Di Tengah Ancaman Resesi, Mendag Ingin Atase Indonesia Jago Jualan

Saat ini terdapat 59 negara yang ditempati para atase atau perwakilan Kementerian Perdagangan, dengan durasi rata-rata sekitar 3,5 tahun penempatan.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 15 Okt 2019, 09:30 WIB
Mendag Enggartiasto Lukita saat pemotretan dalam kunjungannya ke Kantor Liputan6 di SCTV Tower, Jakarta (4/5). Enggartiasto tercatat pernah memegang jabatan antara lain Ketum Real Estate Indonesia (REI), periode 1992-1995. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Perdagangan (Mendag) RI Enggartiasto Lukita menyatakan bahwa atase-atase Kementerian Perdagangan di luar negeri harus piawai marketing atau jago jualan di tengah isu ekonomi global terkait kemungkinan resesi serta perang dagang AS-China.

Ungkapan tersebut juga sebagai salah satu pesan Menteri Enggar kepada para perwakilan luar negeri atau atase-atasenya jelang berakhir masa jabatan menteri yang tinggal menghitung hari.

"Atase kita jangan hanya promosi terus selesai. Harus ada perbaikan. Karena promosi itu hanya satu bagian dari marketing. Apalagi kondisi ekonomi global belum ada tanda membaik. Kita tetap harus berusaha bagaimana memasukkan produk dalam negeri untuk dipasarkan di luar negeri," kata dia dalam sebuah keterangan tertulis, Selasa (15/10/2019).

"Harus ada komoditas selain kelapa sawit dan batu bara. Untuk menemukan komoditas lain itulah mengapa marketing penting, karena seorang pemasar bisa beradaptasi dengan dinamika dan perubahan pasar," dia menambahkan.

Sebagai informasi, saat ini terdapat 59 negara yang ditempati para atase atau perwakilan Kementerian Perdagangan, dengan durasi rata-rata sekitar 3,5 tahun penempatan.

Lebih lanjut, Mendag Enggar juga menekankan bagaimana mengemas produk lewat diferensiasi. Sebab tanpa diferensiasi, katanya, produk Indonesia di luar negeri yang dijual lebih mahal akan tergantikan oleh produk yang lebih murah dari negara lain.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Inovasi

Ilustrasi Kelapa Sawit (iStockphoto)

Pesan tersebut turut diamini pakar pemasaran Hermawan Kartajaya, yang mengambil contoh produk kelapa sawit yang banyak diekspor. Menurutnya, kalaupun sawit masih jadi komoditas potensial asal punya diferensiasi yang membedakan dengan sawit negara lain, kemungkinan untuk terjual sangat besar. Untuk urusan diferensiasi ini, ia mencontohkan China.

"China dulu produk-produknya jual murah. Lama-kelamaan mereka berinovasi dan inovasi itulah yang jadi diferensiasi. Sehingga produk mereka berani melawan produk Barat dengan harga yang tidak murah lagi, tapi orang beli. Jadi bukan produk yang harus dijual, tapi diferensiasi atau keunikan produk kita," ujar Hermawan.

Pria yang juga merupakan Founder & Chairman Markplus, Inc. ini menilai bahwa diferensiasi juga harus tepat sasaran, alias tidak semua segmen pasar perlu digarap.

Dia mengutarakan, bagaimana mencari pasar yang tepat itulah yang kemudian harus jadi bekal untuk para atase di luar negeri. Menurut Hermawan, dulu mencari pasar yang tepat adalah dengan mencari need and want target pasar. Namun sekarang tidak lagi, tapi harus melihat anxiety and desire, atau kegelisahan dan hasrat.

"Pengusaha China itu punya hasrat masuk Indonesia, tapi ada kegelisahan yang membuat mereka ragu-ragu. Bagaimana menggali hasrat dan kegelisahan itu yang harus dimiliki atase. Kemampuan komunikasi mumpuni, dengan menggali psikologi sampai kultur target pasar. Bukan lagi menggali need and want, atau mana segmen atas mana segmen bawah. Itu kuno. Kalau anxiety and desire sudah dapat, baru tawarkan diferensiasi," tuturnya.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya