80 Persen Perusahaan Indonesia Pakai Software Bajakan, Data Konsumen Terancam

Sekitar 80 persen perusahaan di Indonesia menggunakan software bajakan dan ini membuat data konsumen terpapar risiko keamanan

oleh M Hidayat diperbarui 15 Okt 2019, 09:30 WIB
Ilustrasi data pribadi. Dok: betanews.co

Liputan6.com, Jakarta - Saat ini, sekitar 80 persen perusahaan di Indonesia menggunakan software bajakan. Hal ini membuat data konsumen terpapar risiko keamanan.

Menurut industri software, solusinya adalah menguatkan penegakan hukum Indonesia untuk memastikan bahwa perusahaan berhenti menggunakan software ilegal dalam operasi bisnis mereka.

Hal itu mendorong BSA untuk menyelenggarakan kampanye edukasi untuk perusahaan supaya memahami pentingnya menggunakan software resmi. BSA juga membantu pemimpin bisnis memahami risiko-risiko terkait penggunaan software bajakan.

Namun, hanya sedikit perusahaan yang mengambil langkah-langkah serius untuk melegalkan software yang mereka gunakan. Selain itu, perusahaan tidak bersedia melakukan investasi untuk mematuhi undang-undang hak cipta terkait software.

"Pemerintah Indonesia dapat melindungi masyarakat dengan membuat perusahaan bertanggung jawab untuk melindungi data konsumen dengan benar," kata Direktur Senior BSA, Tarun Sawney dalam pernyataan kepada Tekno Liputan6.com.

Masalah penggunaan software bajakan oleh perusahaan, menurut Tarun, "harus ditanggapi dengan serius" dan "hanya pemerintah Indonesia yang bisa menyelesaikan masalah ini karena terlalu banyak perusahaan tidak mau mematuhi peraturan".


Tiga Pendekatan

Di wilayah Asia Tenggara lainnya lainnya, pemerintah negara setempat menindak perusahaan yang menggunakan software bajakan dan sebagai hasilnya, dalam beberapa tahun terakhir ini data warga mereka lebih aman.

Di Vietnam, Thailand, dan Filipina, persentase perusahaan yang menggunakan software resmi mengalami kenaikan dan tren pengunaan software bajakan telah menurun, tetapi lain halnya di Indonesia.

Menurut BSA Global Survey, pemakaian software bajakan oleh perusahaan Indonesia tetap di atas 80 persen, diikuti Vietnam yang menurun ke 74 persen, Thailand dengan 66 persen dan Filipina dengan 64 persen.

Guna mengatasi masalah ini, BSA menyarankan tiga pendekatan. Pertama, pemerintah sebaiknya memperluas upayanya untuk mendidik komunitas bisnis tentang persyaratan hukum mereka untuk menggunakan software resmi.


Upaya Konsisten

Kedua, pemerintah sebaiknya memberlakukan kampanye intensifikasi penegakan hukum untuk secara aktif memastikan perusahaan di Indonesia mematuhi Undang-Undang Hak Cipta No. 28 tahun 2014.

Pejabat penegak hukum di negara-negara Asia Tenggara lainnya secara rutin menyelidiki dan mengaudit perusahaan lokal dan asing yang memiliki bukti penggunaan software bajakan.

Terakhir, menurut BSA, pemerintah Indonesia sebaiknya melakukan upaya berkelanjutan untuk mengatasi masalah ini. BSA mencatat satu atau dua kampanye saja tidak cukup untuk membuat perubahan signifikan.

Sebagai gantinya, harus ada upaya konsisten untuk mengubah cara perusahaan di Indonesia memandang perlunya mematuhi undang-undang hak cipta software di Indonesia.

(Why/Ysl)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya