo.

Warganet menjadikan Museum Brawijaya sebagai salah satu tempat angker di Malang. Pengelola museum tak memungkiri itu. Kerap dikunjungi komunitas yang datang dengan tujuan merasakan aura mistis dan uji nyali dengan mengajukan izin berkunjung malam hari.


Kunjungan Malam

Senjata perang mempertahankan kedaulatan NKRI selama periode 1950 - 1976 koleksi Museum Brawijaya Malang (Liputan6.com/Zainul Arifin)

Jam operasional Museum Brawijaya sebenarnya mulai pukul 08.00–15.00 WIB. Tapi boleh datang malam hari, syaratnya harus mengurus izin ke Bintaldam V Brawijaya. Mereka yang datang malam biasanya komunitas tertentu, untuk menyusuri ruang demi ruang di dalam museum.

"Kalau di dalam kami biasanya membatasi jangan sampai lebih dari pukul 22.00," kata Kepala Museum Brawijaya Malang, Kapten Caj (K) Luluk Lutmiarti.

Di antara rombongan tamu pada malam hari itu ada yang ahli supranatural. Pengelola museum memaklumi, sebab tidak bertanggungjawab bila terjadi hal di luar rasionalitas. Seolah ada kesepakatan tidak tertulis, kunjungan malam hari harus didampingi ahli supranatural.

Dari mulut pengunjung malam hari itu pula Luluk mendengar berbagai cerita keberadaan makhluk tak kasat mata di museum. Siang hari makhluk gaib itu tersebar di berbagai ruangan museum. Kemudian keluar dan berkumpul di dekat Gerbong Maut saat malam hari.

Sosok seperti perempuan dibalut kain putih jadi sosok yang paling sering menampakkan diri. Luluk sendiri selama kurang lebih 5 tahun jadi kepala museum itu tidak pernah melihat langsung keberadaan makhluk–mahkluk tersebut.

"Sering dengar cerita, kalau melihat langsung tidak pernah. Sekadar merasakan ada sesuatu ya pernah," kata Luluk.

Meski demikian, ia meyakini keberadaan makhluk astral itu. Bisa di rumah pribadi, di tempat–tempat yang tidak terkesan seram sekali pun. Apalagi di museum yang menyimpan berbagai koleksi benda bersejarah perang kemerdekaan.

"Senjata perang itu kan pasti digunakan untuk membunuh demi perjuangan. Tentu ada sesuatu juga di balik itu," tutur Luluk.


Mengikis Seram

Sejumlah pelajar sekolah tingkat pertama mencatat tentang sejarah tank koleksi Museum Brawijaya Malang. Pengelola museum berupaya keras mengikis kesan seram di museum (Liputan6.com/Zainul Arifin)

Pengelola Museum Brawijaya Malang sudah berbagai upaya untuk mengikis kesan seram dan angker. Mulai dari desain museum semakin ramah dan cerah, merevitalisasi tempat ibadah di museum. Serta memanfaatkan sebagian lahan halaman untuk Pedagang Kaki Lima (PKL).

Depan museum yang berada di kawasan cagar budaya Ijen Boulevard pun tampak lebih ramai lantaran jadi tempat kongkow. Kesan seram pun tampak tak begitu terasa bila melintas malam hari. Jauh berbeda jika dibandingkan 10 tahun silam.

"Sudah jauh berbeda. Di ruang belakang museum juga sering ada dipakai latihan karate. Kalau semakin ramai kan otomatis kesan angker itu akan hilang," tutur Luluk.

Ia tidak menampik ada sisi positif di balik penyematan tempat angker terhadap Museum Brawijaya. Itu jadi salah satu keuntungan juga dari sisi promosi. Sebab secara otomatis banyak pengunjung yang datang demi menuntaskan rasa penasaran mereka.

Namun tetap jadi pekerjaan yang tidak mudah membuat museum tetap mampu menyedot minat masyarakat umum berkunjung. Museum tidak sekadar tempat tempat menyimpan, menjaga, dan merawat benda bersejarah.

"Tugas kami di sini melestarikan dan menyuguhkan ini semua ke generasi penerus bangsa," ujar Luluk.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya