Liputan6.com, Jakarta - Topan Hagibis yang sudah mulai memasuki daratan Jepang pada Sabtu (12/10/2019), disebut tidak berpengaruh terhadap perairan di Indonesia.
Hal tersebut ditegaskan oleh Prakirawan Cuaca BMKG, NN Ummul Choir, melalui pesan singkat kepada Liputan6.com pada hari ini. Menurutnya, itu disebabkan oleh posisi Topan Hagibis yang sekarang sudah sangat jauh dari wilayah Indonesia.
"Berdasarkan pantauan kami, siklon tropis Hagibis tidak berpengaruh terhadap kondisi cuaca atau kondisi perairan di wilayah Indonesia. Posisinya berada 34,6 LU (Lintang Utara) 138,7 BT (Bujur Timur)," katanya.
Baca Juga
Advertisement
Selain itu, ia menambahkan bahwa Topan Hagibis kini bergerak menuju ke arah timur laut dengan kecepatan angin maksimum 80 knot.
Sebelumnya, BMKG menyatakan Topan Hagibis yang menghantam daerah selatan Jepang turut berdampak ke Indonesia. Efeknya adalah gelombang setinggi 1,25 hingga 4 meter yang terjadi di sejumlah perairan Indonesia.
Potensi gelombang tinggi sampai 4 meter ini diperkirakan terjadi pada 12-13 Oktober 2019.
Sementara itu, sebelumnya Badan Meteorologi Jepang (JMA) mengatakan pusat badai diperkirakan mendarat di tengah atau timur Jepang pada Sabtu malam waktu setempat (2 jam lebih awal dari WIB), dengan embusan angin maksimum sebesar 216 km/jam.
Earth Observatory NASA menyampaikan bahwa Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) pada satelit Aqua menangkap gambar awan bagian luar Topan Hagibis yang sudah mengenai daerah pantai sebelah timur negara tersebut.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Penjelasan NASA
Earth Observatory NASA pada Jumat, 11 Oktober 2019, melaporkan Topan Hagibis telah berputar ke arah utara-barat laut di atas Samudra Pasifik barat.
Pada saat itu (13.05 waktu standar Jepang), angin yang berkelanjutan adalah 210 kilometer (130 mil) per jam, sehingga membuat topan ini masuk ke dalam Kategori 4 pada skala badai Saffir-Simpson (skala klasifikasi besarnya badai, angin dan siklon tropis berdasarkan kecepatan angin ribut. Skala ini hanya digunakan untuk badai di Samudera Atlantik dan Samudera Pasifik bagian utara).
NASA juga menjelaskan ukuran badai, yang menurut situs resminya: "Topan Hagibis membentang sejauh 1.400 kilometer. Sebagai perbandingan, Honshu --pulau terbesar dan terpadat di Jepang-- memiliki panjang sekitar 1.300 kilometer."
Menurut Patrick Duran dari tim Short-term Prediction Research and Transition Center (SPoRT) NASA di Marshall Space Flight Center, badai tersebut tidak selalu luas.
Pada 8 Oktober 2019, Hagibis semakin intensif, jadi mata badai (inti pusaran angin) juga jauh lebih kecil. Duran mencatat, mata badai kecil seperti itu biasanya terlihat di siklon tropis yang sangat intens.
"Hal yang paling unik tentang Topan Hagibis adalah seberapa cepat kekuatannya meningkat menjadi topan super di awal kehidupannya," kata Duran.
"Kami tidak memiliki cukup pengamatan untuk mengetahui seberapa umum peristiwa intensifikasi seperti itu berlangsung, tetapi kami tahu bahwa ini adalah salah satu intensifikasi paling cepat yang kami amati."
Keesokan harinya, intensifikasi cepat badai terganggu oleh "siklus penggantian mata" --di mana mata luar baru menggantikan mata dalam.
Karena proses pergantian itulah, intensifikasi melambat. "Meskipun siklus penggantian mata mengurangi kecepatan angin maksimum badai, tetapi ini juga menyebabkan angin menyebar di area yang lebih besar," Duran menjabarkan.
"Artinya, wilayah yang lebih luas bisa diterjang angin yang sifatnya merusak ketika badai mendekati daratan."
Advertisement
Badai Pertama di Jepang dengan Peringkat Sangat Kuat
Hagibis diperkirakan akan menjadi badai pertama dengan peringkat "sangat kuat" yang melanda Pulau Honshu sejak 1991, ketika sistem kategorinya diperkenalkan, menurut media setempat.
Pada tengah hari, 1,64 juta orang di daerah yang terdampak sudah berada di bawah perintah evakuasi. Pihak berwenang di Jepang mendesak agar para lansia, disabilitas, dan mereka yang memiliki anak-anak untuk pergi lebih awal.
JMA menyebut Hagibis adalah badai besar yang luar biasa, diprediksi membawa "angin brutal dan merubah lautan jadi ganas." Curah hujan tinggi pun memantik kekhawatiran pejabat setempat, dengan peringatan gelombang pasang menjelang Bulan purnama yang bisa meningkatkan risiko banjir.