Menerka Siapa 'Orang Jahat' dalam Tragedi Timang Gajah di Aceh

Terbitnya surat Komnas HAM yang dialamatkan kepada mantan Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Muzakir Manaf memunculkan ragam reaksi dan spekulasi, serta tanda tanya besar, apakah Muzakir terlibat dalam peristiwa berdarah di Timang Gajah?

oleh Rino Abonita diperbarui 14 Okt 2019, 13:00 WIB
Ilustrasi AK 47 dan lars (Liputan6.com/Rino Abonita)

Liputan6.com, Aceh - Sejak deklarasi Front Pembebasan Nasional Aceh Sumatera (ASNLF) digaungkan, Serambi Makkah bergolak. Negeri paling barat pun terhembalang dalam konflik berkepanjangan.

Api lazimnya menyisakan arang, begitu pun prahara di Aceh yang menyisakan luka. Di antara yang paling rentan menjadi korban ialah kalangan sipil.

Kurun waktu 1990-1998, belasan ribu nyawa tercatat hilang. Jumlah ini belum ditotal berdasarkan waktu keseluruhan di mana konflik terjadi.

Usai nota damai ditera para pihak yang berseteru pada 2005, Aceh pun melandai di cabang yang baru. Menjadi sebuah kesatuan dalam rindangnya Bhinneka Tunggal Ika.

Oleh juru bicara Partai Aceh, Muhammad Shaleh, cabang penahan itu dinilainya bisa saja patah sewaktu-waktu. Begitu juga halnya dengan kedamaian di Aceh yang baru menginjak usia 14 tahun.

Salah satu yang dinilai dapat membuat riak ialah surat pemanggilan yang dialamatkan Komnas HAM RI terhadap mantan panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Lembaga tersebut diminta hati-hati dalam menentukan porsi yang diajukan kepada Ketua DPA Partai Aceh itu.

"Kalau penyelidikan Komnas HAM bertujuan sebagai langkah untuk mewujudkan rekonsiliasi yang utuh di negeri ini, saya kira tak soal," ucap Shaleh, kepada Liputan6.com, Minggu malam (14/10/2019).

Namun, salah-salah langkah, apa yang dilakukan Komnas HAM hanya akan jadi manuver yang berpotensi menyentil luka masa lalu serta memantik lahirnya konflik horizontal. Shaleh punya penjelasannya.

Dalam surat bernomor 258/SP-Aceh/IX, Muzakir Manaf hendak dimintai keterangan terkait peristiwa Timang Gajah. Peristiwa ini telah bertengger di antara daftar kasus pelanggaran HAM berat di Aceh.

Ringkasan eksekutif Komnas HAM menyebut bahwa peristiwa Timang Gajah berupa tindakan penghilangan paksa terhadap warga sipil dari beberapa desa. Antara lain, Bumi Ayu, Rembune, Damaran, Fajar Baru, Reronga, dan Sumberejo.

Penemuan tulang belulang manusia pada Juni 2012 lalu menjadi hari di mana peristiwa itu mulai mencuat ke permukaan. Puluhan kerangka ditemukan dalam kondisi tangan terikat hingga kepala lepas dari badan.

Siapa sebenarnya yang bertanggung jawab dalam peristiwa yang terjadi kurun waktu 2001-2004 itu sampai saat ini belum terang jelas menurut Shaleh. Namun, dirinya memastikan, Mualim atau pun GAM, sama sekali tidak terlibat dalam peristiwa tersebut.

"Target dan tujuan GAM adalah perjuangan politik dan diplomasi untuk meraih simpati rakyat. Jadi, tidak mungkin kontra produktif," ujar Shaleh.

Shaleh berdalih jika gerakan GAM pada masa itu defensif. Dengan kalimat lain, strategi dan taktik yang digunakan ialah bertahan kecuali dihadapkan pada situasi-situasi tertentu.

"Baru bergerak saat mendapat serangan. Karena itu, senjata hanya digunakan untuk membela dan mempertahankan diri dari serangan," kata dia.


Kemunculan Milisi

Mantan Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Muzakir Manaf, dan Juru Bicara Partai Aceh (PA), Muhammad Shaleh (Liputan6.com/Rino Abonita)

"Mulai tahun 2000, dataran tinggi Gayo, khususnya Kabupaten Aceh Tengah, muncul sentimen etnis dalam bentuk pembakaran rumah penduduk," tukas Shaleh.

Istilah warga Aceh pesisir menjadi jamak saat itu. Pada saat yang sama, muncul kelompok yang disebut "pagar kampung"—embrio dari milisi di dataran tinggi Gayo.

Milisi tak ubah angkatan kelima. Tidak heran jika Komnas HAM saat itu menduga ada tiga oponen yang terlibat dalam konflik di Aceh, yakni TNI, GAM, Milisi.

Adanya pemungutan pajak terhadap para tauke kopi yang saat itu dikenal dengan pajak nanggroe sedikit banyak menjadi cikal bakal kelahiran milisi di dataran tinggi Gayo. GAM rupanya punya musuh liyan.

"Hampir semua panglima milisi di dataran tinggi Gayo adalah para tauke kopi, yang kemudian meminta perlindungan pada TNI-Polri. Lalu, mereka dipersenjatai dan didaulat menjadi panglima milisi," akuan Shaleh.

Tidak sedikit di antara para milisi bermetamorfosis menjadi elite politik. Mulai dari eksekutif hingga legislatif, yang tersebar di teras lokal serta nasional.

Shaleh tidak menuding ada campur tangan milisi dalam rangkaian peristiwa di Timang Gajah. Namun, seluruh peristiwa yang terjadi pada masa itu bisa saja saling koheren.

"Ada berita bahwa milisi yang dibentuk aparat Indonesia atau TNI-Polri, saat itu melakukan kekerasan terhadap warga masyarakat di daerah Timang Gajah," cetusnya.

Aksi angkatan liyan yang dikomandoi para tauke ini memuncak pada saat terjadi pengepungan disertai pembakaran kantor perwakilan Jeda Kemanusiaan. Bener Meriah pun sempat menjadi titik konflik terparah.

Sementara itu, dalam ringkasan eksekutifnya, Komnas HAM menyebut bahwa pelaku mengarah pada TNI. Dijelaskan pula jika para korban diangkut dengan truk reo pada malam hari dengan cara dijemput di rumah atau di pos ronda.

Ada baiknya Muzakir menunjukkan sikap kerja sama dalam menanggapi surat pemanggilan dirinya. Demikian saran akademisi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Syah Kuala, Aryos Nivada.

Reaksi Muzakir menunda-nunda pemanggilan dengan dalih kesibukan hanya akan memunculkan persepsi bahwa mantan panglima itu tidak mendukung upaya penegakan HAM di Aceh. Padahal, itu pro bono publico.

"Datang saja, karena juga tidak hanya Mualim yang dipanggil, Irwandi Yusuf juga sudah dipanggil. Dan beberapa petinggi-petinggi lain juga dipanggil," ujar Aryos, dihubungi Liputan6.com, Minggu malam.

Sebagai informasi, pemanggilan terhadap Irwandi dilakukan pada Mei lalu. Gubernur Aceh nonaktif yang terjerat kasus rasuah dimintai keterangan untuk peristiwa yang sama.

Selain Irwandi, Komnas HAM juga telah meminta keterangan dari beberapa pihak, antara lain, jenderal TNI/Polri, mantan anggota GAM, dan mantan milisi.

Adapun keterangan seorang Muzakir, dinilai penting guna meluruskan sejarah masa lalu. Lebih jauh, demi perwujudan keadilan bagi para korban.

"Tidak serta-merta peristiwa Timang Gajah berdampak pihak tertentu. Intinya, jangan bersikap terlalu berlebihan dalam menanggapi hal itu," ujarnya.

 

Simak video pilihan berikut ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya