Liputan6.com, Jakarta - Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) membahas isu radikalisme dan ekstremisme dalam lapas bersama dengan sembilan negara ASEAN lainnya. Acara itu digelar bekerja sama dengan United Nations Office on Drug and Crime (UNODC).
Direktur Jenderal Pemasyarakatan, Sri Puguh Budi Utami menyampaikan, revitalisasi pemasyarakatan yang dikembangkan dan diimplementasikan di seluruh lapas dan rutan di Indonesia menjadi solusi untuk menangani radikalisme dan ekstremisme dalam lingkungan penjara.
Advertisement
Di Indonesia, konsep revitalisasi pemasyarakatan yang dikembangkan adalah pembagian tingkatan lapas. Ada empat kategori, yakni supermaximum security, maximum security, medium security, dan minimum security.
"Inti dari konsep ini adalah penilaian perubahan perilaku. Konsep ini juga akan menjadi metode penanganan narapidana berkategori ekstrimisme atau high risk (berisiko tinggi) di Indonesia," tutur Sri Puguh dalam keterangannya, Minggu (13/10/2019).
Sri Puguh menyebut, penempatan narapidana pada masing-masing kategori tersebut didasarkan pada assessment yang dibuat oleh pembimbing kemasyarakatan.
"Ketika perilaku narapidana telah menunjukkan perubahan yang lebih baik dan dibuktikan berdasarkan assessment, maka narapidana bisa ditempatkan dari lapas maximum security ke medium security, dan seterusnya, hingga ia bebas," jelas Sri Puguh.
Sri Puguh berharap, momen ini dapat menjadi wadah antarpegiat pemasyarakatan di negara-negara ASEAN untuk saling berbagi pengalaman tentang penanganan radikalisme dan ektremisme pada narapidana, khususnya yang masuk dalam kategori high risk.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Keprihatinan PBB
Country Manager UNODC Indonesia, Collie Brown menambahkan, pencegahan ekstremisme dan kekerasan di lingkungan penjara merupakan hal yang telah lama menjadi keprihatinan PBB.
Kini, konsentrasinya adalah melindungi populasi lapas dari kekerasan dan radikalisasi, sambil tetap menegakkan prinsip manajemen pemasyarakatan yang baik.
"Untuk itulah, Sekretaris Jenderal PBB mulai 2015 menyerukan rencana aksi untuk Preventing Violent Extremism (pencegahan kekerasan ekstremisme)," kata Brown.
Hal itu, lanjutnya, menjadi upaya menyerukan pendekatan yang komprehensif. Artinya, tidak hanya tindakan penanggulangan terorisme yang esensial, tapi juga langkah-langkah pencegahan sistematis untuk mengatasi kondisi mendasar yang mendorong individu melakukan aksi radikal dan bergabung dengan kelompok ekstremis.
"Terutama untuk mencegah penyebaran ekstremisme kekerasan di antara komunitas penjara, sambil menegakkan perlindungan dan hak asasi manusia," terang Brown.
Selain isu radikalisme dan ekstremisme di dalam rutan dan lapas, masalah overkapasitas juga tetap menjadi topik yang tidak ketinggalan untuk dibahas. Indonesia sendiri mengalami overkapasitas dengan rata-rara 205 persen.
Untuk negara ASEAN lainnya, tercatat Filipina tercatat overkapasitas 190 persen, Bangladesh 150 persen, Thailand 220 persen, Kamboja 150 persen, Laos 125 persen, dan Myanmar 130 persen.
Acara tersebut dihadiri oleh Charge d’Affaires Kedutaan Besar Kanada untuk Indonesia, Geoffrey Dean; dan juga para perwakilan dari badan dan kementerian Indonesia.
Di antaranya Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Kementerian Luar Negeri, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Yogyakarta, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Jawa Tengah, juga Kepala Divisi Pemasyarakatan Yogyakarta.
Advertisement